468x60 Ads

This is featured post 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Senin, 25 Oktober 2010

TUGAS MATA KULIAH EKONOMETRIKA Ringkasan Skripsi “TINGKAT KETERSEDIAAN DAN KETAHANAN PANGAN DALAM RUMAH TANGGA PETANI DI DESA KUSI KECAMATAN KUANFATU KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN” SKRIPSI MARIANI FERANTI TAMENO (0304020884)

TUGAS MATA KULIAH EKONOMETRIKA
Ringkasan Skripsi
“TINGKAT KETERSEDIAAN DAN KETAHANAN PANGAN DALAM
RUMAH TANGGA PETANI DI DESA KUSI KECAMATAN KUANFATU
KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN”
SKRIPSI MARIANI FERANTI TAMENO (0304020884)

OLEH
UMBU JOKA (0804022598)
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG
2010
I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
- Pembangunan Jangkan Panjang (PJP) menitik beratkan pada pembangunan bidang ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, untuk itu dibutuhkan Ketersediaan pangan yang cukup.
- Ketahanan pangan rumah tangga merupakan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari – hari.
- Ketersediaan pangan dapat terwujud melalui produksi usahatani sendiri dan atau memperoleh dari sumber lain. Jika diperoleh dari sumber di luar usaha tani maka pemberdayaan ekonomi rumah tangga menjadi sangat penting.
- Pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1996 tentang mewujudkan Ketersediaan pangan & GBHN 1999-2004 yang mengamanatkan pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan.
- Kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian yang secara khusus kepada masyarakat yang memiliki resiko mengalami masalah rawan pangan.
- Aksesibilitas masyarakat terhadap pangan sangat dipengaruhi aspek fisik dan aspek ekonomi.
- Produksi pangan di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh beragam faktor.
- Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) secara umum dikenal sebagai daerah yang beriklim kering, dengan zona ekologi yang beragam.
- Salah satu daerah di NTT yang paling sering dilanda masalah kerawanan pangan adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

1.2. PERUMUSAN MASALAH
- Pangan mempunyai peranan sangat penting dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM).
- Ketersediaan dan akses terhadap pangan merupakan determinan penting dalam pemenuhan pangan.
- Berdasarkan laporan pemantauan Badan Bimas dan Ketahanan Pangan (B2KP) Propinsi NTT Tahun 2005 Desa Kusi Kecamatan Kuanfatu Kabupaten TTS mengalami masalah rawan pangan akibat musim kekeringan yang berkepanjangan.
- Sampai sejauh ini, belum ada informasi mengenai sejauh mana tingkat kerawanan pangan yang dialami oleh masyarakat di desa Kusi Kecamatan Kuanfatu.
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN
Tujuan :
- Mengetahui tingkat Ketersediaan pangan (dalam hal kalori dan protein) dalam memenuhi kebutuhan pngan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) di tingkat rumah tangga di Desa Kusi Kecamatan Kuanfatu Kabupaten TTS.
- Mengetahui ketahanan pangan di tingkat rumah tangga di Desa Kusi Kecamatan Kuanfatu Kabupaten TTS.
Kegunaan :
- Sebagai bahan masukan bagi masyarakat setempat dalam rangka mengantisipasi maslah kerawanan pangan.
- Sebagai bahan masukan bagi pemerintah setempat dalam pembuatan kebijakan ataupun pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan masalah ketahanan pangan, termasuk penguatan kegiatan produksi pangan.
- Sebagai bahan rujukan untuk penelitian lanjutan yang relevan.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rujukan Penelitian terdahulu
- Upaya pengadaan pangan rumah tangga di Kelurahan Teunbaun adalah dengan cara memproduksi sendiri sebesar 21,45 KgEb atau 30,2% dan membeli bahan pangan yang lain yang tidak tersedia di rumah tangga sebesar 49 KgEb atau 67,8% serta berupa pemberian atau bantuan sebesar 1,5 KgEb atau 2,0% dari rata – rata total Ketersediaan pangan pokok sebesar 72,2 KgEb/ Rumah tangga/ Bulan (Ape, 2002) .
- Gejala – gejala yang menyebabkan terjadinya rawan pangan di Kabupaten Belu periode 1989 – 1998 adalah : 1. Keadaan iklim seperti intensitas curah hujan yang sangat tinggi pada awal musim tanam dalam beberapa hari, terjadinya angin yang sangat kencang selama tanmaan berbunga, kekeringan dan gangguan hama penyakit. 2. Adanya gejala alam yang ditunjukkan dan diindikasikan oleh keadaan berbungan mangga dan asam. 3. Keadaan sosial ekonomi seperti adanya kegiatan ekstraktif dan mobilitas penduduk yang tinggi untuk mencari nafkah ( Aplugi , 2001)
- Pengadaan pangan yang dilakukan di Kecamatan Kupang Barat bersumber dari produksi sendiri, membeli dan memperoleh dari keluarga. Jumlah pangan yang diperoleh belum mencukupi Ketersediaan pangan rumah tangga dalam satu tahun dan hanya tercukupi dalam kurun waktu 150 hari untuk setiap anggota keluarga (Seran, dkk : 1999)
2.2. Tinjauan Teoritis
2.2.1. Pangan dan Rawan Pangan
- Undang – Undang No. 7 tahun 1996 yang dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayatidan air baik yang diolah maupun yang tidak di olah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman sebagai konsumsi manusia, termasuk bahan tembahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.
- Pangan adalah bahan yang dihasilkan atau berasal dari sumber hayati,nabati atau hewani ( termasuk ikan), mengandung zat – zat gizi yang diperlukan manusia dan memiliki nilai sosial,ekonomi,budaya, dan agama dalam kehidupan manusia (Setiawan,1994).
- Daerah rawan pangan yang selanjutnya disebut dengan keterjaminan yang rendah merupakan daerah dengan Ketersediaan pangan sumber karbohidrat yang lebih kecil dari pada permintaan atau kebutuhan pangan penduduk pada suatu daerah (SKPP, 1995).
2.2.2. Ketahanan Pangan
- Ketahanan Pangan merupakan konsep multidimensional yang berkaitan dengan system pangan dan gizi (Soekirman, 1996 .
- Ketahanan pangan rumah tangga dapat diketahui melalui konsumsi dan ketersediaan pangan dlam rumah tangga yang dibandingkan dengan norma kecukupan yang telah ditetapkan (Soetrisno,1996).
2.2.3. Ketersediaan pangan
- Ketersediaan pangan dapat didefinisikan sebagai jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi penduduk (individu/keuarga/masyarakat) pada suatu waktu tertentu (Dwiriani,1994)
- Harper, dkk (1984) mengatakan bahwa ketersediaan pangan diketahui merupakan sal;ah satu factor yang mempengaruhi konsumsi pangan yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap status gizi penduduk.
- Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh Sembilan faktor, yaitu : cara bertani, mutu dan luas lahan, pola pengusahaan lahan, pola penanaman, cara penyimpanan, perangsangan produksi, peranan social dan tingkat pendapatan penduduk
2.2.4. Kebutuhan Pangan dan Gizi
- Menurut Kasrin (1994), bahwa konsumsi pangan baik kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama bila dialami dalam jangka waktu yang lama akan berdampak buruk bagi kesehatan.
- Zat gizi yang harus ada dalam pangan dibedakan menjadi golongan protein,lemak, karbohidrat yang disebut zat gizi makro serta vitamin dan mineral yang disebut zat gizi mikro. Air juga merupakan bagian dari zat gizi yang baik (Karmas dan Harris, 1988)
2.2.5. Produksi Pangan
- Aspek lain yang turut mempengaruhi konsumsi pangan adalah pengetahuan pangan dan gizi harus memadai walaupun pendapatn atau daya beli memadai (Seran,1996).
2.2.6. Pengukuran Ketersediaan Pangan
- Baliwati dalam Jutomo (2000), menjelaskan bahwa data ketersediaan pangan dapat dikumpulkan dan dinilai kandungan gizinya baik pada tingkat nasional/regional, keluarga maupun individu. Pada tingkat nasional/regional ketersediaan pangan dapat dihitung menggunakan metode Neraca Bahan Makanan (NBM) atau Food Balance sheet (FBS).
2.2.7. Food Security
- Menurut Bickel dkk (2000) pada level status keamanan pangan dalam rumah tangga, rumah tangga – rumah tangga yang memiliki pangan yang tersedia cukup untuk anggota rumah tangganya di kategorikan dalam rumah tangga aman pangan.
2.2.8. Ketersediaan dan Ketahanan Pangan
Ketersediaan pangan rumah tangga yangdimaksud sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan melakukan kegiatan sehari – hari (Suharjo,1998).
2.2.9. Uji Beda Dua Nilai Rata – Rata
- Banyak penelitian yang memerlukan perbandingan antara dua keadaan atau tepatny dua populasi. Untuk keperluan ini akan digunakan dasar distribusi sampling mengenai selisih statistik. Jika dua populasi normal masing – masing dengan rata – rata µ1 dan µ2 sedangkan simpangan bakunya δ1 dan δ2. Secara independen dari populasi kesatu diambil sampel berukuran n1 sedangkan dari populasi kedua sampel berukuran n2 . dari kedua sampel ini berturut – turut didapat rata – rata X1 , simpangan baku s1 dan rata – rata X2 , simpangan baku s2. Akan diuji tentang beda rata – rata µ1 dan µ2. Jika sampel yang digunakan > 30, maka digunakan uji z. jika sampel yang digunakan < 30 digunakan uji t. Pasangan hipotesis nol H0 dan tandingannya H1 adalah : H0 :µ1 = µ2 H1 : µ1 ≠ µ2 III. METODE PENELITIAN Secara ringfkas kerangka alur pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut ini. Gambar 1. Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sumber : Modifikasi dari Suhardjo (1990) Keterangan : *: Variabel yang tidak diteliti secara spesifik IV. HASIL ESTIMASI 4.2.11. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Faktor – faktor yang dipakai untuk mengukur ketahanan pangan dalam rumah tangga di Desa Kusi adalah ketersediaan kalori (X1), pendapatan (X2 ) dan jumlah anggota keluarga (X3) sebagai variable independen dan ketahanan pangan (Y) sebagai variable dependen. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Program MS Excel diketahui bahwa model pendugaan ketahanan pangan di Desa Kusi adalah sebagai berikut : ln Y = 1,0147 + 0,1363 X1 - 0,0188X2 + 0,0464X3 t = (0,26) (1,16)tn (-0,32)tn (-0,47)tn R2 = 0,05 F = 0,589 Ket : tn = tidak nyata V. EVALUASI - Uji Keseluruhan (Uji F) Hasil analisis dari uji anova atau F test, didapat nilai F hitung adalh 0,589 dengan tingkat signifikan 0,626. Oleh karena probabilitas 0,626>0,05, maka H0 diterima atau dapat dikatakan bahwa ketersediaan kalori,pendapatan dan jumlah anggota keluarga secara bersama – sama tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketahanan pangan dalam rumah tangga di Desa Kusi.
- Koefisien Determinasi (R2)
Dari hasil analisis diperoleh besarnya koefisien determinasi (R2) adalah 0,05 atau sebesar 5%. Hal ini berarti keragaman dari variable dependent (ketahanan pangan) dipengaruhi oleh 5% dari ketiga variable independen (xi) yang dimasukkan dalam model. Artinya bahwa faktor – faktor yang diasumsikan yaitu ketersediaan kalori, pendapatan dan jumlah anggota keluarga, secra bersama – sama hanya memberikan pengaruh sebesar 5%.
- Uji parsial (Uji t)
Dari hasil analisis diketahui bahwa nilai uji statistic t dari variabel ketersediaan kalori, pendapatan dan jumlah anggota keluarga berturut – turut sebesar 1,16; -0,32; - 0,47. Dengan demikian maka tidak ada variabel independen (x) yang mempengaruhi ketahanan pangan dalam rumah tangga di Desa Kusi.

PENGARUH PENGGUNAAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT TANI

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang perubahan- perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan
Di dalam buku Sosiologi Pembangunan karangan Prof. Dr. Ny. Pudjiwati Sajogyo, ditelaah ciri-ciri masyarakat yang menjadi modern, artinya mempelajari proses perubahan penting yang terjadi dalam struktur sosial negara-negara yang menjadi modern. Dikutip beberapa ciri masyarakat modern yang dikemukakan Prof. Selo Soemardjan, antara lain: (1)tingkat pendidikan formal adalah tinggi dan merata; (2)kepercayaan yang kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat (3)masyarakat tergolong-golong menurut bermacam-macam profesi serta keahlian yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan. Sedangkan ciri manusia modern yang menjadi penentu modernisasi, menurut Soerjono Soekanto, antara lain: (1)manusia modern adalah orang yang bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru dan penemuan-penemuan baru; (2)siap menerima perubahan-perubahan; (3)percaya kepada keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Modernisasi tidak hanya milik masyarakat yang bermukim di daerah perkotaan saja, sekarang ini sentuhan – sentuhan modernisasi telah menjalar ke berbagai pelosok daerah, hal ini dimungkinkan dengan adanya sarana dan prasarana dibidang telekomunikasi yang amat memudahkan kehidupan manusia. Begitupun dengan masyarakat pertanian, yang umumnya identik dengan daerah pedesaan tidak luput dari euphoria akan modernisasi, masyarakat pertanian yang dulunya dianggap terbelakang dalam penyerapan dan penguasaan akan teknologi dalam berbagai bentuk kini mau tidak mau sangat membuthkan sentuhan teknologi dalam aktivitas pertanian. Jika dulunya masyarakat pertanian cenderung ‘kolot’ akan hal – hal yang bersifat inovatif, lain halnya dengan sekarang ketergantungan akan hal- hal yang berhubungan dengan teknologi seakan menjadi bagian hidup mereka. Sebagai contoh, untuk membeli bibit saja mereka rela dating jauh – jauh dari tempat tinggal ke toko – toko atau pusat penjualan sarana produksi (input) pertanian seperti bibit, benih, dan input lainnya seperti pupuk dan pestisida. Hal ini mengindikasikan masyarakat pertanian telah sepenuhnya dapat menerima sentuhan teknologi dalam kehidupan mereka.
B. PERMASALAHAN
Mengapa penggunaan teknologi tepat guna dalam bidang pertanian dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui Pengaruh penggunaan teknologi tepat guna terhadap perubahan sosial di bidang pertanian ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah guna melengkapi salah satu tugas penunjang perkuliahan kususnya mata kuliah Perubahan Sosial.
D. METODE
Dalam penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data dari buku dan beberapa sumber dari internet.

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA DAN CIRI – CIRINYA
Teknologi adalah pengetahuan yang digunakan untuk membuat barang, menyediakan jasa serta meningkatkan cara dalam menangani sumber daya yang penting dan terbatas. Pengertian lain tentang teknologi adalah upaya manusia untuk membuat kehidupan lebih sejahtera, lebih baik, lebih enak dan lebih mudah. Teknologi dikembangkan untuk membuat hidup lebih baik, efisien dan mudah.
TTG merupakan alih bahasa secara cukup longgar dari “appropriate technology”, suatu pengertian yang mempunyai makna tertentu, pada dasarnya, dilihat dari aspek teknis. Perujudan TTG banyak ditemukan dalam bentuk teknologi tradisional yang dipraktekkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat tersebut, kecil sekali peluang memiliki kesempatan memakai teknologi maju dan efisien, yang merupakan pola teknologi dari masyarakat maju/industri. Secara teknis TTG merupakan jembatan antara teknologi tradisional dan teknologi maju. Oleh karena itu aspek-aspek sosio-kultural dan ekonomi juga merupakan dimensi yang harus diperhitungkan dalam mengelola TTG.
Teknologi yang dikembangkan dari beragam teknologi satu diantaranya adalah Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu suatu teknologi yang memenuhi, persyaratan: teknis, ekomomi dan sosial budaya.
• Teknis, yaitu memperhatikan dan menjaga tata kelestarian lingkungan hidup, penggunaan secara maksimal bahan baku lokal, menjamin mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas) produksi, secara teknis efektif dan efisien, mudah perawatan dan operasi, serta relatif aman dan mudah menyesuaikan terhadap perubahan.
• Ekonomis, yaitu efektif menggunakan modal, keuntungan kembali kepada produsen, jenis usaha kooperatif yang mendorong timbul industri lokal.
• Sosial budaya, memanfaatkan keterampilan yang sudah ada, menjamin perluasan lapangan kerja, menekan pergeseran tenaga kerja, menghidari konflik sosial budaya dan meningkatkan pendapatan yang merata.
Sebagaimana telah dikemukakan pengertian dan persyaratan Teknologi Tepat Guna (TTG) dapat dikemukakan ciri-ciri yang cukup menggambarkan TTG (walaupun tidak berarti sebagai batasan) adalah sebagai berikut:
• Perbaikan teknologi tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung pertanian, industri, pengubah energi, transportasi, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan,
• Biaya investasi cukup rendah/relatif murah,
• Teknis cukup sederhana dan mampu untuk dipelihara dan didukung oleh keterampilan setempat,
• Masyarakat mengenal dan mampu mengatasi lingkungannya
• Cara pendayagunaan sumber-sumber setempat termasuk sumber alam/energi/bahan secara lebih baik/optimal dan
• Alat mandiri masyarakat dan mengurangi ketergantungan kepada “pihak luar” (self-realiance motivated).

B. ALASAN DI SEBUT TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Menilai ketepat gunaan suatu teknologi, dalam hal ini, yang memberikan makna atau pengertian berhubungan dengan masalah pembangunan pedesaan atau masyarakat berpenghasilan rendah dalam hal ini erat sekali kaitannya dengan masyarakat pertanian. Menurut Suwarto Martosudarjo dari LIPI makna/pengertian yang perlu digaris bawahi kriteria ketepat gunaan teknologi itu bahwa: 1) Teknologi itu ekonomis (viable), 2) Teknologi itu dapat dipertanggung jawabkan (technically feasible) dan 3) Teknologi dapat beradaptasi secara mapan kepada lingkungan kultur dan sosial pada sesuatu lokal yang kita perbincangkan (socially acceptable and ecologically sound).
Dalam bentuk pengertian lain TTG adalah hasil dari pendekatan kepada masalah-masalah pembangunan. Menilai TTG adalah dalam pengertian kebutuhan yang nyata dan sumber-sumber yang tersedia, tidak dalam pengertian “maju” yang telah ada. Pendekatan ini menyadari bahwa perbedaan ekonomi, geografis dan kebudayaan memerlukan teknologi yang berbeda dan pembangunan hendaknya menjadi pengabdi kepada manusia dan bukan sebagai tuan atau raja bagi kebutuhan manusia.
Banyak rumusan lain mengenai Teknologi Tepat Guna. Rumusan berikut adalah yang dianut Pusat Tteknologi Pembangunan – ITB (PTP – ITB). PTP – ITB mengajukan tiga kriteria/persyaratan yang harus dipenuhi yaitu Teknis, Sosial dan Ekonomik.
Persyaratan Teknis meliputi:
1. Memperhatikan kelestarian tata lingkungan hidup, menggunakan sebanyak mungkin bahan baku dan sumber energi setempat dan sesedikit mungkin menggunakan bahan baku yang di import.
2. Jumlah produksi harus cukup dan mutu produksi harus dapat diterima oleh pasaran yang ada, baik dalam maupun luar negeri.
3. Menjamin agar hasil dapat diangkut ke pasar dengan sarana angkutan yang tersedia dan yang masih dapat dikembangkan, sehingga dapat dihindarkan kerusakan atas mutu hasil (produk) serta menjamin kesinambungan peneyediaan pasokan (suplay) cukup teratur.
4. Memperhatikan ketertersediaan peralatan, serta opersi dan perawatannya demi kesimanbungan (kontinuitas) persyaratan teknis.
Persyaratan Sosial meliputi:
1. Memanfaatkan keterampilan yang sudah ada atau kerterempilan yang mudah pemindahannya, serta sejauh mungkin mencegah latihan ulang yang sukar dilakukan, mahal dan memakan waktu
2. Menjamin timbulnya perluasan lapangan kerja yang dapat terus menerus berkembang.
3. Menekan serendah mungkin pergeseran tenaga kerja yang mengakibatkan pengangguran ataupun setengah pengangguran.
4. Membatasi timbulnya ketegangan sosial dan budaya, dengan mengatur agar peningkatan produksi berlangsung dalam batas-batas tertentu,
5. Menjamin agar peningkatan produksi serasi dengan peningkatan yang merata atas pendapatan
Persyaratan Ekonomik
1. Membatasi sesedikit mungkin kebutuhan modal,
2. Menekan, sehingga minimum kebutuhan akan devisa,
3. Mengarahkan pemakaian modal, agar sesuai dengan rencana pengembangan lokal, regional dan nasional
4. Menjamin agar hasil dan keuntungan kembali kepada produsen dan tidak menciptakan terbentuknya mata-rantai baru.
5. Mengarahkan usaha pada pengelompokan secara koperatif

6. HUBUNGAN PENGUNAAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA DENGAN PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT PERTANIAN
Pembangunan yang telah dilakukan di setiap desa-desa yang ada di wilayah Indonesia, utamanya pada masyarakat petani saat ini. Bentuk penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani merupakan implementasi dari pembangunan yang dilakukan di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani telah menciptakan cara dan sikap masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian. Secara tegas dikatakan bahwa teknologi tepat guna dalam pertanian yang diperkenalkan dipedesaan Jawa lebih banyak mengandalkan masukan modern dan membatasi tenaga kerja. Hanya saja pada masa selanjutnya, hal ini berbanding berbalik, yakni penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian semakin menambah kesempatan kerja, utamanya bagi kaum buruh tani. Bentuk lain dari hasil analisa mengenai cara dan sikap masyarakat petani ini adalah bahwa teknologi meningkatkan alternatif kita, penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai ke dalam alam kemungkinan dan dapat mengubah kekuasaan relatif atau memudahkan menyadari nilai-nilai berbeda.
Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian saat ini telah mampu membentuk alternatif-alternatif baru bagi masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian, serta menjadikan masyarakat petani untuk dapat selalu mengkondisikan alam
Bila memperhatikan ciri-ciri masyarakat Indonesia, yaitu tingkat pendidikan formal yang kurang merata, kepercayaan yang kurang kuat pada teknologi sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat, banyaknya golongan profesi di masyarakat, serta kesiapan menerima perubahan-perubahan, khusus pemanfaatan teknologi baru, dalam meningkatkan kesejahteraannya, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat lamban untuk disebut sebagai masyarakat modern, khususnya masyarakat di daerah tertinggal dan daerah terbatas. Pengertian masyarakat di daerah tertinggal dan terbatas adalah masyarakat di wilayah/provinsi yang kurang memanfaatkan teknologi tepat guna untuk memajukan daerahnya, sehingga selalu mengalami krisis pangan dan sulit serta mahalnya layanan transportasi darat, laut maupun udara, sehingga kurang terjangkau informasi teknologi. Daerah tertinggal dan terbatas tersebar di seluruh wilayah Indonesia antara lain; wilayah Indonesia Timur, misalnya provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), iklimnya cenderung panas, curah hujan sedikit. Secara fisik daerah ini memiliki 566 pulau, tetapi hanya 43 pulau yang berpenghuni, dengan tiga pulau besar (pulau Timor, Sumba dan Flores). Sebagian besar penduduknya mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian. Secara administratif NTT terbagi menjadi 19 kabupaten dan 1 kota madya. Komoditi unggulan bidang perkebunan adalah: kopi, kelapa, kemiri, kakao, jambu mete, yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota. Komoditi unggulan bidang pertanian tanaman pangan adalah: padi (sawah, ladang), jagung, kacang kedelai, kacang hijau, ubi kayu/singkong, ubi jalar, memiliki tingkat produksi naik turun karena musim tanam yang tidak menentu, tergantung curah hujan, dan komoditi sektor ini terdapat pada semua kabupaten/kota di NTT. Hasil peternakan adalah sapi, kerbau dan kuda, hasil perikanan dan kelautan juga merupakan produk unggulan, bahkan industri pariwisata yang sangat menjanjikan belum dikelola secara profesional. Sebagai provinsi dengan pendapatan perkapita dan pendidikan masyarakat yang masih rendah, teknologi yang tepat digunakan di wilayah NTT adalah teknologi tepat guna.

7. JENIS – JENIS PERUBAHAN SOSIAL
Sebuah perubahan bisa terjadi karena sebab dari dalam (intern) atau sebab dari luar (ekstern). Dalam sebuah masyarakat, perubahan sosial dan budaya bisa terjadi karena sebab dari masyarakat sendiri atau yang berasal dari luar masyarakat.
1. Sebab Intern
Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain:
a. Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk akan menyebabkan perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang semula terpusat pada lingkungan kerabat akan berubah atau terpancar karena faktor pekerjaan. Berkurangnya penduduk juga akan menyebabkan perubahan sosial budaya. Contoh perubahan penduduk adalah program transmigrasi dan urbanisasi.
b. Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama(invention).
c. Munculnya berbagai bentuk pertentangan(conflict) dalam masyarakat.
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi sehingga mampu menyulut terjadinya perubahan- perubahan besar.
2. Sebab Ekstern Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain:
a. Adanya pengaruh bencana alam.
b. Terjadi peperangan
c. Adanya pengaruh kebudayaan lain

Jika dilihat dari segi cepat atau lambatnya perubahan, maka perubahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Evolusi dan Revolusi (perubahan lambat dan perubahan cepat)
Evolusi adalah perubahan secara lambat yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks.

2. Revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu, antara lain:
a. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
b. Adanya pemimpin/kelompok yang mampu memimpin masyarakat tersebut.
c. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi.
d. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat.
e. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi.
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian.
Perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.

3. Perubahan yang Direncanakan dan Tidak Direncanakan
Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial.
Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan.

KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Ciri manusia modern yang menjadi penentu modernisasi, menurut Soerjono Soekanto, antara lain: (1)manusia modern adalah orang yang bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru dan penemuan-penemuan baru; (2)siap menerima perubahan-perubahan; (3)percaya kepada keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Penggunaan Teknologi Tepat Guna dalam bidang pertanian menimbulkan suatu perubahan sosial bagi masyarakat petani, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat tani yang sekarang ini sangat tergantung pada Teknologi Tepat Guna seperti bibit/ benih ungul, pupuk, dan pestisida. Penggunaan Teknologi – Tekonologi Tepat Guna dirasa sangat memberi manfaat dan masih berpotensi untuk membantu masyarakat tani dalam meningkatkan produksi. Pernyataan ini memberi gambaran bahwa masyarakat tani sudah mulai menerima sentuhan modernisasi, ini merupakan salah satu bentuk dari perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial dalam hal ini pihak yang dimaksudkan ialah para petugas penyuluh pertanian lapang, yang bertugas memberikan rekomendasi bagi peningkatan produktivitas kerja masyarakat tani, salah satunya dengan penggunaan Teknologi Tepat Guna.

B. SARAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), iklimnya cenderung panas, curah hujan sedikit. Secara fisik daerah ini memiliki 566 pulau, tetapi hanya 43 pulau yang berpenghuni, dengan tiga pulau besar (pulau Timor, Sumba dan Flores). Sebagian besar penduduknya mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian. Secara administratif NTT terbagi menjadi 19 kabupaten dan 1 kota madya. Komoditi unggulan bidang perkebunan adalah: kopi, kelapa, kemiri, kakao, jambu mete, yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota. Komoditi unggulan bidang pertanian tanaman pangan adalah: padi (sawah, ladang), jagung, kacang kedelai, kacang hijau, ubi kayu/singkong, ubi jalar, memiliki tingkat produksi naik turun karena musim tanam yang tidak menentu, tergantung curah hujan, dan komoditi sektor ini terdapat pada semua kabupaten/kota di NTT. Hasil peternakan adalah sapi, kerbau dan kuda, hasil perikanan dan kelautan juga merupakan produk unggulan, bahkan industri pariwisata yang sangat menjanjikan belum dikelola secara profesional. Sebagai provinsi dengan pendapatan perkapita dan pendidikan masyarakat yang masih rendah, teknologi yang tepat digunakan di wilayah NTT adalah teknologi tepat guna.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/teknologitepatguna diakses pada 11 juni 2010
http://www.scribd.com/doc/11479563/Modul-Perubahan-Sosial-Budaya diakses pada 11 juni 2010
parawalekh.com diakses pada 11 juni 2010
Sinu, Igantius. 1999.Bahan Ajar Cetak Perubahan Sosial . Kupang: UNDANA PRESS.
WordPress.com weblog diakses pada 11 juni 2010

PENGARUH PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP KETRAHANAN PANGAN

Pengaruh Pertumbuhan Penduduk Terhadap Ketahanan Pangan



OLEH
Nama : Umbu Joka
Nim : 0804022598
Jurusan : Sosial Ekonomi Pertanian
DOSEN WALI : Ir. Simon Seran M.S

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2009

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang seindah Puji dan syukur yang dapat penyusun sampaikan kehadirat Tuhan, oleh karena berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Pengaruh Pertumbuhan Penduduk Terhadap Ketahanan Pangan.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini untuk memenuhi persyaratan perkuliahan mata kuliah Kependudukan pada Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangatlah penyusun harapkan demi penyempurnaan makalah ini.


Kupang, Desember 2009

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
SERING muncul pertanyaan, apakah hubungan antara aspek kependudukan yang cenderung tumbuh pesat dan sisi tuntutan ketahanan pangan global? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa akumulasi laju pertumbuhan penduduk menuntut adanya kesediaan pangan secara mudah-murah.( Media Indonesia: 16 Oktober 2003 )
Urgensi dalam memahami aspek kependudukan dan juga ketahanan pangan bukan hanya mengacu pada sisi bagaimana melakukan pembenahan sektor manajemen kependudukan. Tetapi juga bagaimana perannya dalam meningkatkan taraf kesejahteraan hidup yang tak lain arahnya adalah menjamin ketersediaan pangan secara mudah-murah.
Oleh karena itu, sangat beralasan kalau di hampir semua negara saat ini berkembang isu tentang konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan dan pengembangan manajemen pertanian-pangan secara lebih komprehensif. Secara eksplisit, konsep ini terkait dengan program kebijakan kependudukan bagi peningkatan kualitas, proses pengendalian pertumbuhan, acuan untuk menyeimbangkan antara aspek kualitas-kuantitas kependudukan, mobilisasi penduduk secara global, dan jaminan ketersediaan alam bagi peningkatan kesejahteraan. Termasuk juga akumulasi pembangunan pertanian-pangan untuk memacu hasil produksi pangan secara berkelanjutan.
Aktualisasi dalam pencanangan HPS, dikaitkan dengan manajemen kependudukan, pada dasarnya mengacu pada Resolusi PBB No 179 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa peringatan HPS diselenggarakan oleh semua negara anggota FAO di seluruh dunia, dengan tujuan lebih meningkatkan kesadaran perhatian masyarakat internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan (tingkat global, regional, dan tingkat nasional). Meskipun publik mengakui bahwa langkah sosialisasi ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, tetapi political will atas pencanangannya diyakini akan bisa memberikan arah ke depan yang lebih baik.( Media Indonesia: 16 Oktober 2003)
1.2. Masalah
Masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah : PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN KETAHANAN PANGAN
1.3. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui Pengaruh pertumbuhan pertumbuhan penduduk terhadap ketahanan pangan ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah guna melengkapi salah satu tugas penunjang perkuliahan kususnya mata kuliah Kependudukan.
1.4. Metode penulisan
Dalam penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data dari buku dan beberapa sumber dari internet.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Ketahanan Pangan
Mengacu keterkaitan antara manajemen kependudukan dunia dan juga komitmen terhadap aspek ketahanan pangan, HPS kali ini tampaknya hanya ingin menyuarakan satu peringatan kepada penduduk dunia bahwa jangan abaikan aspek kependudukan dan manajemen ketersediaan pangan bagi masyarakat! Realita ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa aspek kependudukan dan ketahanan pangan selama ini masih dipandang miring. Padahal, kekeliruan mengantisipasi aspek kependudukan dan manajemen ketahanan pangan akan berdampak simultan, yaitu tidak saja bagi aspek politik, tetapi juga sosial-ekonomi dalam jangka panjang; gap dan kemiskinan, serta ancaman rawan pangan.
Sebenarnya, ancaman dan sekaligus kekhawatiran atas kesejahteraan global bagi aspek kependudukan dan manajemen ketahanan pangan bukanlah isu yang beredar saat ini saja, tetapi sudah berkembang sekian periode lalu. Paling tidak kita bisa mengaitkannya dalam teori Robert Malthus (pesatnya pertumbuhan penduduk dunia dibanding dengan potensi ketersediaan alam untuk menghasilkan pangan). Kemudian lebih dipertegas oleh Darwin tentang tuntutan untuk melakukan penyesuaian diri agar tetap survive dalam persaingan hidup yang makin kejam.
Terkait dengan fakta tuntutan persaingan hidup tersebut, maka Indonesia tidak bisa tinggal diam dalam menyikapi ancaman ledakan kependudukan. Terutama dikaitkan dengan makin tipisnya ketersediaan pangan. Mengapa? Fakta, Indonesia dengan 203 juta jiwa penduduk pada 2000 (pertumbuhan 1,4% per tahun, maka diprediksi pada 2050 mencapai sekitar 400 juta jiwa) adalah negara dengan tingkat kepadatan penduduk keempat setelah China (1.265 juta jiwa), India (1.002 juta jiwa), dan AS (276 juta jiwa). Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman serius jika tidak ada program manajemen kependudukan yang sistematis-berkelanjutan dan supply pangannya tak tercukupi. Memang, impor beras menjamin, namun kebijakan impor beras hanyalah temporer dan menuntut ketersediaan devisa yang besar.
Yang ironis, ternyata konsekuensi kepadatan penduduk tak diimbangi dengan kemampuan daya beli rakyat karena terjadi proses ketimpangan. Tidak saja ketimpangan antara negara miskin-berkembang dengan negara industri-maju, tetapi juga akumulasi ketimpangan di internal negara kita sendiri. Inilah yang kemudian memicu terjadinya proses kemiskinan.
Jadi, ada keterkaitan yang erat antara kesalahan dan atau pengabaian dalam manajemen kependudukan dengan terjadinya ketimpangan-akumulasi kemiskinan di sejumlah negara, termasuk rawan pangan. Selain itu, fakta ini masih ditambah dengan kasus mobilisasi penduduk, tidak saja mobilisasi regional-nasional, tetapi juga mobilisasi internasional (maraknya ekspatriat).
Menurut FAO, ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Aspek pertama yaitu ketersediaan (availability) menekankan pada produksi pangan. Indikator aspek ini dilihat dari jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kepentingan semua rakyat, baik bersumber dari produksi domestik ataupun impor. Aspek kedua adalah keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan bahan pangan mudah dicapai individu atau rumah tangga. Sedangkan keterjangkauan ekonomi berarti kemampuan memperoleh atau membeli pangan atau berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap pangan. Ketiga, aspek stabilitas (stability), merujuk kemampuan meminimalkan kemungkinan terjadinya konsumsi pangan berada di bawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam). Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai implementasi dua aspek ketahanan pangan menurut FAO (ketersediaan dan keterjangkauan) dan kaitannya dengan RAPBN 2010.
2.1.1. Ketersediaan
Saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,3 sampai 1,5 persen, sementara luas lahan pertanian tidak mengalami penambahan. Badan Ketahanan Pangan Deptan memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286 juta orang. Penduduk sebanyak itu mengonsumsi beras 39,8 juta ton. Dengan kata lain, dalam waktu 21 tahun lagi, Indonesia memerlukan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton atau perlu tambahan lahan padi 3,63 juta ha. Kurangnya luas lahan yang dibutuhkan menjadi faktor penentu ketersediaan beras. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi maka di kemudian hari Indonesia akan melaksanakan impor beras. Padahal, kisaran harga beras di pasar internasional saat ini 14% lebih murah dibandingkan harga dalam negeri, dan keikutsertaan Indonesia dalam WTO memaksa pengurangan pajak bea cukai, termasuk untuk produk pertanian. Harga beras impor yang murah karena tidak diimbangi dengan pajak impor akan memaksa produsen beras lokal untuk mengadakan persaingan taruf dan akibatnya akan menjadikan harga beras lokal menjadi murah. Dalam kondisi ini pihak yang dirugikan adalah petani sebagai produsen beras.
Sementara Indonesia menghadapai permasalahan lahan dalam meningkatkan produksi pangan yang dihadapkan pada meningkatnya jumlah penduduk, lahan-lahan pertanian di Indonesia justru banyak yang beralih fungsi. Berkembangnya pembangunan ekonomi di Indonesia telah mengakibatkan tingginya permintaan akan lahan dari tahun ke tahun. Karena lahan merupakan sumberdaya yang terbatas, alih fungsi lahan--terutama dari pertanian ke non pertanian (pemukiman, industri, sarana umum, dan sebagainya)-- tidak dapat dihindari. Selama periode 1999 – 2001, lahan sawah beririgasi teknis mengalami penurunan sebesar 63.686 ha, tegal/kebun/ladang sebesar 231.973 ha, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 ha (BPS Propinsi Jawa Barat, 2001). Lebih jauh lagi, pemanfaatan sempadan sungai dan sumber air lain oleh masyarakat tidak sebagaimana fungsinya menunjukkan betapa lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka (scarce resource). Hasil penelitian JICA (1993) menunjukkan pula bahwa sampai tahun 2020 diperkirakan akan terjadi konversi lahan irigasi seluas 807.500 Ha. dengan perincian 680.000 Ha. di Jawa, 30.000 Ha. di Bali, 62.500 Ha. di Sumatera dan 35.000 Ha. di Sulawesi.
Pertanian yang bersifat land base agricultural memerlukan ketersediaan lahan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan kebijakan pangan nasional, menyangkut terjaminnya ketersediaan pangan (food availability), ketahanan pangan (food security), akses pangan (food accessibility), kualitas pangan (food quality) dan keamanan pangan (food safety). Permasalahannya, dari tahun ke tahun, konversi atau alih fungsi lahan pertanian di Indonesia terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Selain itu, tekanan terhadap lahan juga berwujud bagi keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang, apalagi pembukaan areal baru sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus melaju. Selama ini telah terjadi ketidakseimbangan antara sumberdaya yang tersedia dengan peranan ekonomi dan sosial yang sebenarnya dari sektor pertanian sebagai tumpuan dari sebagian besar penduduk Indonesia. Total luas daratan Indonesia adalah 190,9 Juta ha atau 24% dari seluruh wilayah RI. Pertanian rakyat (sawah dan pertanian lahan kering ) hanya mencakup 12,3% dari daratan. Bila ditambahkan sektor perkebunan yang sebagian mewakili perkebunan skala besar yang tidak banyak menyumbang pada perekonomian rakyat, maka total sumberdaya lahan yang tersedia bagi pertanian adalah 21% dari daratan Indonesia. Pada rentang waktu 30 tahun, dari 1997-2003 terdapat peningkatan ketimpangan pemilikan lahan yang besar. Kenyataan ini dapat dibaca dari presentase petani gurem serta peningkatan proporsi petani gurem disbanding dengan total petan pemilik lahan. Sensus pertanian pada tahun 1993-2003 memperlihatkan peningkatan jumlah petani gurem dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta Rumah Tangga Petani (RTP). Sedangkan pada kurun waktu 1983-2003 luasan kepemilikan lahan rata-rata turun dari 0,27 hektar menjadi 0.09 hektar. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan konsentrasi lahan di tangan elite desa. Bila pada tahun 1995 petani kaya mencakup 6% dari penduduk desa menguasai 38% lahan desa, maka pada tahun 1999 petani kaya mencakup 4% penduduk desa mengusai 33% tanah pertanian. Berdasarkan analisanya terhadap data dari FAO (FAOSTAT), Dawe (2008) menunjukkan bahwa memang Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras paling tidak dalam 100 tahun terakhir, dengan pangsa impor beras dalam konsumsi domestik rata-rata 5% dalam seabad yang lalu dan 4% dalam 15 tahun terakhir. Hanya pada tahun-tahun tertentu, Indonesia tidak mengimpor beras (Gambar 3).
Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor beras bervariasi menurut daerah, tergantung pada sejumlah faktor, diantaranya kemampuan daerah dalam produksi beras, jumlah penduduk, tingkat pendapatan per kapita masyarakat daerah, dan kelancaran distribusi. Variasi ketergantungan terhadap impor beras antar wilayah di Indonesia dapat dilihat dari data Bulog seperti di Tabel 2. Untuk periode 2006-2007, beberapa propinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Riau sepenuhnya tergantung pada impor beras. Memang propinsi-propinsi tersebut adalah wilayah di Indonesia yang bukan merupakan pusat produksi beras. Sedangkan Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara untuk periode tersebut sama sekali tidak mengimpor beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung bahwa laju pertumbuhan penduduk tahun 2005-2010 diperkirakan akan mencapai 1,3%, 2011-2015 sebesar 1,18%, dan 2025-2030 sebesar 0,82%. Atau, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton. Tahun 2006, konsumsi beras per tahun sekitar 30,03 juta ton Pada tahun 2030, 2030 kebutuhan beras untuk pangan akan mencapai 59 juta ton (Prabowo, 2007a,b).
Berdasarkan analisanya terhadap data dari FAO (FAOSTAT), Dawe (2008) menunjukkan bahwa memang Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras paling tidak dalam 100 tahun terakhir, dengan pangsa impor beras dalam konsumsi domestik rata-rata 5% dalam seabad yang lalu dan 4% dalam 15 tahun terakhir. Hanya pada tahun-tahun tertentu, Indonesia tidak mengimpor beras (Gambar 3).
Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor beras bervariasi menurut daerah, tergantung pada sejumlah faktor, diantaranya kemampuan daerah dalam produksi beras, jumlah penduduk, tingkat pendapatan per kapita masyarakat daerah, dan kelancaran distribusi. Variasi ketergantungan terhadap impor beras antar wilayah di Indonesia dapat dilihat dari data Bulog seperti di Tabel 2. Untuk periode 2006-2007, beberapa propinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Riau sepenuhnya tergantung pada impor beras. Memang propinsi-propinsi tersebut adalah wilayah di Indonesia yang bukan merupakan pusat produksi beras. Sedangkan Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara untuk periode tersebut sama sekali tidak mengimpor beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung bahwa laju pertumbuhan penduduk tahun 2005-2010 diperkirakan akan mencapai 1,3%, 2011-2015 sebesar 1,18%, dan 2025-2030 sebesar 0,82%. Atau, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton. Tahun 2006, konsumsi beras per tahun sekitar 30,03 juta ton Pada tahun 2030, 2030 kebutuhan beras untuk pangan akan mencapai 59 juta ton (Prabowo, 2007a,b).
Sumber: Figure 3a di Dawe (2008).

Tabel 2: Persedian Beras Bulog dan Impor Beras Menurut Propinsi, 2006-2007
Propinsi Tanggal posisi (Desember) Persediaan di gudang Bulog Luar negeri Jumlah
Dalam negeri & hasil (GKG)* GKG ekuivalen Beras
2006 2007 2006 2007
NAD
Sumut
Riau
Sumbar
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jakarta
Jabar
Jateng
Yogya
Jatim
Kalbar
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Sulut
Sulteng
Sultra
Sulsel
Bali
NTB
NTT 19
27
28
26
19
18
27
28
27
18
27
27
28
27
27
18
18
18
27
18
27
27
27
27 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
385
32
82
-
-
- -
-
-
1.019
2.181
35.571
-
24.662
-
96.475
161.274
14.671
256.013
3.277
3.011
1.095
2.560
5.179
12.655
19.438
155.677
-
37.567
14.281 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- -
-
-
-
-
1.891
-
-
330
5.357
3.648
1.787
27.532
-
-
1.492
-
-
-
-
17.705
-
1.438
- 41.147
52.520
21.237
26.487
9.279
14.447
6.664
41.809
147.619
19.467
15.855
-
97.782
9.530
12.892
16.424
5.116
16.777
2.609
-
22.588
9.700
6.010
14.708 41.147
52.520
21.237
27.506
11.460
51.909
6.664
66.471
147.949
121.299
180.777
16.458
381.327
12.807
15.903
19.011
7.676
21.956
15.649
19.469
196.052
9.700
45.015
28.989
Maluku
Papua
Jumlah 19
27 -
-
498
2.227
7.181
856.014
-
-
-
-
-
61.181
17.428
18.589
646.684
19.655
25.770
1.564.377


Keterangan: GKG = gabah kering giling.
Sumber: Perum Bulog
Untuk komoditas penting lainnya, misalnya, jagung untuk pakan ternak tahun 2010 menjadi 5,2 juta ton dari tahun 2006 yang hanya 3,5 juta ton. Menurut Prabowo (2007c), jagung boleh jadi salah satu komoditas pertanian yang paling ”rentan” saat ini. Dua puluh tahun lalu, jagung belum menjadi komoditas menarik. Konsumsi jagung di Indonesia maupun di dunia masih didominasi oleh kebutuhan pangan. Jagung juga termasuk komoditas pertanian yang mana Indonesia juga harus impor (Tabel 3), dan harga impornya terus meningkat (Tabel 4).
Tabel 3: Impor Jagung, 2003-2007 (ton/tahun)
Tahun Konsumsi pangan Kebutuhan Impor*
2003
2004
2005
2006
2007 7.200.000
6.800.000
7.100.000
7.200.000
7.600.000* 3.600.000
3.400.000
3.550.000
3.600.000
3.800.000** 1.345.446
1.088.928
181.069
1.769.254
510.378***

Keterangan: *) data BPS (lainnya dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak/GPMT); **) estimasi;
***) data Jan.-Maret 2007
Sumber: Prabowo (2007c)
Tabel 4: Perkembangan Harga Jagung Impor: 2006 & 2007 (dollar AS/ton, C&F Jakarta)
Negara Bulan
Janiari Februai Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2006
-AS
-Argentina
-China
2007
-AS
-Argentina
-China 140 145 147 146 146 145 147 162 162 190 210 217
135 137 137 140 140 147 155 158 158 185 205 215
139 148 148 150 150 150 160 160 160 195 200 205
220 227 235 217 226 235 230 240 260 270 - -
215 0 230 212 220 228 225 245 - - - -
0 224 210 0 0 0 0 0 - - - -

Sumber: Prabowo (2007c) (data dari GPMT)



Tabel 2: Persedian Beras Bulog dan Impor Beras Menurut Propinsi, 2006-2007
Propinsi Tanggal posisi (Desember) Persediaan di gudang Bulog Luar negeri Jumlah
Dalam negeri & hasil (GKG)* GKG ekuivalen Beras
2006 2007 2006 2007
NAD
Sumut
Riau
Sumbar
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jakarta
Jabar
Jateng
Yogya
Jatim
Kalbar
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Sulut
Sulteng
Sultra
Sulsel
Bali
NTB
NTT 19
27
28
26
19
18
27
28
27
18
27
27
28
27
27
18
18
18
27
18
27
27
27
27 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
385
32
82
-
-
- -
-
-
1.019
2.181
35.571
-
24.662
-
96.475
161.274
14.671
256.013
3.277
3.011
1.095
2.560
5.179
12.655
19.438
155.677
-
37.567
14.281 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- -
-
-
-
-
1.891
-
-
330
5.357
3.648
1.787
27.532
-
-
1.492
-
-
-
-
17.705
-
1.438
- 41.147
52.520
21.237
26.487
9.279
14.447
6.664
41.809
147.619
19.467
15.855
-
97.782
9.530
12.892
16.424
5.116
16.777
2.609
-
22.588
9.700
6.010
14.708 41.147
52.520
21.237
27.506
11.460
51.909
6.664
66.471
147.949
121.299
180.777
16.458
381.327
12.807
15.903
19.011
7.676
21.956
15.649
19.469
196.052
9.700
45.015
28.989
Maluku
Papua
Jumlah 19
27 -
-
498
2.227
7.181
856.014
-
-
-
-
-
61.181
17.428
18.589
646.684
19.655
25.770
1.564.377


Keterangan: GKG = gabah kering giling.
Sumber: Perum Bulog
Untuk komoditas penting lainnya, misalnya, jagung untuk pakan ternak tahun 2010 menjadi 5,2 juta ton dari tahun 2006 yang hanya 3,5 juta ton. Menurut Prabowo (2007c), jagung boleh jadi salah satu komoditas pertanian yang paling ”rentan” saat ini. Dua puluh tahun lalu, jagung belum menjadi komoditas menarik. Konsumsi jagung di Indonesia maupun di dunia masih didominasi oleh kebutuhan pangan. Jagung juga termasuk komoditas pertanian yang mana Indonesia juga harus impor (Tabel 3), dan harga impornya terus meningkat (Tabel 4).
Tabel 3: Impor Jagung, 2003-2007 (ton/tahun)
Tahun Konsumsi pangan Kebutuhan Impor*
2003
2004
2005
2006
2007 7.200.000
6.800.000
7.100.000
7.200.000
7.600.000* 3.600.000
3.400.000
3.550.000
3.600.000
3.800.000** 1.345.446
1.088.928
181.069
1.769.254
510.378***

Keterangan: *) data BPS (lainnya dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak/GPMT); **) estimasi;
***) data Jan.-Maret 2007
Sumber: Prabowo (2007c)
Tabel 4: Perkembangan Harga Jagung Impor: 2006 & 2007 (dollar AS/ton, C&F Jakarta)
Negara Bulan
Janiari Februai Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2006
-AS
-Argentina
-China
2007
-AS
-Argentina
-China 140 145 147 146 146 145 147 162 162 190 210 217
135 137 137 140 140 147 155 158 158 185 205 215
139 148 148 150 150 150 160 160 160 195 200 205
220 227 235 217 226 235 230 240 260 270 - -
215 0 230 212 220 228 225 245 - - - -
0 224 210 0 0 0 0 0 - - - -

Sumber: Prabowo (2007c) (data dari GPMT)

Secara faktual, alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) tidak hanya berdampak pada penurunan kapasitas produksi pangan, tetapi juga merupakan wujud pemubadziran investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi atau budaya pertanian, dan merupakan salah satu sebab semakin sempitnya luas garapan usaha tani serta turun atau tidak beranjaknya kesejahteraan petani. Kesejahteraan rumah tangga petani tanaman pangan yang relatif rendah dan cenderung menurun sangat menentukan posisi ketahanan pangan ke depan. Selama ini sumber daya lahan belum dimanfaatkan secara optimal, bahan pangan diproduksi pada lahan seluas sembilan juta hektar dan itu pun ditanami dengan komoditas hortikultura, perkebunan,dll. Perlu segera dicarikan jalan pemecahannya yang dikaitkan dengan masalah kepemilikan lahan sempit. Ketahahanan pangan harus didukung oleh perluasan areal tanam melalui Pemanfaatan lahan tidur, Pembukaan lahan baru dengan delineasi yang akurat, Peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawah irigasi.
2.1.2. Kesejahteraan Petani
Secara statistik jumlah petani Indonesia lebih kurang sebesar 51% dari seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kesejahteraan petani merupakan kesejahteraan Indonesia. Pada saat ini dari 51% petani tersebut sebagian besar dari mereka belumlah sejahtera. Banyak diantara mereka yang berada dibawah garis kemiskinan dan kehidupan yang sangat memperihatinkan.
Penanggulangan hal ini hendaknya menjadi prioritas pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan bagi para petani. Ada beberapa program yang seharusnya dicanangkan oleh pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan, khususnya kemiskinan yang melanda para petani.
2.1.3. Subsidi Pangan
Subsidi pangan merupakan cara yang paling tepat bagi pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan bagi para petani. Dengan adanya subsidi pangan petani akan mendapatkan aksesibilitas berhubung murahnya harga faktor produksi yang mereka dapatkan. Subsidi pangan lebih efektif dari lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM. Hal ini mengingat subsidi BBM lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berada pada golongan menengah keatas. Sedangkan pemberian subsidi pangan tepat sasaran bila pemerintah ingin menanggulangi masalah kemiskinan. Namun ada ironi dalam pelaksanaan subsidi tersebut. Subsidi BBM yang hanya diperoleh masyarakat golongan menengah keatas mencapai Rp870 ribu per bulan, sedangkan subsidi pangan yang lebih difokuskan kepada masyarakat miskin hanya mencapai Rp 495.360 – Rp 568.320 per tahun. Sebuah anomali ketika pemerintah ingin mengurangi angka kemiskinan.
Kebijakan pangan sendiri dilakukan untuk menstabilkan harga pangan di pasar, baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan subsidi pangan sehingga dapat membantu masyarakat miskin, khususnya petani yang mengalami dampak perubahan harga pangan.
2.1.4. Subsidi Benih
Subsidi benih merupakan sebuah elemen penting bagi para petani agar bisa memperoleh kualitas benih yang bagus dan dengan harga yang terjangkau. Petani selalu menginginkan harga benih yang terjangkau karena bisa mengurangi biaya produksi mereka dan bisa membuat harga barang yang diproduksi menjadi lebih murah. Kenapa subsidi benih belumlah begitu tinggi? Pemerintah sepertinya belum menganggarkan jumlah yang begitu besar bagi subsidi benih, hal ini terlihat dari proporsi subsidi benih yang masih sedikit. Hal ini bisa dilihat pada tabel berikut. Subsidi benih telah mengalami peningkatan dari tahun 2005-2008, walaupun jumlah subsidi benih itu sendiri masih sangat kecil. Terakhir jumlah subsidi benih hanya sebesar Rp1 triliun. Angka tersebut mungkin sudah cukup bagi kondisi sekarang, namun ada baiknya agar angka tersebut ditambahkan lagi agar jumlah benih yang berkualitas akan semakin banyak dan terjangkau oleh para petani.

2.1.5. Subsidi Pupuk
Subsidi pupuk juga menjadi elemen yang begitu penting bagi produksi petani. Semakin bagus pupuk yang digunakan, maka hasil pertanian yang diperoleh akan semakin bagus. Masalahnya pupuk yang bagus tidak dapat diperoleh dengan harga yang murah. Itulah sebabnya pemerintah harus memberikan subsidi kepada pupuk. Anggaran pupuk yang dianggarkan pemerintah untuk standar yang sekarang sudah berada pada tahap yang memuaskan. Sama halnya dengan anggaran subsidi benih yang meningkat 100 persen, anggaran pada subsidi pupuk juga meningkat lebih dari 100 persen. Tahun 2008 telah dianggarkan subsidi pupuk mencapai Rp15,2 triliun atau 0,3 persen dari PDB.
2.1.6. Teknologi Pangan
Kenapa para petani kita masih miskin? Selain karena masalah kesulitan memperoleh benih dan pupuk yang murah dan berkualitas, para petani kita juga mempunyai masalah dalam hal pendidikan dan teknologi pangan serta pengetahuan akan teknik mengelola lahan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan para petani yang masih rendah, sehingga menyebabkan mereka tidak mengetahui trik atau cara bertani yang benar. Para petani lebih banyak bercocok tanam dengan menggunakan insting dan pengalaman mereka selama ini. Kurang memasukkan unsur pengetahuan alam dan teknologi didalam setiap kegiatan produksi yang mereka lakukan.
2.2. SEKTOR KETENAGAKERJAAN
Sebagai sebuah Negara berkembang ( developing country ) Indonesia dituntut untuk selalu menggalakkan pembangunan di segala lini, dengan tujuan utnuk mengejar ketertinggalan dari Negara- negara lain yang telah terlebih dahulu “tinggal landas” meninggalkan Indonesia ( sebut saja Negara maju seperti Jepang, Jerman dan Prancis ). Untuk memenuhi tuntutan pembangunan itu, selain Sumber Daya Alam sebagai faktor modal untuk membangun, dibutuhkan juga faktor Sumber Daya Manusia yang berkualitas sebagai motor penggerak pembangunan. Manusia yang berkualitas menjadi penting untuk mengisi pos- pos penting dalam suatu Negara, baik itu di sektor pemerintahan maupun sektor swasta, semuanya akan berjalan bersama menuju pembangunan bangsa yang sejahtera.
Untuk mendukung hal di atas, maka pemerintah menggalakkan dunia pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia bangsa yang berkualitas dan berkpribadian nasionalistik (nation character building). Setelah melalui tahapan ini, kemudian mereka akan di tempatkan di lapangan- lapangan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan jenjang pendidikan yang mereka tekuni. Di sisi Negara sebagai penyedia lapangan pekerjaan, ia membutuhkan sumber daya pekerja untuk melaksanakan program serta cita- cita pembangunan Di sisi lain para pencari kerja membutuhkan lapangan pekerjaan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, artinya ada sebuah proses yang saling terkait di sini. Artinya selama Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mampu/dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi para pencari kerja tersebut maka semuanya tidak akan menjadi masalah. Baru akan timbul masalah saat keduanya tidak seimbang, yang paling lazim terjadi adalah julmlah lapangan kerja yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja, yang mengakibatkan pada akhirnya timbul pengangguran.
Masalah pengangguran ini bukanlah masalah yang sederhana, ini adalah masalah yang kompleks dari sebuah Negara. Melibatkan tidak hanya masalah jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita juga melibatkan arah penentuan kebijakan Negara. Karena seorang pengangguran berarti ia tidak dapat menghidupi dirinya sendiri akibat tidak mempunyai pekerjaan untuk memperoleh uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari, artinya ia menjadi “beban Negara”. Tidak jarang pengangguran yang kemudian menjadi gelandangan, pengemis, kriminil atau penyakit- penyakit masyarakat lainnya, mereka semua berangkat dari satu hal yang sama, masalah himpitan ekonomi akibat tiada pekerjaan yang layak. Lalu apakah kemudian yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini ? semuanya akan tergambar jelas dalam APBN yang setiap tahunnya di rancang, strategi apa yang akan digunakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengangguran ini. Di sini kita akan coba membahas, mengkritisi dan kemudian menganalisa hal tersebut. Tentunya berdasarkan fakta- fakta yang didapat, dicoba untuk membuat sebuah kajian yang seobyektif mungkin. Sehingga dapat menjadi sumber bacaan maupun referensi bagi kita semua dalam rangka mempelajari kebijakan pemerintah dalam hal ini.
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA TAHUN 2004 – 2008
JENIS KEGIATAN 2004 2005 (November) 2006 (Agustus) 2007
(Agustus) 2008 (Agustus)
PENDUDUK USIA KERJA
(org/jt) 153.92 158.49 160.81 164.12 166.64
ANGKATAN KERJA
(org/jt) 103.97 105.86 106.39 109.94 111.95
PENDUDUK YANG BEKERJA
(org/jt) 93.72 93.96 95.46 99.93 102.55
PENGANGGUR TERBUKA
(org/jt) 10.25 11.90 10.93 10.01 9.39
TINGKAT KESEMPATAN KERJA
(%) 90.14% 88.76% 89.72% 90.89% 91.60%
Sumber : Sakernas 2004 - 2008, BPS

2.3. SISTEMATIS ANTARA KETAHANAN PANGAN DAN PERTUMBUHAN PENDUDUK
Artinya, kita memang harus lebih berkonsentrasi pada upaya untuk melaksanakan suatu program manajemen kependudukan secara tepat dan juga tak boleh mengabaikan sistem manajemen ketahanan pangan secara berkelanjutan. Selain itu, hal ini pada dasarnya merupakan suatu tuntutan bagi kita sebagai salah satu negara yang telah menandatangani kesepakatan di International Conference on Population and Development di Kairo pada 1994 lalu (dari 179 negara peserta).
Kesepakatan ini mengacu pada nilai pemahaman bahwa mutualisme interaksi antara kependudukan, proses kontinuitas pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi, serta jaminan lingkungan harus bersandar pada filosofis bahwa manusia merupakan faktor utama dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Aktualisasi terhadap tuntutan program ini, maka pemerintah dalam Propenas 2001-2005 sepakat merumuskan Kerangka Program Aksi Nasional Pembangunan Kependudukan Indonesia sampai 2005. Artinya, ini adalah tindak lanjut dari realisasi program keluarga berencana (KB) yang memang telah berhasil menekan angka pertumbuhan penduduk. Meski sudah ada kemajuan, tapi secara umum belum menggembirakan (Tjaja, 2000).
Secara kontekstual, sebenarnya diharapkan bisa terwujud proses pertumbuhan penduduk mencapai angka nol, tetapi dalam praktiknya hal ini tidak mudah. Apalagi ada asumsi yang berkembang di negara miskin-berkembang bahwa jumlah penduduk yang besar adalah modal dasar pembangunan, sekalipun mereka juga sadar bahwa itu akan menjadi ancaman jika tidak di-manage secara tepat. Selain itu bagi negara indutri maju, penduduk yang besar adalah suatu potensi market share dan sekaligus menjadi lahan relokasi industri karena murahnya harga tenaga kerja (tuntutan proyek industrialisasi bagi proses pertumbuhan ekonomi).
Terkait idealisme pertumbuhan kependudukan nol persen, mayoritas negara industri maju telah mampu mencapai TFR lebih kecil dari 2,1 (below-replacement yaitu suatu besaran angka TFR yang diperlukan untuk penggantian suatu generasi). Dan untuk negara miskin-berkembang angka TFR-nya melampaui 2,1 (kecuali China dan Thailand). Angka TFR Indonesia mencapai 2,5 di atas TFR-nya India, Pakistan, Filipina, dan Nigeria (2,1).
Jadi, tampaknya ini menjadi tantangan kita semua, dan bukan tidak mungkin kalau juga harus menjadi perhatian bagi para politikus-elite politik kita sebab aspek kependudukan juga bisa dipolitisasi. Dengan kata lain, kita harus sepakat untuk tidak (lagi) mengabaikan aspek kependudukan dan ketahanan pangan. Sebab keberhasilan dalam melakukan manajemen kependudukan dan ketahanan pangan akan meningkatkan kesejahteraan serta meredam ketimpangan dan dampak kemiskinan untuk menuju pada tahap kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Akumulasi laju pertumbuhan penduduk menuntut adanya kesediaan pangan secara mudah-murah.Urgensi dalam memahami aspek kependudukan dan juga ketahanan pangan bukan hanya mengacu pada sisi bagaimana melakukan pembenahan sektor manajemen kependudukan. Tetapi juga bagaimana perannya dalam meningkatkan taraf kesejahteraan hidup yang tak lain arahnya adalah menjamin ketersediaan pangan secara mudah-murah.
Mengacu keterkaitan antara manajemen kependudukan dunia dan juga komitmen terhadap aspek ketahanan pangan, HPS kali ini tampaknya hanya ingin menyuarakan satu peringatan kepada penduduk dunia bahwa jangan abaikan aspek kependudukan dan manajemen ketersediaan pangan bagi masyarakat! Realita ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa aspek kependudukan dan ketahanan pangan selama ini masih dipandang miring. Padahal, kekeliruan mengantisipasi aspek kependudukan dan manajemen ketahanan pangan akan berdampak simultan, yaitu tidak saja bagi aspek politik, tetapi juga sosial-ekonomi dalam jangka panjang; gap dan kemiskinan, serta ancaman rawan pangan.
Menurut FAO, ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Aspek pertama yaitu:
1. ketersediaan (availability) menekankan pada produksi pangan. Indikator aspek ini dilihat dari jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kepentingan semua rakyat, baik bersumber dari produksi domestik ataupun impor.
2. Keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan bahan pangan mudah dicapai individu atau rumah tangga. Sedangkan keterjangkauan ekonomi berarti kemampuan memperoleh atau membeli pangan atau berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap pangan.
3. Stabilitas (stability), merujuk kemampuan meminimalkan kemungkinan terjadinya konsumsi pangan berada di bawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam).

DAFTAR PUSTAKA
Media Indonesia: 16 Oktober 2003
http://www.suarapembaruan.com

Minggu, 24 Oktober 2010

manajemen finansial budidaya jagung

Oleh Umbu Joka
Nim : 0804022598
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
2010

KATA PENGANTAR

Jagung merupakan salah satu bahan makanan pokok yang cukup digemari khususnya bagi masyarakat NTT, hal ini dibuktikan dengan beranekaragam jenis makanan pokok yang bahan baku utamanya adalah jagung.
Komoditi jagung merupakan komoditi andalan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dari segi kualitas mempunyai keunggulan dibandingkan komoditi jagung daerah lain, yakni rasa yang lebih manis dan ukuran yang besar. Didukung pula teknik budidaya yang masih alami da bebas pestisida kimia, sehingga kandungan di dalam buah tidak membahayakan konsumen.
Makanan lokal masyarakat NTT selain beras adalah jagung. Masyarakat tani menyimpan jagung yang sudah dikeringkan sehinnga bisa disimpan lama, kemudian dikonsumsi dengan dicampur kacang-kacangan. Kebiasaan masyarakat ini merupakan pola makan yang membantu pemerintah dalam mengatasi masalah pangan bila terjadi musim kemarau panjang, yang mengakibatkan gagal panen sehingga ketersediaan beras tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.
Kandungan vitamin dan mineral dalam jagung adalah vitamin A, Karbohidrat, Fosfor dan Serat. Manfaatnya untuk membantu pertumbuhan dan mendorong daya kerja otak. Jagung juga sangat baik bagi penderita Diabetes dan Obesitas mereka yang sedang diet dianjurkan untuk mengkonsumsi jagung sebagai pengganti beras.
Modul ini mengemukakan asal tanaman jagung, macam, macam varietas, morfologi, jenis tanah yang baik, pemupukan, iklim yang cocok, jarak tanam, menangulangi hama dan penyakit, cara pengepakan, pengawetan, analisis usaha, prospek dari pengelolahan jagung, dan lain sebagainya.
Dalam menyusun buku ini, tentu tidak akan luput dari kesalahan. Kami mengharapkan saran-saran yang berguna untuk perbaikan.
Akhir kata, kami tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengasuh mata kuliah kewirausahaan dan teman – teman, berbagai pihak, dan lain-lain yang mendorong terwujudnya modul ini.




Kupang, April 2010

Penyusun











DAFTAR ISI



























iii

I
PENDAHULUAN


Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi












II
MANAJEMEN USAHA BUDIDAYA JAGUNG


A. DESKRIPSI SINGKAT
Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif.
Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan (seperti padi), pada umumnya jagung tidak memiliki kemampuan ini.
Gbr 1. Jagung di ladang
Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman.
Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang batangnya tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas. Ruas terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin.
Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun.
Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya (protandri).

1. SEJARAH SINGKAT

Berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru pada 4000 tahun yang lalu. Kajian filogenetik menunjukkan bahwa jagung (Zea mays ssp. mays) merupakan keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. parviglumis). Dalam proses domestikasinya, yang berlangsung paling tidak 7000 tahun oleh penduduk asli setempat, masuk gen-gen dari subspesies lain, terutama Zea mays ssp. mexicana. Istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genus Zea, kecuali Zea mays ssp. mays. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Hingga kini dikenal 50.000 varietas jagung, baik ras lokal maupun kultivar.



2. JENIS TANAMAN

Klasifikasi botani tanaman Jagung adalah sebagai berikut:
Sistimatika tanaman jagung adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis : Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo : Graminae (rumput-rumputan)
Familia : Graminaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays L.

Terdapat 4 ( empat ) varietas jagung (tabel 1)
Tabel 1
Nama dan Ciri – Ciri Varietas Jagung

No. Nama Cirri - ciri
1. “Dent Corn”, jagung gigi kuda (Zea mays identata) Bijinya mempunyai bentuk seperti gigi kuda, dengan lekukan yang khas pada bagian atas. Warna biji ada yang kuning, putih dan merah. Tanamannya tegap tongkol dan bijinya besar, dan kebanyakan dari jenis ini berumur dalam.
2. “Flint Corn”, jagung mutiara (Zea mays indurata) Biji berukuran sedang dengan bagian atas bulat, tidak berlekuk. Warna biji ada yang merah, putih atau kuning. Tanaman sedang sampai tegap. Pada umumnya masak lebih cepat, umur sampai dipanen dari genjah sampai dalam.
3. “Sweet Corn”, (Zea mays saccaharata) Bijinya mengandung kadar gula yang relaif tinggi, karena itu biasanya dipungut muda untuk dibakar atau direbus. Ciri dari jenis ini adalah bila masak bijinya menjadi keriput
4. “Pop Corn” (Zea mays everta) Bentuk biji agak runcing, kecil dank eras. Warna biji kuning atau putih. Tanaman tidak setegap jenis yang lain. Tongkolnya kecil, biasanya dijadikan “brondong” (jagung bunga)


B. SYARAT – SYARAT TUMBUH

Curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya ditanam awal musim hujan atau menjelang musim kemarau. Membutuhkan sinar matahari, tanaman yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil biji yang tidak optimal. Suhu optimum antara 230 c - 300 c. Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah khusus, namun tanah yang gembur, subur dan kaya humus akan berproduksi optimal. Ph tanah antara 5,6-7,5. Aerasi dan ketersediaan air baik, kemiringan tanah kurang dari 8 %. Daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8 %, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu. Ketinggian antara 1000-1800 m dpl dengan ketinggian optimum antara 50-600 m dpl

Tabel 2
Persyaratan tumbuh jagung

No. Faktor pertumbuhan Deskripsi
1. Tempat Tumbuh Dapat tumbuh pada keadaan iklim bervariasi pada 50o LU – 40o LS, dengan ketinggian tempat 0 – 3.300 m dpl.
2. Suhu Jagung memerlukan suhu berkisar antara 21 – 30o C, dengan temperatur optimum untuk pertumbuhan jagung antara 23o – 27 o C.
3. Cahaya Matahari Jagung memerlukan sinar matahari cukup dan tidak boleh terlindung dari pohon – pohonan atau bangunan, sehingga disebut tanaman “matahari”. Bila memperoleh penyinaran matahari rendah, hasilnya akan berkurang.
4. Tanah Jagung dapat tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah, namun akan tumbuh paling baik pada tanah yang gembur dan subur karena tanaman jagung memerlukan aerasi dan drainase yang baik. Tanah lempung berdebu adalah yang paling baik bagi pertumbuhannya.
Keasaman tanah (pH) yang terbaik adalah sekitar 5,5 – 7,0. Lahan dengan kemiringan tidak lebih dari 8 % masih dapat ditanami jagung dengan arah barisan tegak lurus
5. Air Di daerah tropis, jagung akan tumbuh dengan baik pada curah hujan 600 – 900 mm.

Sumber : ( Purseglove, 1972)

C. PEDOMAN BUDIDAYA

1. PEMBENIHAN

Benih diambil hanya dari tanaman yang sehat dan tongkol – tongkol yang baik (ukuran besar, barisan biji lurus danpenuh, tertutup rapat oleh kelobotnya, tidak terserang hama dan penyakit, dan cukup tua ).
Benih sebaiknya bermutu tinggi baik genetik, fisik dan fisiologi (benih hibryda). Daya tumbuh benih lebih dari 90%. Kebutuhan benih + 20-30 kg/ha.

Syarat benih jagung yang baik

Benih harus cukup sehat dan kering
Berday tumbuh lebih dari 90%
Murni dan bebas dari kotoran


2. PENGOLAHAN MEDIA TANAM

Lahan dibersihkan dari sisa tanaman sebelumnya, sisa tanaman yang cukup banyak dibakar, abunya dikembalikan ke dalam tanah, kemudian dicangkul dan diolah dengan bajak. Tanah yang akan ditanami dicangkul sedalam 15-20 cm, kemudian diratakan. Setiap 3 m dibuat saluran drainase sepanjang barisan tanaman. Lebar saluran 25-30 cm, kedalaman 20 cm. Saluran ini dibuat terutama pada tanah yang drainasenya jelek.Di daerah dengan pH kurang dari 5, tanah dikapur (dosis 300 kg/ha) dengan cara menyebar kapur merata/pada barisan tanaman, + 1 bulan sebelum tanam.

3. TEKNIK PENANAMAN

3.1. Penentuan Pola Tanaman
Beberapa pola tanam yang biasa diterapkan :

a. Tumpang sari ( intercropping ),
melakukan penanaman lebih dari 1 tanaman (umur sama atau berbeda). Contoh: tumpang sari sama umur seperti jagung dan kedelai; tumpang sari beda umur seperti jagung, ketela pohon, padi gogo.

b. Tumpang gilir ( Multiple Cropping ),
dilakukan secara beruntun sepanjang tahun dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum. Contoh: jagung muda, padi gogo, kedelai, kacang tanah, dll.

c. Tanaman Bersisipan ( Relay Cropping ):
pola tanam dengan menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman selain tanaman pokok (dalam waktu tanam yang bersamaan atau waktu yang berbeda). Contoh: jagung disisipkan kacang tanah, waktu jagung menjelang panen disisipkan kacang panjang.

d. Tanaman Campuran ( Mixed Cropping ) :
penanaman terdiri beberapa tanaman dan tumbuh tanpa diatur jarak tanam maupun larikannya, semua tercampur jadi satu. Lahan efisien, tetapi riskan terhadap ancaman hama dan penyakit. Contoh: tanaman campuran seperti jagung, kedelai, ubi kayu.

3.2. Lubang Tanam dan Cara Tanam
Lubang tanam ditugal, kedalaman 3-5 cm, dan tiap lubang hanya diisi 1 butir benih. Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panennya, semakin panjang umurnya jarak tanam semakin lebar. Jagung berumur panen lebih 100 hari sejak penanaman, jarak tanamnya 40x100 cm (2 tanaman /lubang). Jagung berumur panen 80-100 hari, jarak tanamnya 25x75 cm (1 tanaman/lubang).




4. PEMELIHARAAN TANAMAN

1) Penyulaman
Tanaman yang tumbuhnya paling tidak baik, dipotong dengan pisau atau gunting tajam tepat di atas permukaan tanah. Pencabutan tanaman secara langsung tidak boleh dilakukan, karena akan melukai akar tanaman lain yang akan dibiarkan tumbuh. Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih yang tidak tumbuh/mati, dilakukan 7-10 hari sesudah tanam (hst). Jumlah dan jenis benih serta perlakuan dalam penyulaman sama dengan sewaktu penanaman..

2) Penyiangan
Penyiangan dilakukan 2 minggu sekali. Penyiangan pada tanaman jagung yang masih muda dapat dengan tangan atau cangkul kecil, garpu dll. Penyiangan jangan sampai mengganggu perakaran tanaman yang pada umur tersebut masih belum cukup kuat mencengkeram tanah maka dilakukan setelah tanaman berumur 15 hari.

3) Pembubunan
Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan untuk memperkokoh posisi batang agar tanaman tidak mudah rebah dan menutup akar yang bermunculan di atas permukaan tanah karena adanya aerasi. Dilakukan saat tanaman berumur 6 minggu, bersamaan dengan waktu pemupukan. Tanah di sebelah kanan dan kiri barisan tanaman diuruk dengan cangkul, kemudian ditimbun di barisan tanaman. Dengan cara ini akan terbentuk guludan yang memanjang.



4) Pengairan dan penyiraman
Setelah benih ditanam, dilakukan penyiraman secukupnya, kecuali bila tanah telah lembab, tujuannya menjaga agar tanaman tidak layu. Namun menjelang tanaman berbunga, air yang diperlukan lebih besar sehingga perlu dialirkan air pada parit-parit di antara bumbunan tanaman jagung.
5) Pemupukan
Pemberian jenis pupuk dan dosis (gram/tanaman) setelah penanaman adalah sebagai berikut:

Tabel 3
Jenis dan Dosis Pupuk untuk Jagung

No Jenis pupuk Kegunaan Dosis (Kg/Ha) Waktu pemberian
1 Nitrogen (N) Meningkatkan produksi 90 - 120 1/3 bagian pada waktu tanam, dan 2/3 bagian pada umur 1 bulan
2. Phosphat dan Kalium (P dan K) Memberikan hasil yang lebih baik 30 – 45 Kg P2O5
0 – 25 Kg K2O Semuanya diberikan pada waktu tanam


D. HAMA DAN PENYAKIT


1. HAMA
a. Lalat bibit (Atherigona exigua Stein)
Gejala: daun berubah warna menjadi kekuningan, bagian yang terserang mengalami pembusukan, akhirnya tanaman menjadi layu, pertumbuhan tanaman menjadi kerdil atau mati. Penyebab: lalat bibit dengan ciri-ciri warna lalat abu-abu, warna punggung kuning kehijauan bergaris, warna perut coklat kekuningan, warna telur putih mutiara, dan panjang lalat 3-3,5 mm.
Pengendalian: (1) penanaman serentak dan penerapan pergiliran tanaman. (2) tanaman yang terserang segera dicabut dan dimusnahkan. (3) Sanitasi kebun.

b. Ulat Pemotong
Gejala: tanaman terpotong beberapa cm diatas permukaan tanah, ditandai dengan bekas gigitan pada batangnya, akibatnya tanaman yang masih muda roboh. Penyebab: beberapa jenis ulat pemotong: Agrotis ipsilon; Spodoptera litura, penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis), dan penggerek buah jagung (Helicoverpa armigera).
Pengendalian: (1) Tanam serentak atau pergiliran tanaman; (2) cari dan bunuh ulat-ulat tersebut (biasanya terdapat di dalam tanah).





2. PENYAKIT

a. Penyakit bulai (Downy mildew)
Penyebab: cendawan Peronosclerospora maydis dan P. javanica serta P. philippinensis, merajalela pada suhu udara 270 C ke atas serta keadaan udara lembab. Gejala: (1) umur 2-3 minggu daun runcing, kecil, kaku, pertumbuhan batang terhambat, warna menguning, sisi bawah daun terdapat lapisan spora cendawan warna putih; (2) umur 3-5 minggu mengalami gangguan pertumbuhan, daun berubah warna dari bagian pangkal daun, tongkol berubah bentuk dan isi; (3) pada tanaman dewasa, terdapat garis-garis kecoklatan pada daun tua. Pengendalian: (1) penanaman menjelang atau awal musim penghujan; (2) pola tanam dan pola pergiliran tanaman, penanaman varietas tahan; (3) cabut tanaman terserang dan musnahkan;

b. Penyakit bercak daun (Leaf bligh)
Penyebab: cendawan Helminthosporium turcicum. Gejala: pada daun tampak bercak memanjang dan teratur berwarna kuning dan dikelilingi warna coklat, bercak berkembang dan meluas dari ujung daun hingga ke pangkal daun, semula bercak tampak basah, kemudian berubah warna menjadi coklat kekuning-kuningan, kemudian berubah menjadi coklat tua. Akhirnya seluruh permukaan daun berwarna coklat. Pengendalian: (1) pergiliran tanaman. (2) mengatur kondisi lahan tidak lembab;

c. Penyakit karat (Rust)
Penyebab: cendawan Puccinia sorghi Schw dan P.polypora Underw. Gejala: pada tanaman dewasa, daun tua terdapat titik-titik noda berwarna merah kecoklatan seperti karat serta terdapat serbuk berwarna kuning kecoklatan, serbuk cendawan ini berkembang dan memanjang. Pengendalian: (1) mengatur kelembaban; (2) menanam varietas tahan terhadap penyakit; (3) sanitasi kebun;

d. Penyakit gosong bengkak (Corn smut/boil smut)
Penyebab: cendawan Ustilago maydis (DC) Cda, Ustilago zeae (Schw) Ung, Uredo zeae Schw, Uredo maydis DC. Gejala: masuknya cendawan ini ke dalam biji pada tongkol sehingga terjadi pembengkakan dan mengeluarkan kelenjar (gall), pembengkakan ini menyebabkan pembungkus rusak dan spora tersebar. Pengendalian: (1) mengatur kelembaban; (2) memotong bagain atanaman dan dibakar.

e. Penyakit busuk tongkol dan busuk biji
Penyebab: cendawan Fusarium atau Gibberella antara lain Gibberella zeae (Schw), Gibberella fujikuroi (Schw), Gibberella moniliforme. Gejala: dapat diketahui setelah membuka pembungkus tongkol, biji-biji jagung berwarna merah jambu atau merah kecoklatan kemudian berubah menjadi warna coklat sawo matang. Pengendalian: (1) menanam jagung varietas tahan, pergiliran tanam, mengatur jarak tanam, perlakuan benih;

Catatan : Jika pengendalian hama penyakit dengan menggunakan pestisida alami belum mengatasi dapat dipergunakan pestisida kimia yang dianjurkan.




E. PANEN DAN PASCA PANEN

1. CIRI DAN UMUR PANEN

1. Buah jeruk dipanen pada saat masak optimal, biasanya berumur antara 28–36
minggu, tergantung jenis/varietasnya.
2. Buah dipetik dengan menggunakan gunting pangkas.

2. PERKIRAAN PRODUKSI

Rata-rata tiap pohon dapat menghasilkan 300-400 buah per tahun, kadang-kadang, sampai 500 buah per tahun. Produksi jeruk di Indonesia sekitar 5,1 ton/ha masih di, bawah produksi di negara subtropis yang dapat mencapai 40 ton/ha.

3. PENGUMPULAN

Di kebun, buah dikumpulkan di tempat yang teduh dan bersih. Pisahkan buah yang, mutunya rendah, memar dan buang buah yang rusak. Sortasi dilakukan berdasarkan diameter dan berat
buah yang biasanya terdiri atas 4 kelas. Kelas A adalah buah dengan diameter dan berat terbesar sedangkan kelas D memiliki diameter dan berat terkecil.

4. PENYORTIRAN DAN PENGGOLONGAN

Setelah buah dipetik dan dikumpulkan, selanjutnya buah disortasi/dipisahkan dari buah yang busuk. Kemudian buah jeruk digolongkan sesuai dengan ukuran dan jenisnya. Untuk enyimpan buah jeruk, gunakan tempat yang sehat dan bersih dengan
temperatur ruangan 8-10 derajat C.

5. PENGEMASAN

Sebelum pengiriman, buah dikemas di dalam keranjang bambu/kayu tebal yang tidak terlalu berat untuk kebutuhan lokal dan kardus untuk ekspor. Pengepakan jangan terlalu padat agar buah tidak rusak. Buah disusun sedemikian rupa sehingga di antara buah jeruk ada ruang udara bebas tetapi buah tidak dapat bergerak. Wadah untuk mengemas jeruk berkapasitas 50-60 kg.


III
UMPAN BALIK

Jagung merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai peranan penting di pasaran dunia maupun dalam negeri, baik dalam bentuk segar maupun olahannya. Karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka seorang petani harus melihat peluang yang sangat besar ini dengan daya (ketrampilannya) mengolah jagung ini agar menjadi hasil produksi yang baik dan mempunyai nilai guna yang tinggi.
Prospek yang lebih cerah ke arah agribisnis jagung semakin nyata dengan memperhatikan berbagai potensi yang ada di indonesia yang sangat besar peluangnya seperti; potensi lahan, potensi produksi, dan potensi pasar yang sangat menjanjikan bagi keuntungan petani. Untuk lebih jelas kita bisa melihat pada analisis budidaya tanaman jagung pada halaman berikut.
IV
ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN


A. Analisis kelayakan finansial

Usaha pengembangan jagung di Provinsi Nusa Tenggara sangat menjanjikan untuk digarap secara ekonomis, terutama jika dikaitkan dengan pengembangan sektor peternakan yang selama ini menjadi primadona di provinsi Nusa Tenggara Timurt. Untuk pengusahaan komoditas jagung dengan luas lahan penanaman 100 ha, dibutuhkan biaya awal sebesar Rp. 683,425,000.-. Biaya tersebut merupakan gabungan dari biaya biaya investasi sebesar Rp. 525,000,000.- dan biaya operasional diluar penyusutan selama 1 (satu) tahun adalah sebesar Rp. 158,425,000.-. Keseluruhan biaya ditanggung oleh investor tanpa mengajukan pinjaman kredit. Perhitungan biaya tersebut didasarkan pada hal-hal berikut:

Luas lahan yang diusahakan seluas 100 ha dengan produksi sebanyak 2.131 ton per hektar dan satu tahun hanya satu kali masa tanam
Sewa lahan adalah sebesar Rp. 375,000 per ha per tahun
Butuh 5 unit mesin huler kapasitas 1,5 dengan harga Rp. 25,000,000.- per unit.
Produk dijual dalam bentuk jagung pipilan kering dengan harga Rp. 1,500 per kg
Kebutuhan benih jagung sebanyak 2,000 kg/ha dengan harga Rp. 3,000 per kg
Honor tenaga kerja per hari sebesar Rp. 10,000.-
Dengan menggunakan patokan-patokan diatas diperoleh hasil analisis kelayakan ekonomi sebagaimana ditunjukkan oleh nilai-nilai indikator seperti terlihat pada tabel berikut ( Selengkapnya lihat lampiran ).

Tabel 4.Hasil Analisis Ekonomi Komoditas Jagung

No. Indikator Finansial Nilai
1 NPV DR 18% (Rupiah) 148,877,970
2 IRR (%) 27.41
3 BCR 1.14
4 Pay Back Period (Tahun) 5.14
Sumber : diolah dari berbagai sumber

Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa nilai NPV dengan tingkat discount factor 18% sebesar 148,877,970 lebih besar dari nol (NPV>0) sehingga secara finansial usaha budidaya komoditas jagung sangat layak dilakukan karena manfaat yang diberikan lebih besar daripada biaya. Sedangkan nilai IRR yang diperoleh yaitu sebesar 27.41%, nilai ini berada diatas suku bunga yang berlaku, begitu juga dengan nilai BC ratio yang lebih dari 1 yaitu sebesar 1.14 sehingga usaha budidaya jagung di Provinsi NTB sangat layak untuk dilakukan. Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas juga terlihat bahwa masa payback period usaha budidaya komoditas jagung di Provinsi NTT adalah selama lebih kurang 5,14 tahun atau kurang lebih 62 bulan. Lamanya tingkat pengembalian investasi ini lebih disebabkan biaya investasi yang dikeluarkan sangat besar terutama untuk sewa lahan yang cukup luas sementara penggunaannya hanya untuk satu kali panen setahun, jadi lahan belum optimal digunakan.

Lampiran . Analisis Finansial Komoditas Jagung
Biaya Investasi dan Operasional Usaha Budidaya Jagung




B. Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis budidaya dengan luas lahan penanaman 1 ha, jenis jagung
Hibrida C1 pada tahun 1999 per musim tanam (3 bulan) di daerah Jawa Barat:
a) Biaya produksi
1. Sewa 1 hektar per musim tanam Rp. 375.000,-
2. Bibit: benih jagung 20 kg @ Rp. 15.000,- Rp. 300.000,-
3. Pupuk
- Urea: 300 kg @ Rp. 1.500,- Rp. 450.000,-
- SP 36: 100 kg @ Rp.1.900,- Rp. 190.000,-
- KCl: 50 kg @ Rp. 1.650,- Rp. 82.500,-
4. Pestisida
- Insektisida: 2 liter @ Rp. 50.000,- Rp. 100.000,-
5. Tenaga kerja
- Pengolahan lahan Rp. 450.000,-
- Penanaman: 20 OH @ Rp. 10.000,- Rp. 200.000,-
- Penyiangan dan pembumbunan (borongan) Rp. 50.000,-
- Pemupukan: 20 OH @ Rp. 10.000,- Rp. 200.000,-
- Pemeliharaan lain Rp. 50.000,-
6. Panen Rp. 150.000,-
7. Biaya lain-lain Rp. 100.000,-
Jumlah biaya produksi Rp. 2.697.500,-
b) Pendapatan: 5.500 kg.@ Rp. 650,- Rp. 3.575.000,-
c) Keuntungan bersih Rp. 877.500,-
d) Parameter kelayakan usaha
1. Rasio B/C = 1,325




C. Gambaran Peluang Agribisnis
Berdasarkan statistik yang ada permintaan produk jagung nasional belum dapat memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri. Impor jagung jumlahnya sudah cukup besar terutama dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pakan ternak yang sedang berkembang dewasa ini

D. STANDAR PRODUKSI
1. Ruang Lingkup
Standar produksi tanaman jagung meliputi: standar klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan, pengemasan dan rekomondasi.
2. Diskripsi
Standar mutu jagung di Indonesia tercantum dalam Standar Nasional Indonesia SNI 01-03920-1995.
3. Klasifikasi dan Standar Mutu
Berdasarkan warnanya, jagung kering dibedakan menjadi jagung kuning (bila sekurang-kurangnya 90% bijinya berwarna kuning), jagung putih (bila sekurangkurangnya bijinya berwarna putih) dan jagung campuran yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Dalam perdagangan internasional, komoditi jagung kering dibagi dalam 2 nomor HS dan SITC berdasarkan penggunaannya yaitu jagung benih dan non benih.
a) Syarat Umum
1. Bebas hama dan penyakit.
2. Bebas bau busuk, asam, atau bau asing lainnya.
3. Bebas dari bahan kimia, seperti: insektisida dan fungisida.
4. Memiliki suhu normal.
b) Syarat Khusus
1. Kadar air maksimum (%): mutu I=14; mutu II=14; mutu III=15; mutu IV=17.
2. Butir rusak maksimum (%): mutu I=2; mutu II=4; mutu III=6; mutu IV=8.
3. Butir warna lain maksimum (%): mutu I=1; mutu II=3; mutu III=7; mutu IV=10.
4. Butir pecah maksimum (%): mutu I=1; mutu II=2; mutu III=3; mutu IV=3.
5. Kotoran maksimum (%): mutu I=1; mutu II=1; mutu III=2; mutu IV=2.

Untuk mendapatkan standar mutu yang disyaratkan maka dilakukan beberapa pengujian diantaranya:

a. Penentuan adanya hama dan penyakit, baru dilakukan dengan cara organoleptik kecuali adanya bahan kimia dengan menggunakan indera pengelihatan dan penciuman serta dibantu dengan peralatan dan cara yang diperbolehkan.
b. Penentuan adanya rusak, butir warna lain, kotoran dan butir pecah dilakukan dengan cara manual dengan pinset dengan contoh uji 100 gram/sampel. Persentase butir-butir warna lain, butir rusak, butir pecah, kotoran ditetapkan berdasarkan berat masing-masing komponen dibandingkan dengan berat contoh analisa x 100 %
c. Penentuan kadar air biji ditentukan dengan moisturetester electronic atau “Air Oven Methode” (ISO/r939-1969E atau OACE 930.15). Penentuan kadar aflatoxin adalah racun hasil metabolisme cendawan Aspergilus flavus, Aflatoxin disini adalah jumlah semua jenis aflatoxin yang terkandung dalam biji-biji kacang tanah.

4. Pengambilan Contoh
Contoh diambil secara acak sebanyak akar pangkat dua dari jumlah karung maksimum 30 karung dari tiap partai barang, kemudian dari tiap-tiap karung diambil contoh maksimum 500 gram. Contoh-contoh tersebut diaduk/dicampur sehingga merata, kemudian dibagi empat dan dua bagian diambil secara diagonal. Cara ini dilakukan beberapa kali sampai mencapai contoh seberat 500 gram. Contoh ini disegel dan diberi label untuk dianalisa, berat contoh analisa 100 gram.
5. Pengemasan
Pengemasan dengan karung harus mempunyai persyaratan bersih dan dijahit mulutnya, berat netto maksimum 75 kg. dan tahan mengalami “handling” baik waktu pemuatan maupun pembongkaran.
Di bagian luar karung (kecuali dalam bentuk curah) ditulis dengan bahan yang aman

yang tidak luntur dan jelas terbaca antara lain:
a) Produce of Indonesia.
b) Daerah asal produksi.
c) Nama dan mutu barang.
d) Nama perusahaan/pengekspor.
e) Berat bruto.
f) Berat netto.
g) Nomor karung.
h) Tujuan.


DAFTAR PUSTAKA

a) AAK. (1993). Teknik Bercocok Tanam Jagung.Yogyakarta. Kanisius.

b) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (1998). Budidaya Kedelai dan Jagung. Palangkaraya. Departemen Pertanian.

c) Capricorn Indo Consult. (1998). Studi Tentang Agroindustri & Pemasaran JAGUNG & KEDELAI di Indonesia.

d) Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (1988). Jagung Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

e) Saenong, Sania. (1988). Teknologi Benih Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan.