468x60 Ads

Kamis, 26 Mei 2011

Budidaya tanaman tahunan - Produk Olahan Lontar Proses Produksi gula Lempeng

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Clifford Geertz (1983:12-37) menyatakan bahwa sistem-sistem ekologi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua tipologi yang berbeda satu sama lain. Pertama,tipologi pertanian sawah yang terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian dalam yang padat penduduknya. Kedua, tipologi pertanian ladang yang terdapat di Indonesia bagian luar, yang kurang padat penduduknya. Dari kedua sistemmenyatakan bahwa sistem-sistem ekologi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua tipologi yang berbeda satu sama lain. Pertama, tipologi pertanian sawah yang terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian dalam yang padat penduduknya. Kedua, tipologi pertanian ladang yang terdapat di Indonesia bagian luar, yang kurang padat penduduknya. Dari kedua sistem ekologi tersebut dimungkinkan adanya berbagai tipologi, yang dibentuk berdasarkan gabungan dari keduanya. Akan tetapi menurut James Fox (1996: 33) terdapat sistem ekologi yang ketiga, yang peranannya semakin penting tetapi diabaikan dalam tipologi yang dibentuk oleh Clifford Geertz tersebut, yaitu sistem ekologi di pulau-pulau bagian luar Indonesia, terutama pada busur luar kepulauan di Nusa Tenggara Timur. Sistem ini bukan merupakan sistem pertanian yang lain, tetapi suatu kegiatan meramu, yaitu pemanfaatan pohon lontar (Borassus sundaicus Beck) yang sangat produktif.
Pohon Lontar adalah sejenis palma (pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar (Borassus sundaicus Beck) menjadi salah satu flora identitas provinsi Nusa Tenggara Timur, hal ini didukung oleh lambang Kota Kupang( Ibu kota Provinsi NTT) yaitu Sasando, yang notabene merupakan produk kerajinan tangan olahan dari daun tanaman lontar serta Kabupaten Kupang yang mencantumkan gambar Pohon Lontar berdampingan dengan ternak sapi sebagai lambang administratif. Pohon ini banyak dimanfaatkan daunnya, batangnya, buah hingga bunganya yang dapat disadap untuk diminum langsung sebagai legen (nira), difermentasi menjadi tuak ataupun diolah menjadi gula lempeng (sejenis gula merah)
Pada kepulauan di busur luar Nusa Tenggara Timur, yakni di Pulau Sumba, Sawu, Raijua, Ndao, Rote, Semau dan Timor, terdapat banyak pohon lontar. Akan tetapi budidaya lontar secara intensif hanya dilakukan oleh penduduk Sawu dan Rote. Bagi masyarakat Sawu, pohon lontar merupakan sesuatu yang sangat berarti, karena selain dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok dalam kehidupannya, dapat pula dimanfaatkan untuk bahan kerajinan, bahan-bahan bangunan maupun untuk kelengkapan dalam upacara-upacara adat. Keadaan ini sangat berbeda dengan kondisi penduduk yang tinggal di pulau-pulau sekitarnya, seperti di Pulau Sumba maupun Pulau Timor. Penduduk dari kedua pulau tersebut hidup dengan mata pencaharian pokok dari perladangan. Perladangan yang dilakukan terutama adalah menanam jenis tanaman yang menghasilkan bahan pangan, seperti jagung, ubi kayu, canthel ataupun yang lainnya. Hal ini menjadi menarik guna melihat lebih jauh produk – produk olahan dari tanaman ini yang diharapkan dapat merubah cara pandang atau paradigm berpikir masyarakat tentang tanaman yang terkadang dianggap sebagai pengganggu.

1.2. Perumusan Masalah
Mendeskripsikan proses produksi dan keunggulan darai salah satu produk olahan nira lontar yaitu gula lempeng.

1.3. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui proses produksi gula lempeng serta keunggulan komparatif yang dimilikinya ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah guna melengkapi salah satu syarat perkuliahan Teknik Budidaya Tanaman Tahunan.

1.4. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data dari buku dan beberapa sumber dari internet serta observasi ke lokasi produksi pembuatan Gula Lempeng di kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima – Kota Kupang.


II. BIOLOGI TANAMAN LONTAR

2.1. Biologi Tanaman Lontar
2.1.1 Klasifikasi ilmiah:
Kerajaan : Plantae;
Divisi : Angiospermae;
Kelas : Monocotyledoneae;
Ordo : Arecales;
Famili : Arecaceae (sinonim: Palmae);
Genus : Borassus.
Spesies : Borassus sundaicus Beck
Pohon Lontar merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm.
Buah Lontar (Lontar) bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.




2.2 Pemanfaatan Lontar
Daun Lontar (Borassus sundaicus Beck) digunakan sebagai media penulisan naskah lontar dan bahan kerajinan seperti kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk pakaian dan sasando, alat musik tradisional di Timor.
Tangkai dan pelepah pohon Lontar (Lontar atau Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari pelepah Lontar cukup banyak digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau membuat songkok, semacam tutup kepala setempat.
Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan. Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira lontar (legen). Nira ini dapat diminum langsung sebagai legen (nira) juga dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol.







III. Produk Olahan Nira Lontar , Gula Lempeng

Gula lempeng (sejenis gula merah) merupakan produk olahan dari nira lontar yang paling akrab bagi masyarakat kota Kupang, kususnya etnis Sawu dan Rote. Menurut pengalaman dan kearifan lokal yang masih dianut oleh para penyadap nira, bulan Juni-Juli adalah bulan-bulan di mana lontar paceklik dari nira. Airnya kering. Kemudian mulai Agustus hingga November adalah saatnya masyarakat Rote banyak membuat gula lempeng dan gula cair dari pohon lontar, karena airnya sedang banyak-banyaknya. Desember hingga Maret, dengan asumsi standar bahwa itu sedang musim penghujan, pohon-pohon lontar biasanya tidak menghasilkan air sama sekali.
Biasanya para pria bertugas memanjat pohon, mengambil nira, dan menurunkannya ke bawah dengan wadah dari daun lontar, sedangkan wanita yang umumnya kalangan ibu – ibu rumah tangga bertugas merebus, mencetak, mendinginkan, kemudian menjual gula-gula lempeng yang dihasilkan. Ia biasanya menjual kepada pengumpul dengan harga 100 rupiah per lempeng. Dalam sehari mereka rata – rata dapat membuat minimal 150 lempengan gula.

Proses pembuatan Gula Lempeng Para pria biasanya bertugas menjadi pemanjat, dibutuhkan keterampilan khusus dalam memanjat batang tanaman lontar. Untuk memudahkan, biasanya pada lingkaran batang dibuat beberapa irisan yang diagonal pada sisi yang saling membelakangi, irisan ini akan berfungsi sebagai injakan atau tempat pijakan. Pemanjat juga mengguanakan tali yang diikatkan pada pinggang agar membantu menopang tubuh, karena ketinggian pohon lontar bias mencapai 20 – 30 m. mereka akan terus memanjat sampai ke pucuk, sambil menenteng Haik, semacam wadah penampung hasil kerajinan tangan dari daun tanaman lontar
Penyadap harus memilih pohon lontar dengan ciri-ciri tertentu sebelum melakukan penyadapan. Untuk pohon jantan dipilih yang mayangnya sudah berkembang sepenuhnya, semua tunas-tunasnya yang bercabang sudah tumbuh dan bunga-bunga kecil mulai
3.1.

tumbuh satu per satu. Sedangkan untuk pohon betina dipilih yang mayangnya belum tumbuh buah. Diperlukan banyak tenaga untuk menghancurkan dan meremas mayang betina. Oleh karena itu mereka cenderung menyadap lontar jantan, meskipun dikatakan bahwa lontar betina menghasilkan lebih banyak nira.
Setelah itu akan disaduh guna memisahkan air sadapan dengan kotoran – kotoran, sehingga air sadapan yang bersih yang akan diolah selanjutnya. Air sadapan nira lontar awalnya berwarna putih, bias langsung dikonsumsi sebagai minuman tradisional, di Kota Kupang banyak yang menjajahkan Tuak begitu nama minuman ini.
Wanita atau ibu rumah tangga bertugas mendidihkan air nira dari pohon lontar. Awalnya berwarna putih, ketika mengental akan berwarna cokelat. Hal yang unik ketika memasak nira hasil sadapan, menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat, namun tungku ini sangatlah kokoh dapat menampun 2-3 priuk sekali memasak. Juga terbilang cukup efisien dalam pembagian panas karena terdapat rongga sehingga bahan bakar yang masih berupa kayu bakar dapat dipergunakan dengan efisien dalam jumlah batannya tapi hasil pembakaran tetaplah efektif.
Setelah dirasa cukup kental, kemudian dimasukkan kedalam cetakan, cetakkan yang digunakan terbuat dari anyaman daun lontar yang berbentuk seperti gelang, agar mudah dalam mencetak biasanya digunakan sendok sebagai penuang. Tikar hasil anyaman dari daun lontar pun yang biasa digunakan untuk menjadi alas sehingga pada bagian bawah produk gulan lempeng biasa ada cetakan motif seperti yang terdapat pada tikar.
Setelah kering dan mengeras, maka gula lempeng siap untuk dipasarkan. Berdasarkan pantauan, harga gula lempeng berkisar Rp. 500,- /buah.


IV. KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Gula lempeng merupakan salah satu produk olahan nira hasil sadapan lontar, yang menjadi unggulan kususnya untuk produk makanan. Proses pembuatannyanya pun cukup unik; dimulai dari waktu menyadap, memasak dengan tungku yang khas, hingga mencetak dalam cetakkan kusus. Hamper semua proses masih erat kaitannya dengan produk olahan lontar lainnya yang berbentuk kerajinan tangan seperti wadah hasil anyaman lontar atau Haik untuk menampung sadapan lontar, hingga cetakkan yang terbuat dari anyaman irisan daun lontar yang dibentuk menyerupai gelang. Hal ini menunjukkan bahwa, lontar mempunyai potensi yang sangat luas untuk lebih dikembangkan lagi.

4.2. Saran
Perlu lagi meningkatkan para petani atau penyadap nira lontar untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memasak dan memasarkan produk olahan seperti gula lempeng, karena produk ini sudah umum dan banyak diproduksi. Pengemasan merupakan salah satu bentuk peningkatan nilai tambah, kemasan modern yang menarik tanpa menghilangkan keaslian produk dan keunggulan komparatif seperti cara produksi akan meningkatkan nilai jual gula lempeng. Bila produk ini bisa dipasarkan di Toko – Toko kue atau Bakkery dan sentra penjualan souvenir maka produk ini akan semakin diingat sebagai salah satu penganan khas Nusa Tenggara Timur.




DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Terjemahan S. Supomo. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Jayusman. 2010. Perkembangan Budidaya Lontar Di Pulau Sawu Nusa Tenggara Timur. Semarang. Universitas Negeri Semarang
wikipedia; zipcodezoo.com. diunggah pada 16 Mei 2011, pukul 21.00 WITA

0 komentar:

Posting Komentar