468x60 Ads

Selasa, 11 Oktober 2011

SISTEM PERLADANGAN

OLEH : UMBU JOKA JURUSAN: SOSIAL EKONOMI PERTANIAN/ AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA 2011
Pertanian adalah bagian dari sejarah kebudayaan manusia. Pertanian muncul ketika suatu masyarakat mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Pertanian memaksa suatu kelompok orang untuk menetap dan dengan demikian mendorong kemunculan peradaban. Terjadi perubahan dalam sistem kepercayaan, pengembangan alat-alat pendukung kehidupan, dan juga kesenian akibat diadopsinya teknologi pertanian. Kebudayaan masyarakat yang tergantung pada aspek pertanian diistilahkan sebagai kebudayaan agraris. Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, pertanian telah membawa revolusi yang besar dalam kehidupan manusia sebelum revolusi industri. Bahkan dapat dikatakan, revolusi pertanian adalah revolusi kebudayaan pertama yang dialami manusia. Pembangunan pertanian dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang esensial bagi manusia. Tanpa pangan orang tidak akan dapat hidup.
Pangan diperlukan untuk menyusun tubuh, sebagai sumber energi dan zat tertentu untuk mengatur prosedur mekanisme. Untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut manusia mengelola sumber daya alam antara lain lahan, air, udara (iklim) dan fauna untuk dimanfaatakan sebagai modal dasar usaha produksi pertanian, baik pertanian musiman, maupun tahunan dengan tanaman tua. Pola manusia dalam mengelola sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan pangan ini dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) sistem yaitu:  
I. Pemburu dan Pengumpul Dalam mesyarakat yang primitif orang tidak mengenal pertanian dan peternakan. Tumbuhan untuk dimakan dikumpulkan dari hutan, rawa atau padang rumput, dan hewan diburu dan ditangkap di hutan, danau, sungai dan laut. Hasil panenan pemburu dan pengumpul rendah, dan sangat tergantung dari alam. Bila musim sedang baik, hasilnya tinggi dan demikian sebaliknya. Karena itu, para pemburu dan pengumpul mempunyai pengetahuan yang baik tentang ekologi tumbuhan dan hewan yang menjadi makanannya. Para pemburu dan pengumpul mengetahui benar karakteristik tumbuhan dan hewan yang dapat dimakan dan yang beracun. Mereka tahu tentang jenis dan kelakukuan tumbuhan dan hewan dalam kaitan dengan musim dan faktor lingkungan yang lain, sehingga untuk meningkatkan hasil buruannya, para pemburu dan pengumpul melakukan pembakaran untuk memperoleh rumput muda dan bermigrasi untuk mencari kumpulan tumbuhan dan hewan sampai ke dalam hutan, puncak gunung dan lembah. Dengan kedekatan para pemburu dan pengumpul dengan alam, pola pertanian seperti ini sangat baik dipandang dari kelestarian fungsi lingkungan hidup.
 II. Perladangan berpindah Pola pengelolaan pertanian yang lebih tinggi dari pemburu dan pengumpul adalah peladang berpindah. Peladang berpindah telah melakukan bercocok tanam dengan menanam tanam-tanaman tertentu. Umumnya, dalam pola ini para peladang telah menternakkan hewan tertentu. Karena itu mereka melakukan pembudidayaan tumbuhan dan hewan yang dianggap berguna untuk memenuhi kebutuhan pangannya pada sebidang lahan tertentu. Para peladang juga sudah memulai proses seleksi bibit tanaman dan hewan yang akan mereka budidayakan. Dengan adanya seleksi itu terjadilan perubahan evolusioner dalam sifat dan jenis yang dibudidayakan. Antara lain pertumbuhan yang lebih cepat, hasil yang lebih tinggi, serta mengandung sifat, rasa, warna dan bentuk yang disukai. Peladang berpindah mempunyai bermacam-macam variasi. Pada dasarnya terdiri atas membuka sebidang hutan dan menanami lahan hutan yang telah dibuka ini selama dua atau tiga tahun. Kemudian lahan itu ditinggalkan dan membuka lahan hutan baru di tempat lain dan seterusnya. Setelah lahan dibuka, sebagian kayu digunakan untuk memagari lahan yang telah dibuka tersebut untuk melindunginya dari hewan, misalnya babi hutan. Kayu dan ranting yang tidak terpakai setelah kering di bakar. Pembakaran ini membebaskan meneral yang terkandung di dalam bahan organik tumbuh-tumbuhan. Mineral dalam abu inilah yan menjadi sumber hara tanaman. Setelah pembakaran dilakukan, dilanjutkan dengan penaman tanpa didahuli oleh pengolahan tanah. Biji bibit tanaman dimasukkan ke dalam lubang yang dibuat dengan kayu. Bahan tanaman lain, misalnya batang ubi jalar, tebu dan singkong, ditanam dengan sangat sederhana. Dalam perladangan berpindah, kampung dapat berpindah pindah pula. Tetapi ada juga kampung yang menetap dan orang membuat gubuk sementara di ladangnya. Setelah dua atau tiga kali panen, hasil panen akan menurun, Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah, karena mineral dari abu telah terserap oleh tanaman dan sebagian lagi tercuci oleh hujan. Penurunan hasil juga disebabkan oleh makin banyaknya gulma, hama dan penyakit yang menggangu tanaman. Selanjutnya tempat itu ditinggalkan dan akan kembali menjadi hutan baru lagi. Pola peladangan berpindah ini, jika tidak melampaui daya dukung dan memenuhi siklusnya selama 25 tahunan, tidak akan mengganggu fungsi lingkungan. Akan tetapi karena peningkatan jumlah penduduk yang relatif cepat, sementara luasan areal hutan semakin berkurang, memaksa daur perladangan semakin pendek, sehingga akhirnya terjadi kerusakan hutan dan lahan. Akibatnya pengurangan areal hutan akan semakin meningkat dan dampaknya terhadap lingkungan hidup, khususnya tata air akan semakin parah. Pada akhirnya akan menganggu kehidupan manusia itu sendiri Bagi sebagian masyarakat NTT khususnya Pulau Timor, Sumba, dan Flores (sebagai 3 pulau utama) terjadi sistem ladang berpindah di masa lalu. Tatkala itu sistem perladangan berpindah merupakan suatu bagian budaya dalam kehidupan komunitas masyarakat di desa – desa yang ada di kabupaten – kabupaten yang tersebar di NTT. Perladangan dapat diartikan sebagai cara bercocok tanam di atas suatu hamparan areal lahan tertentu terutama di daerah hutan rimba tropik, daerah-daerah sabana tropik dan subtropik. Sistem ladang berpindah adalah sistem perladangan dalam makna usaha yang dilakukan oleh manusia secara berpindah_ Sistem perladangan berpindah merupakan akumulasi dari berbagai pengalaman melalui babak perjalanan waktu yang panjang, sebagai hasil penyaringan internal terhadap dinamika perubahan lingkungan. Semua jenis makhluk hidup, besar atau kecil, buas atau jinak, aktif atau tidak, menghadapi masalah pokok yang sama yakni masalah untuk bertahan hidup. Persoalan bertahan hidup menuntut suatu proses penyesuaian diri dari makhluk hidup terhadap lingkungan tempat hidupnya. Penyesuaian diri itu secara umum disebut adaptasi. Dalam konteks petani ladang, perubahan sistem perladangan berpindah membutuhkan adaptasi dari komunitas petani. Tuntutan adaptasi berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kebutuhan akan pangan serta peningkatan produktivitas lahan pada luas lahan yang sama. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi baru pertanian yang sekali lagi menuntut adaptasi petani juga. Contoh adaptasi masyarakat tradisional berburu dan meramu dapat dilihat dalam kehidupan suku Pygme, Bushmen, dan Negrito. Dalam kehidupan sehari-hari, suku Pygme, Bushmen, dan Negrito memperoleh pangan dengan meramu tanaman dan buah-buahan, madu dan hewan kecil. Konsekuensinya: a) gerak tinggal suku ini tidak pernah menetap, selalu mengikuti sumber-sumber persediaan pangan, b) pengetahuan dan teknologi yang dibuat lebih difokuskan pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan c) perpindahan terjadi ketika persediaan pangan di suatu wilayah tidak mencukupi kebutuhan lagi, sehingga perlu berpindah ke lokasi baru. Perilaku ini juga dimaknai sebagai awal mula adanya upaya adaptasi suatu komunitas masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan pangannya mengikuti siklus alam sehingga perlu berpindah-pindah. Tuntutan adaptasi terhadap ladang menetap menyebabkan adaptasi dari berbagai komponen kebiasaan sosial, seperti perubahan sistem perladangan berpindah menjadi menetap, interaksi sosial, interaksi dengan alam, pola kegiatan ekonomi lokal dan teknologi tradisional  
III. Pertanian Menetap Pertanian menetap dianggap sebagai tingkat evolusi tertinggi dalam perkembangan masyarakat agraris. Pertanian menetap telah berkembang lama khususnya untuk pertanian sawah, sedangkan padi gogo lebih berkaitan dengan perladangan berpindah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pada sawah terdukung keberlanjutannya, yaitu : 1. Sawah memerlukan petak yang hampir datar dan pematang untuk menahan air. Petak dan pematang, serta aliran air yang pelan-pelan dari petak yang satu ke petak yang lain dapat melindungi tanah dari erosi. 2. Untuk menahan air di dalam petak diperlukan suatu lapisan tanah yang tidak tembus air. Lapisan ini biasanya tipis terdapat kira-kira 15 cm di bawah permukaan. Dengan adanya lapisan tersebut, pencucian unsur hara sangatlah sedikit, sehingga kesuburan tanah tidak terlalu merosot. 3. Karena air mengalir dengan perlahan-lahan sekali, maka lumpur yang terdapat dalam air pengairan mengendap di petak sawah. Lumpur itu, pada umumnya subur, karena berasal dari lapisan tanah atas. Apalagi jika tanah itu bersifat vulkanik muda. 4. Dalam air sawah terdapat berbagai jenis makhluk hidup yang dapat menambat zat nitrogen (N) udara, antara lain ganggang biru hijau dan bakteri. Dengan adanya mahluk penambat nitrogen udara, maka sawah dengan terus menerus mengalami pemupukan nitrogen. 5. Pembuatan sawah memerlukan investasi yang tinggi dan tenaga. Oleh karena itulah maka setelah sawah jadi, umumnya orang tidak suka untuk meninggalkannya. 6. Sawah memberi kemungkinan untuk dinaikkan produksinya dengan intensifikasi. Dengan intensifikasi, sawah dapat menyerap tenaga kerja yang makin banyak, sehingga dapat mendukung kepadatan penduduk yang tinggi. Dengan berkembangnya pertanian menetap, pemukiman pun menetap. Pada daerah pemukiman atau sekitarnya, umumnya ditanami juga bermacam jenis tanaman, antara lain sayuran, buah-buahan, tanaman obat-obatan dan khusus di dekat rumah, umumnya ditanam beraneka jenis tanaman hias. Pemukiman menetap membuka kemungkinan baru untuk lebih berkembangnya kebudayaan, sehingga kampung tumbuh dan menjadi pusat kebudayaan. Permasalahan lingkungan yang mungkin timbul dalam pola pertanian menetap ini adalah pola intensifikasi modern yang berlebihan antara lain penggunaan bibit unggul, pupuk dan pestisida yang menggangu keseimbangan lingkungan. Penggunan bibit unggul yang tidak tahan terhadap serangan hama, mengakibatkan produksi rendah. Untuk mempertahankan produksi, biasanya digunakan pupuk dan pestisida. Hal inilah yang sering membawa permasalahan. Banyak makluk hidup flora dan fauna yang pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, telah punah akibat pestisida. Musuh alami tanaman mulai hilang, namun ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida sudah pasti mengakibatkan biaya produksi tinggi yang tidak sebanding dengan penghasilan. Keadaan inilah yang menjadi salah satu kendala dalam pengentasan kemiskinan dikalangan petani. Para ahli menganalisa, salah satu dampak negatif perkembangan pertanian yang terjadi dengan adanya revolusi hijau di Eropa pada abad 18 yang lalu adalah berkembangnya varietas baru yang rentan terhadap penyakit dan mendorong tingginya penggunaan pupuk dan pestisida yang pada akhirnya mencemari perairan dan mematikan organisme lain yang menganggu keseimbangan lingkungan dan kehidupan manusia.  
Daftar Bacaan
http://borneojarjua2008.wordpress.com/2009/05/28/perladangan-berpindah-bentuk-pertanian-konservasi-pada-wilayah-tropis-basah/ http://eprints.lib.ui.ac.id/8621/ Supli Effendi Rahim, Pengelolaan Berkelanjutan pada Sumberdaya Lahan melalui Sistem Pertanian Terpadu, Universitas Sriwijaya, Jurnal PSL Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia, Lingkungan & Pembangunan, Vol. 19 Nomor 2, 1999.
 Soemarwoto, O, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan; Bandung; Penerbit Djambatan, Cetakan Pertama, 1985.

0 komentar:

Posting Komentar