468x60 Ads

Minggu, 24 Oktober 2010

MANGAN dan INKONSISTENSI PEMERINTAH NTT

MANGAN dan INKONSISTENSI PEMERINTAH Ntt
Oleh : UMBU JOKA ( 0804022598)
Pertambangan bukan lagi menjadi hal yang baru bagi masyarakat Indonesia, kegiatan tambang mempunyai banyak dinamika dalam pelaksanaannya. Bisa dikatakan ibarat pedang bermata dua, dari satu sudut pandang dianggap menguntungkan karena memberi kontribusi besar bagi pendapatan Negara atau bagi PAD (pendapatan Asli Daerah) tempat tambang tersebut berada, meskipun kadang – kadang daerah hanya mendapatkan sekitar 6% dari pembagian keuntungan hasil pertambangan apabila izin pertambangan tersebut berbentuk model kontrak kerja sama (PSC) yang proses-proses utamanya berada di tangan pemerintah pusat (sesuai UU Minyak bumi dan Gas no 21/2002). Sedangkan dari sudut pandang lain banyak terdapat efek negatif yang cukup merugikan yang ditimbulkan oleh kegiatan menambang bagi lingkungan dan masyarakat di sekitar daerah tambang. Seperti kerusakan atau pencemaran sumber air, kerusakan daerah pertanian ataupun kawasan hutan, serta merusak tatanan sosial masyarakat.



“Kualitas batu Mangan dari NTT termasuk yang terbaik di dunia, dan jumlah yang terukur saat ini cukup untuk penuhi kebutuhan Indonesia serta Korea Selatan selama lima puluh tahun mendatang” Hal ini disampaikan seorang pejabat kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat berkunjung ke Kupang akhir 2009 lalu. Ini kabar baik atau buruk bagi rakyat NTT? Tampak banyak jawaban negatif. Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur (DPRD NTT) mendesak pemerintah daerah untuk menghentikan seluruh proses eksploitasi mangan di daerah tersebut, sampai ada regulasi (peraturan daerah) di tingkat provinsi yang mengatur hal ini. Namun, sementara tuntutan tersebut dikemukakan, proses eksploitasi terus berlangsung dengan berbagai dampaknya. Regulasi yang menjadi pegangan sekarang adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Penambangan Mineral dan Batubara dan peraturan daerah atau keputusan pemegang wewenang di level pemerintahan daerah kabupaten. Regulasi di tingkat kabupaten ini mengatur hal yang lebih spesifik seperti batas minimal harga komoditi, ijin usaha penambangan (IUP), dan lain-lain.
Hasil sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh LSM Simpul Demokrasi Belu baru-baru ini menyebut empat poin dampak positif dan dua puluh tiga poin dampak negatif dari pertambangan mangan, disertai sejumlah rekomendasi kepada pemerintah (http://www.simpuldemokrasi.org/news_detail.php?nid=68). Didalam tulisan ini tidak akan merincikan kembali satu per satu hasil FGD tersebut. Beberapa poin di bawah ini coba merangkum persoalan yang ada, yaitu; pertama, aktivitas penambangan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Di banyak tempat di pulau Timor, bebatuan kartz yang berfungsi sebagai tangkapan air hujan yang kemudian bermanfaat menyediakan sumber air bersih bagi penduduk. Penambangan mangan dikhawatirkan mengganggu daya tampung alam terhadap air hujan, sehingga mengganggu juga pasokan kebutuhan akan air
Kedua, kondisi kesejahteraan rakyat tidak mengalami perubahan setelah penambangan dilakukan secara masif selama beberapa tahun terakhir. Ada manfaat jangka pendek berupa tambahan penghasilan, namun jumlahnya tidak cukup buat penuhi kebutuhan hidup, dan berdampak buruk dalam jangka panjang. Angka kemiskinan di NTT tetap tinggi, dan masih tergolong provinsi yang paling miskin atau terbelakang. Ketiga, hal-hal terkait ketenagakerjaan, seperti kesehatan dan keselamatan kerja, keberadaan pekerja anak, pendidikan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan rakyat mengenai obyek kerjanya, pengupahan, dan lain-lain. Keempat, dampak - dampak sosial budaya di tengah masyarakat, seperti meningkatnya persaingan disertai pudarnya semangat gotong royong, bergesernya sumber penghidupan masyarakat dari bertani menjadi “penambang tradisional”, dan lain-lain, selain itu masalah kepemilikan lahan yang menjadi tambang mangan dapat memecah rasa solidaritas dan kekeluargaan yang telah lama melindungi masyarakat kepulauan ini, sudah bukan hal yang baru lagi bila peperangan antar suku atau keluarga dapat dengan mudah dipicu akibat perebutan lahan ataupun pembagian sumber air untuk mengaliri lahan persawahan, tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika perebutan daerah tambang mangan sampai mengarah demikian seperti yang kerap kali terjadi di Propinsi Papua.
Disadari, persoalan-persoalan tersebut tak diatasi hanya oleh regulasi yang dibuat di tingkat daerah. Namun sebagai upaya menciptakan kondisi yang lebih baik, langkah (pembuatan regulasi) tersebut dapat kita manfaatkan sebagai sebuah “tahapan” yang diposisikan sesuai dengan kapasitasnya. Artinya, pembuatan dan pengesahan sebuah peraturan daerah tingkat provinsi, dan atau berbagai peraturan daerah tingkat kabupaten, tidak menjamin proses yang lebih sehat dalam pemanfaatan kekayaan alam. Acuan terbaik seharusnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun keadaan yang baik itu (menjadikan pasal 33 UUD 1945 sebagai acuan) tidak sedang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.
Eksploitasi mangan perlu juga dilihat dalam skema perkembangan ekonomi-politik global dan nasional. Sejak penaklukkan “Barat” terhadap “Timur” (kurang lebih antara abad 16 sampai abad 20), tercipta keadaan yang disebut kolonialisme atau penjajahan. Sistem ini berupaya menguasai sebanyak mungkin tenaga kerja, pasar, dan bahan mentah dari negeri-negeri jajahan untuk diperdagangkan, yang kemudian berlipatganda keuntungannya di negeri-negeri penjajah. Eksploitasi bahan mentah dari negeri terjajah oleh negeri penjajah terus berlanjut dalam penampakan yang berganti dari sebelumnya, namun sama dalam hakekat. Pemerintah di negeri ex-jajahan diberikan ‘kedaulatan’ secara politik, tapi tetap menciptakan ketergantungan (sebagai syarat eksploitasi) terhadap ekonomi asing. Pentingnya komoditi mangan saat ini mungkin sebanding dengan palawija diburu-buru oleh VOC pada masa lampau.
Menilik situasi perekonomian di atas, kita perlu belajar dari kasus-kasus pertambangan di daerah lain. Ekspansi kapital pertambangan ke kepulauan NTT tergolong baru dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bisa dikatakan tak ada perusahaan raksasa tambang yang beroperasi di NTT sebelum liberalisasi dimulai tahun 1998. Jenis usaha atau industri yang berkembang pun lebih banyak pada industri jasa, seperti kontraktor, pariwisata, perdagangan hasil bumi, dan sejumlah kecil percetakan. Paling banter singgungan pada pertambangan lewat usaha kontraktor yang melakukan galian C (batu dan pasir) untuk bahan campuran bangunan atau jalan. Demikian halnya satu-satunya industri besar yang merupakan aset milik pemerintah daerah adalah PT. Semen Kupang yang memasok kebutuhan di daerah. Perusahaan daerah ini mulai bangkrut sejak masuknya produk semen Tonasa dan Gresik.
Pencarian batu mangan ke NTT akan terus ada dan bertambah dalam beberapa tahun ke depan, bahkan bisa lebih lama. Alasan utamanya sederhana, yaitu pemenuhan kebutuhan industri di negeri Tiongkok dan Asia Timur lainnya (Jepang dan Korea) yang cenderung mencari sumber bahan baku terbaik dan terdekat, dibandingkan harus mendatangkan komoditi tersebut dari Ukraina ataupun Afrika Selatan yang memakan biaya lebih besar.
Banyak carut marut dari masalah pertambangan yang telah terasa di propinsi Nusa Tenggara seperti : pertambangan terindikasi sebagai pelarian dari ketidakberhasilan program pemerintah atau kegagalan pembangunan sektor-sektor yang berkelanjutan yaitu; ketahanan pangan, pertanian, peternakan, dan sumber daya kelautan (contoh: turunnya jumlah ternak di Kabupaten TTS sebesar 100 ribu ekor selama kurang dari 10 tahun), pelanggaran aturan tentang pertambangan dan lingkungan hidup, terutama tambangtambang yang beroperasi lewat SKPD atau Kuasa Pertambangan Daerah (tanpa feasibility study, tanpa AMDAL, tanpa konsultasi) jumlahnya simpang siur 240 sampai 410 KP, sarat dengan kepentingan politik dan bisnis, termasuk bisnis aparat keamanan dan militer, serta perspektif 'cari untung' setinggi-tingginya di kalangan pejabat pengurus negara, tidak memiliki kapasitas mengendalikan atau bahkan sengaja tidak mengendalikan, tapi yang paling buruk adalah pengabaian terhadap hak hidup, hak atas pekerjaan, hak atas lingkungan hidup yang sehat
Kekayaan tambang adalah milik rakyat. Namun ‘pemanfaatan’ oleh rakyat yang terjadi saat ini, dalam bentuk penambangan tradisional maupun modern, sebenarnya berada di luar rencana rakyat sendiri. Rencana atau desain ini diciptakan oleh kepentingan industri di luar negeri, didesakkan kepada pemerintah pusat maupun daerah, kemudian rakyat menjadi korban pasif dari kehendak para pemodal.
Akhirnya penulis hanya mempunyai saran yang sedikit mempertanyakan tentang pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang semakin konsisten dengan inkonsistensinya tentang Nusa Tenggara Timur sebagai Propinsi Lumbung Ternak, Koperasi, dan Jagung, tetapi kini lebih sibuk dengan urusan tambang mangan dan tambang – tambang lainnya. Sedangkan pertambangan akan “mengeruk” sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui meskipun umur dari logam relatif panjang. Tetapi sangat disayangkan bila demi mendapatkan uang kontan banyak petani yang terpaksa meninggalkan kebun dan lahannya demi menjadi penambang yang resiko kesehatan dan keselamatannya belum menjadi perhatian dari pemerintah yang wajib melindungi warga negaranya. Pertanian di Nusa Tenggara yang merupakan upaya pemanfaatan sumber – sumber hayati demi mencukupi kebutuhan manusia, mendapat tantangan besar oleh pembukaan tambang mangan. Pemerintah perlu kembali berkomitmen dengan Visi yang dicanangkan bahwa NTT sebagai Propinsi Koperasi,Lumbung Ternak,dan Jagung, atau bisa saja diganti dengan NTT propinsi tambang, yang penting menjamin kesejahteraan masyarakat NTT kedepannya.

1 komentar:

UBU69 mengatakan...

tugas ESDAL

Posting Komentar