APLIKASI TEKNOLOGI TEPAT GUNA BIDANG PERTANIAN
TERHADAP PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN
DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
FARMING APPROPRIATE TECHNOLOGY APPLIED FRONT
INCREASSING THE USEFULL VALUE OF AGRICULTURE PRODUCT
AT EAST NUSA TENGGARA PROVINCE
Umbu Joka
Abstrak
Penggunaan teknologi sudah seharusnya guna meringankan kehidupan manusia. Salah satunya dapat diterapkan dalam usahatani, terkususnya pada sector on – farm dan pengolahan. Kelebihan produk pada saat panen yang tidak terserap oleh pasar dapat disiasati dengan beberapa pendekatan salah satunya ialah dengan aplikasi dari salah satu bentuk teknologi tepat guna seperti mesin – mesin agroindustri.
Selain guna mengubah bentuk demi meningkatkan nilai tambah dari produk pertanian, penggunaan teknologi tepat guna dalam kegiatan budidaya juga akan sangat menentukan, seperti penggunaan bibit unggul dan pupuk, teristimewa pupuk organik yang ramah lingkungan.
Sejalan dengan program pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam tajuk “Anggur Merah” yang bertujuan menjadikan NTT Propinsi Jagung, Koperasi, dan Lumbung Ternak, maka model penyuluhan seperti pendampingan perlu ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih sederhana dan menguntungkan seperti kemitraan. Seperti koperasi dan penyuluh dapat menjadi “agent of change” bagi masyarakat di sekitarnya dalam proses adopsi terhadap inovasi – inovasi di bidang pertanian.
Hal ini akan sejalan dengan proses pendidikan kepada petani agar menjadi petani modern yang berorientasi kepada pasar. Melalui tulisan inipun ingin direkomendasikan kepada para stakeholder dalam bidang Pertanian tentang manfaat yang dapat diperoleh lewat aplikasi Teknologi Tepat Guna bagi pembangunan pertanian di Indonesia secara umum dan Propinsi Nusa Tenggara Timur kususnya.
Kata – kata kunci : teknologi tepat guna, pembangunan pertanian,orientasi pasar, Anggur Merah
Abstract
Technology function is has helping human’s life. In which, one for applied in forming system is specially on farm sector and processing. The over stuck at harvest sector, which market can’t receive has been with strategy with some apporoach, wich one is with applied the appropriate technology.
Either change the form/ shape or increasing the use value from agriculture product, appropriate technology at farming engginering is ascertain too. For example the superior beens and fertilizer, especially organic fertilizer wich nature kind.
Based the East Nusa Tenggara Government policy program titled “ Anggur Merah”, in which the aim is NTT the province of corn, cooperation, and cattle ranch, so the great model of illumination like accompanion need to transform as simple benefit form called partnership. The cooperation and illumination can be agent of change for farmer’s in adopted procces cattle inovation’s on farming.
That statement will support with education to farmers citizen for be modern farmer with market oriented. From this paper, want to recomendate to all stakeholder’s on farming system about the benefit of applied the appropriate technology for farming development in Indonesia, especially at East Nusa Tenggara Province.
Key word’s : appropriate technology, farming development , market oriented, Anggur Merah
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang perubahan- perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi / keyakinan. Hal inipun berlaku kepada masyarakat tani, yang umumnya berdomisili di daerah pedesaan.
Pembangunan nasional yang sementara kita galakkan ini terkadang hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi yang berakibat pada upaya peningkatan kapasitas usaha, hanya dalam beberapa hal kita sering kecolongan dalam upaya penyetaraan dampak dari pembagunan nasional, kesenjangan cukup nampak antara perkembangan masyarakat urban atau perkotaan dengan masyarakat pedesaan, padahal menurut kenyataan penduduk kota boleh dikatakan bergantung penuh pada usaha – usahatani penduduk pedesaan guna mencukupi kebutuhan hidup, terutama menyangkut ketersediaan pangan.
Ketika saatnya panen tiba, para petani menyambutnya dengan rasa suka cita. Apalagi kalau tanaman pertanian yang mereka tanam memberikan hasil yang tinggi dengan kualitas yang memuaskan. Namun kegembiraan para petani itu seringkali dibayangi kesedihan dan kekecewaan, karena biasanya pada saat musim panen raya harga berbagai produk pertanian merosot tajam. Penyebabnya tidak lain adalah mekanisme pasar khususnya menyangkut kekuatan pasokan (supply) dan permintaan (demand). Pada saat musim panen raya pasokan produk pertanian sudah pasti mengalami kenaikan sedangkan permintaannya relatif tetap.
Kondisi tersebut seringkali mengakibatkan petani tidak berdaya dan hanya pasrah terhadap mekanisme pasar yang terjadi. Petani tidak memiliki pilihan lain kecuali menjual hasil panennya walaupun dengan harga yang sangat murah. Padahal untuk menghasilkan panen yang baik itu diperlukan biaya produksi yang tidak sedikit dengan kecenderungan yang terus meningkat. Kejadian tersebut selalu berulang setiap musim panen tiba dan petani selalu tidak berdaya menghadapi mekanisme pasar yang terjadi. Hal ini, akan semakin parah karena banyak petani di Nusa Tenggara Timur seakan “terlena“ dengan sistem warisan sakit hati yang bernama “ijon”. Akibatnya, usaha tani yang digelutinya pun tidak lagi mendatangkan keuntungan, malah sebaliknya sering menimbulkan kerugian. Kondisi yang terus-menerus berlangsung setiap musim panen itu telah mendorong para petani jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang permanen.
Modernisasi tidak hanya milik masyarakat yang bermukim di daerah perkotaan saja, sekarang ini sentuhan – sentuhan modernisasi telah menjalar ke berbagai pelosok daerah, hal ini dimungkinkan dengan adanya sarana dan prasarana dibidang telekomunikasi yang amat memudahkan kehidupan manusia. Begitupun dengan masyarakat pertanian, yang umumnya identik dengan daerah pedesaan tidak luput dari euphoria akan modernisasi, masyarakat pertanian yang dulunya dianggap terbelakang dalam penyerapan dan penguasaan akan teknologi dalam berbagai bentuk kini mau tidak mau sangat membuthkan sentuhan teknologi dalam aktivitas pertanian. Jika dulunya masyarakat pertanian cenderung ‘kolot’ akan hal – hal yang bersifat inovatif, lain halnya dengan sekarang ketergantungan akan hal- hal yang berhubungan dengan teknologi seakan menjadi bagian hidup mereka. Sebagai contoh, untuk membeli bibit saja mereka rela dating jauh – jauh dari tempat tinggal ke toko – toko atau pusat penjualan sarana produksi (input) pertanian seperti bibit, benih, dan input lainnya seperti pupuk dan pestisida. Hal ini mengindikasikan masyarakat pertanian telah sepenuhnya dapat menerima sentuhan teknologi dalam kehidupan mereka.
Hal seperti di atas, sebenarnya telah lama dibaca oleh pemerintah. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan hadirnya Badan Litbang Pertanian sebagai lembaga yang melakukan penelitian untuk pengembangan telah banyak menghasilkan inovasi pertanian, dan beberapa di antaranya telah digunakan secara luas dan terbukti menjadi tenaga pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan agribisnis berbagai komoditas pertanian. Salah satu contoh yang tergolong fenomenal ialah Revolusi Hijau pada agribisnis padi dan jagung, hasil dari penemuan varietas unggul dengan berbagai komponen teknologi penunjangnya. Dukungan teknologi perbenihan unggul juga telah mampu mendorong perkembangan agribisnis dan beberapa komoditi unggulan lainnya antara lain mendorong agribisnis perkebunan kelapa sawit dengan sangat pesat. Namun demikian, evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Masalah (bottle neck) utamanya adalah pada segmen rantai pasok terutama pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diperlukan suatu “jembatan penghubung” antara Badan Litbang Pertanian sebagai pemasok teknologi (generating system) dengan pengguna, agar inovasi pertanian spesifik lokasi yang telah dihasilkan dapat segera diterapkan dengan cepat dan tepat. Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian) yang berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung ke pengguna, antara Badan Litbang Pertanian (generating system) dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) dan secara langsung merupakan wahana pengkajian partisipatif. Prima Tani adalah model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian
Beberapa hal diatas menjadi indikasi bahwa pertanian di Indonesia meskipun secara perlahan – lahan telah berhasil melangkah ke arah sistem usahatani semi modern yang mengupayakan posisi petani sebagi seorang manjer tani yang sesungguhnya dan orientasinya adalah pasar demi kepentingan komersil tentunya. Hal ini menjadi menarik karena akan sangat berkaitan erat dengan kemampuan adopsi dari seorang petani terhadap adopsi beberapa bentuk teknologi tepat guna yang cukup efektif dan efisien guna meningkatkan keunggulan kompetitif usaha tani di NTT.
Permasalahan
Bagaimana dampak pengaplikasian teknologi – teknologi sederhana yang tepat guna dalam peningkatan kualitas pertanian terutama peningkatan nilai guna produk pertanian di Provinsi Nusa Tengara Timur.
Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui Pengaruh penggunaan teknologi tepat guna terhadap peningkatan nilai guna produk pertanian ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah guna melengkapi salah satu syarat dalam mengikuti Seminar Sabtu Mahasiswa Pertanian Universitas Nusa Cendanana (SESMAWA PERTANDA).
Metode
Dalam penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data dari buku, jurnal peneltian dan beberapa sumber dari internet.
TINJAUAN PUSTAKA
Rujukan penelitian terdahulu
Slamet (2005) dalam penelitian mereka yang bertujuan : 1) Mengetahui besarnya nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu, pisang dan sabut kelapa. 2) Menganalisis dampak pengolahan terhadap imbalan jasa yang diperoleh masing-masing faktor produksi yang digunakan
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa; 1) Berdasarkan angka konversi bahan baku dan tenaga kerja yang diperlukan, produksi yang diperoleh per hari orang kerja untuk keripik singkong adalah 15 kg/HOK, sekitar 2 kg/HOK untuk keripik pisang dan 34 kg/HOK untuk pengolahan cocofibre. (2). Nilai tambah terbesar adalah pada pengolahan cocofibre sebesar 77,20 persen dari nilai produknya, diikuiti oleh keripik pisang, kemudian keripik singkong. (3). Bagian yang diterima komponen-komponen faktor produksi dari marjin yang diperoleh dalam pengolahan keripik singkong relatif lebih merata dari pada pengolahan keripik singkong dan cocofibre. (4). Bagian terbesar yang diterima faktor produksi dalam pengolahan keripik singkong adalah diterima oleh input lain. Dalam pengolahan keri[pik pisang, yang terbesar diterima oleh tenaga kerja, Sedangkan untuk pengolahan cocofibre, bagian faktor terbesar diterima sebagai keuntungan pengusaha pengolah. (5). Nampaknya pada pengolahan keripik pisang, untuk setiap kilogram bahan baku menyerap tenaga yang relatif besar dari pada kedua jenis pengolahan lainnya. Disamping itu pengolahan keripik pisang menunjukan, bahwa komponenkomponen faktor produksi menerima bagian marjin yang relatif lebih merata.
Angkasa dkk (2003) dalam sebuah kajian yang dimuat pada Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. V, hal. 140 - 155 /HUMAS-BPPT/ANY, mengemukakan bahwa tidak berlebihan apabila proses keputusan mendifusikan TTG bagi masyarakat mendapat ruang kajian yang khusus, sehingga dapat dihindari kemubaziran bantuan teknologi tersebut. Didalam menentukan keberhasilan mekanisme difusi yang dipakai dan untuk mengetahui kecepatan difusi atau adopsi inovasi TTG pertanian dalam masyarakat dilakukan dengan mengukur dua aspek, yaitu tingkat penerapan dan waktu yang diperlukan dalam mengadopsi TTG tersebut. Kesimpulan yang didapat dari kajian ini adalah bahwa didalam menerapkan dan mengembangkan serta menyebarluaskan teknologi tepat guna, maka wajib sebelumnya dilakukan studi kelayakan untuk menilai aspek spek kelayakan teknis, aspek kelayakan ekonomis, aspek kelayakan sosial budaya dan lingkungan dan standardisasi teknologinya.
Dari hasil pengkajian mekanisme difusi teknologi tepat guna pertanian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Keberhasilan kegiatan penelitian dan pengkajian (litkaji) pertanian ditentukan oleh tingkat pemanfaatan hasilnya oleh pengguna sasaran.
2. Difusi hasil-hasil litkaji kepada petani-nelayan, pihak swasta dan pengguna lain perlu dilakukan melalui media yang tepat dan terus menerus.
3. Dalam menerapkan dan mengembangkan serta menyebarluaskan teknologi wajib dilakukan studi kelayakan untuk menilai aspek : aspek kelayakan teknis, aspek kelayakan ekonomis, aspek kelayakan sosial budaya dan lingkungan
4. Didalam penerapan TTG kepada masyarakat baik yang melalui mediator ataupun langsung dari penghasil TTG sekitar 40 % mengalami kegagalan atau mubazir dan hanya 60 persen yang berhasil. Selebihnya 10 % dari TTG yang diterapkan kepada masyarakat mengalami kegagalan/mubazir dan 90 % berhasil dan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan pengguna.
Pengertian Teknologi Tepat Guna
Teknologi adalah pengetahuan yang digunakan untuk membuat barang, menyediakan jasa serta meningkatkan cara dalam menangani sumber daya yang penting dan terbatas. Pengertian lain tentang teknologi adalah upaya manusia untuk membuat kehidupan lebih sejahtera, lebih baik, lebih enak dan lebih mudah. Teknologi dikembangkan untuk membuat hidup lebih baik, efisien dan mudah.
Istilah teknologi tepat guna mulai muncul menyusul krisis minyak 1973 dan pergerakan lingkungan pada dasawarsa 1970-an. Istilah ini biasanya digunakan di dalam dua wilayah: memanfaatkan teknologi paling efektif untuk menjawab kebutuhan daerah pengembangan, dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan dan ramah sosial di negara maju (Wikipedia) .
Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif minimalis dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan.[1]
Istilah ini biasanya diterapkan untuk menjelaskan teknologi sederhana yang dianggap cocok bagi negara-negara berkembang atau kawasan perdesaan yang kurang berkembang di negara-negara industri maju.[1] Bentuk dari "teknologi tepat guna" ini biasanya lebih bercirikan solusi "padat karya" daripada "padat modal". Kendati perangkat hemat pekerja juga digunakan, ia bukan berarti berbiaya tinggi atau mahal ongkos perawatan. Pada pelaksanaannya, teknologi tepat guna seringkali dijelaskan sebagai penggunaan teknologi paling sederhana yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif di suatu tempat tertentu. Di negara maju, istilah teknologi tepat guna memiliki arti yang berlainan, seringkali merujuk pada teknik atau rekayasa yang berpandangan istimewa terhadap ranting-ranting sosial dan lingkungan.[2]
TTG merupakan alih bahasa secara cukup longgar dari “appropriate technology”, suatu pengertian yang mempunyai makna tertentu, pada dasarnya, dilihat dari aspek teknis. Perujudan TTG banyak ditemukan dalam bentuk teknologi tradisional yang dipraktekkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat tersebut, kecil sekali peluang memiliki kesempatan memakai teknologi maju dan efisien, yang merupakan pola teknologi dari masyarakat maju/industri. Secara teknis TTG merupakan jembatan antara teknologi tradisional dan teknologi maju. Oleh karena itu aspek-aspek sosio-kultural dan ekonomi juga merupakan dimensi yang harus diperhitungkan dalam mengelola TTG. (Wikipedia)
Teknologi yang dikembangkan dari beragam teknologi satu diantaranya adalah Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu suatu teknologi yang memenuhi, persyaratan: teknis, ekomomi dan sosial budaya.
1. Teknis, yaitu memperhatikan dan menjaga tata kelestarian lingkungan hidup, penggunaan secara maksimal bahan baku lokal, menjamin mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas) produksi, secara teknis efektif dan efisien, mudah perawatan dan operasi, serta relatif aman dan mudah menyesuaikan terhadap perubahan.
2. Ekonomis, yaitu efektif menggunakan modal, keuntungan kembali kepada produsen, jenis usaha kooperatif yang mendorong timbul industri lokal.
3. Sosial budaya, memanfaatkan keterampilan yang sudah ada, menjamin perluasan lapangan kerja, menekan pergeseran tenaga kerja, menghidari konflik sosial budaya dan meningkatkan pendapatan yang merata.
Ciri – Ciri Teknologi Tepat Guna
Sebagaimana telah dikemukakan pengertian dan persyaratan Teknologi Tepat Guna (TTG) dapat dikemukakan ciri-ciri yang cukup menggambarkan TTG (walaupun tidak berarti sebagai batasan) adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan teknologi tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung pertanian, industri, pengubah energi, transportasi, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan,
2. Biaya investasi cukup rendah/relatif murah,
3. Teknis cukup sederhana dan mampu untuk dipelihara dan didukung oleh keterampilan setempat,
4. Masyarakat mengenal dan mampu mengatasi lingkungannya
5. Cara pendayagunaan sumber-sumber setempat termasuk sumber alam/energi/bahan secara lebih baik/optimal
6. Alat mandiri masyarakat dan mengurangi ketergantungan kepada “pihak luar” (self-realiance motivated).
Nilai tambah
Nilai tambah diartikan sebagai 1) besarnya output suatu usaha setelah dikurangi pengeluaran/biaya antaranya; 2) Jumlah nilai akhir dari suatu produk yang bertambah pada setiap tahapan produksi; 3) nilai output dikurangi dengan nilai input bahan baku yang dibeli dan nilai depresiasi yang disisihkan oleh perusahaan. Sebagai contoh, nilai tambah dari produk roti adalah nilai dari produk roti tersebut (nilai output) dikurangi dengan nilai dari tepung dan input lain yang dibeli dari perusahaan lain (nilai input) (Kamus Istilah, kementrian koperasi dan usaha kecil menengah 2000-2006). Nilai tambah merupakan selisih nilai penjualan dikurangi harga bahan baku dan pengeluaranpengeluaran lain yang bersifat internal.
Secara ekonomis, peningkatan nilai tambah suatu barang dapat dilakukan melalui perubahan bentuk (form utility), perubahan tempat (place utility), perubahan waktu (time utility), dan perubahan kepemilikan (potition utility).
1. Melalui perubahan bentuk (form utility) suatu produk akan mempunyai nilai tambah ketika barang tersebut mengalami perubahan bentuk. Misal biji jagung berubah menjadi bentuk makanan ringan keripik jagung.
2. Melalui perubahan tempat (place utility ) suatu barang akan memperoleh nilai tambah apabila barang tersebut mengalami perpindahan tempat. Misalnya jagung ketika berada di desa hanya dimanfaatkan sebagai makanan yang dikonsumsi sebagai jagung rebus saja, tetapi ketika jagung tersebut dibawa ke industri tepung (kota) akan dijadikan tepung.
3. Melalui perubahan waktu (time utility ) suatu barang akan memperoleh nilai tambah ketika dipergunakan pada waktu yang berbeda.
4. Melalui perubahan kepemilikan (potition utility ); barang akan memperoleh nilai tambah ketika kepemilikan akan barang tersebut perpindah dari satu pihak ke pihak yang lainnya. Misalnya ketika jagung berada pada tangan petani maka jagung tersebut hanya dijual dalam bentuk jagung pipilan, tetapi ketika jagung tersebut berada ditangan konsumen maka akan dimanfaatkan sebagai konsumsi.
Menurut Coltrain, Barton and Boland (2000) terdapat dua jenis nilai tambah, yaitu inovasi dan koordinasi. Kegiatan dari inovasi merupakan aktivitas yang memperbaiki proses yang ada, prosedur, produk dan pelayanan atau menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan atau memodifikasi konfigurasi organisasi yang telah ada.
Sedangkan pengertian dari koordinasi merupakan harmonisasi fungsi dalam keseluruhan bagian sistem. Hal tersebut merupakan peluang dalam meningkatkan koordinasi produk, pelayanan informasi dalam proses produksi pertanian untuk menciptakan imbalan yang nyata dan meningkatkan nilai produk dalam setiap tahap proses produksi pertanian. Sebab jika dalam koordinasi produk terjadi kesenjangan koordinasi maka Chopra and Meindl (2003) menyatakan bahwa hal tersebut akan menimbulkan ”bullwhip effect” atau fluktuasi dalam pesanan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan biaya. Tipe nilai tambah koordinasi difokuskan pada hubungan vertikal dan horisontal diantara produsen, pengolahan, perantara, distributor dan pengecer.
Tabel 1. Prosedur Perhitungan Nilai Tambah
Variabel Nilai
I. output, Input dan Harga
1. Output (kg) (1)
2. Input (kg) (2)
Tenaga Kerja (kg) (3)
4. Faktor Konversi (4) = (1) / (2)
5. Koefesien tenaga kerja (Hok/kg) (5) = (3) / (2)
6. Harga output (6)
7. Upah tenaga kerja (rp/Hok) (7)
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga bahan baku (Rp/Kg) (8)
9. Sumbangan input lain (Rp/Kg) (9)
10. Nilai Output ((Rp/Kg) (10) = (4)x(6)
11. a. nilai tambah (Rp/Kg) (11a) = (10)-(9)-(8)
b. Rasio nilai tambah (%) (11b) = (11a/10) x 100
12. a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) (12a) = (5) x (7)
b. pangsa tenaga kerja (%) (12b) = (12a/11a) x 100
13. a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = 11a – 12a
b. Tingkat keuntungan (%) (13b) = (13a/11a) x 100
III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg)
a. Pendapatan tenaga kerja
b. Sumbangan input lain
c. Keuntungan pengusaha
(14) = (10) – (8)
(14a) = (12a/14) x 100
(14b) = (9/14) x 100
(14c) = (13a/14) x 100
Sumber : Hayami et al, 1987dalam Slamet (2005)
PEMBAHASAN
Pembangunan yang telah dilakukan di setiap desa-desa yang ada di wilayah Indonesia, utamanya pada masyarakat petani saat ini. Bentuk penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani merupakan implementasi dari pembangunan yang dilakukan di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani telah menciptakan cara dan sikap masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian. Secara tegas dikatakan bahwa teknologi tepat guna dalam pertanian yang diperkenalkan di pedesaan lebih banyak mengandalkan masukan modern dan membatasi tenaga kerja. Hanya saja pada masa selanjutnya, hal ini berbanding berbalik, yakni penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian semakin menambah kesempatan kerja, utamanya bagi kaum buruh tani. Bentuk lain dari hasil analisa mengenai cara dan sikap masyarakat petani ini adalah bahwa teknologi meningkatkan alternatif kita, penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai ke dalam alam kemungkinan dan dapat mengubah kekuasaan relatif atau memudahkan menyadari nilai-nilai berbeda.
Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian saat ini telah mampu membentuk alternatif-alternatif baru bagi masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian, serta menjadikan masyarakat petani untuk dapat selalu mengkondisikan alam, contoh terkadang terjadi pemborosan dalam pemberian pupuk NPK guna mendapat unsure hara P atau Fosfor, terkadang petani mengira cukup sekali saja, padahal untuk golongan tanah kapur di pulau Timor yang cenderung bersifat Alkalis (tidak begitu asam tapi tidak sampai basa) begitu P diberikan akan diikat oleh K (kalium) sehingga memang terkadang petani hanya memberi tapi itu merupakan unsur hara potensial yang tidak tersedia bagi tanaman. Belum lagi bila kita menilik kepada usaha dibidang pertanian yang perlahan – lahan mulai berubah paradigmanya, bila dulu pertanian organik (pertanian tanpa sentuhan rekayasa kimiawi seperti pupuk dan pestisida) belum menjadi idola karena tergolong mahal dan tidak efisien, maka beberapa waktu belakangan ini seiring dengan perkembangan pengetahuan jika petani tidak cepat merespon keinginan pasar yang tidak hanya mementingkan sisi kuantitas dan harga saja melainkan faktor kesehatan. Penggunaan pestisida akan meninggalkan emisi dan juga residu – residu kimiawi yang dapat mengganggu kesehatan manusia bila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, bila petani bisa menangkap peluang ini maka isu – isu sentral mengenai kesehatan dapat mempunyai nilai jual tersendiri yang membantu meningkatkan daya tawar petani terhadap pasar, sehingga petani dapat meningkatkan pendapatannya, hal – hal seperti ini hanya contoh - contoh yang merupakan satu bagian kecil saja dari banyak kesalahan – kesalahan dalam bertani yang kurang mendapat perhatian tapi menjadi faktor penentu rendahnya produktifitas usahatani petani kita. Berikut ini beberapa contoh kasus di beberpa daerah yang mengaplikasikan penggunaan teknologi tepat guna dalam peningkatan nilai guna produk pertanian
Kasus Kopi di Bali
Kopi arabika merupakan satu dari tujuh komoditas unggulan Provinsi Bali. Daerah sentra kopi arabika berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Untuk membangun subsektor perkebunan, termasuk kopi arabika, pemerintah memperkenalkan konsep “Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan” (Kimbun). Kini telah ada empat Kimbun di Bali, salah satunya Kimbun kopi arabika. Kimbun ini dirintis melalui agroindustri skala kelompok. Sebagian besar kopi arabika di Bali diusahakan oleh perkebunan rakyat. Kualitas kopi tergolong rendah karena umumnya petani memetik buah secara asalan dan mengolahnya secara kering. Dinas Perkebunan setempat bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (PPKK) terus membina dan menyosialisasikan petik merah dan pengolahan secara basah.
Melalui upaya ini, mutu kopi arabika makin baik. Mutu kopi harus terus ditingkatkan mengingat makin ketatnya persaingan pasar. Agroindustri kopi arabika bertujuan meningkatkan nilai tambah produk sehingga petani memperoleh harga jual kopi lebih tinggi. Kegiatan yang tercakup meliputi penyediaan bahan baku, pengolahan, penyediaan produk akhir, dan pemasaran. Setiap mata rantai tersebut saling terkait dan mempengaruhi. Agroindustri melibatkan petani, pedagang, subak pengolah, koperasi, eksportir, mediator (Dinas Perkebunan dan PPKK), dan lembaga permodalan.
Dengan menerapkan inovasi petik merah, harga kopi meningkat 30% dibanding kopi petik asalan. Pengolahan basah memberikan nilai tambah Rp10.000/kg, dan pengolahan kopi bubuk dari kopi ose memberikan nilai tambah Rp15.000/ kg. Nilai tambah yang tidak dapat dihitung adalah meningkatnya kesempatan kerja, pengetahuan dan keterampilan SDM, akses informasi harga, dan aset subak, terutama peralatan untuk mengolah kopi.
Kasus Pisang di Jawa Timur
Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi pisang di Indonesia. Kabupaten Lumajang populer sebagai sentra produksi pisang agung. Untuk meningkatkan nilai tambah, pemerintah mengembangkan agroindustri keripik pisang. Pengembangan industri dilakukan secara terpadu dan berorientasi pada upaya peningkatan nilai tambah dan pemerataan pendapatan. Meskipun industri pengolahan keripik pisang telah berkembang, petani masih menanam pisang sebagai tanaman sampingan di pekarangan atau ditanam campur dengan kopi, palawija atau hortikultura. Teknologi yang diterapkan masih sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Petani belum mengatur jadwal tanam atau panen sehingga pasokan dan harga belum stabil.
Agroindustri keripik pisang umumnya berskala kecil atau rumah tangga, dengan pengelolaan usaha dari mengolah bahan baku hingga pemasaran. Belum ada usaha yang berspesialisasi pada salah satu kegiatan, misalnya bahan baku saja, bahan setengah jadi saja, pengolahan lanjutan dan pengemasan atau pemasaran. Hal ini menyulitkan dalam mengembangkan industry dengan sistem kluster dan menghambat pemerataan perolehan nilai tambah.
Agroindustri keripik pisang di Lumajang memberikan nilai tambah relatif kecil, hanya Rp6.684/kg keripik. Ini pun terpusat pada industry besar. Spesialisasi industri rumah tangga sebagai pengolah keripik setengah jadi dan finalisasi oleh industry besar akan membagi keuntungan lebih proporsional dan usaha skala besar menjadi lebih optimal. Nilai tambah yang tidak dapat dihitung adalah meningkatnya pengetahuan, keterampilan, pasar, serta aspek sosial ekonomi. Pada jejaring usaha belum terbentuk kemitraan yang formal, tetapi lebih berdasarkan kepercayaan.
Kasus Ubi Kayu di Lampung
Lampung merupakan salah satu sentra produksi ubi kayu di Indonesia. Industri tapioka skala besar telah berkembang dan cenderung bersifat oligopsoni. Produktivitas ubi kayu belum optimal, karena peningkatan produksi lebih disebabkan oleh perluasan areal tanam. Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah memberikan bantuan modal kepada petani. Pemerintah juga mengembangkan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) pada akhir 1990-an untuk mengurangi dominasi perusahaan besar dalam menentukan harga beli ke petani. Dalam program ITTARA, pengelolaan diserahkan ke kelompok tani.
Produk ITTARA mempunyai pangsa pasar tersendiri dan kualitasnya lebih baik. Namun, program ITTARA dengan memberikan unit pengolahan ke kelompok tani kurang berhasil. Yang masih banyak bertahan adalah ITTARA swadaya. ITTARA memberikan nilai tambah kuantitatif Rp733-Rp928/kg tapioka. Nilai tambah lainnya berupa meningkatnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah tepung tapioka, terbukanya peluang usaha industri makanan olahan berbahan baku tepung tapioka, meningkatnya akses terhadap informasi di luar desa, dan tumbuhnya ekonomi wilayah.
Kasus Jagung di NTT, Gorontalo, dan Nasional
Jagung mempunyai peran strategis perekonomian nasional, mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Dari seluruh kebutuhan jagung, 50% di antaranya digunakan untuk pakan.
Dalam lima tahun terakhir, kebutuhan jagung untuk bahan baku industry pakan, makanan, dan minuman meningkat 10-15% per tahun. Dengan demikian, produksi jagung mempengaruhi kinerja industri peternakan. Dalam perekonomian nasional, jagung penyumbang terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Sumbangan jagung terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat setiap tahun, sekalipun pada saat krisis ekonomi. Pada tahun 2000, kontribusi jagung dalam perekonomian nasional mencapai Rp 9,4 trilyun dan pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp 18,2 trilyun. Kondisi demikian mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsector tanaman pangan dan perekonomian nasional secara umum.
Perluasan areal tanam dan penggunaan benih hibrida dan komposit unggul telah meningkatkan produksi jagung dari 6,255 juta ton pada tahun 1991 menjadi 12,523 juta ton pada tahun 2005 (Departemen Pertanian 2005, 2007), namun belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga impor masih diperlukan. Produksi jagung nasional diproyeksikan tumbuh 4,63% per tahun, pada tahun 2009 mencapai 13,98 juta ton. Pada tahun 2015 produksi jagung diharapkan telah mencapai 17,93 juta ton (Departemen Pertanian 2005). Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih sangat terbuka baik melalui peningkatan produktivitas yang sekarang masih rendah (3,43 t/ha) maupun pemanfaatan potensi lahan yang masih luas utamanya di luar Jawa.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), iklimnya cenderung panas, curah hujan sedikit. Secara fisik daerah ini memiliki 566 pulau, tetapi hanya 43 pulau yang berpenghuni, dengan tiga pulau besar (pulau Timor, Sumba dan Flores). Sebagian besar penduduknya mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian. Secara administratif NTT terbagi menjadi 19 kabupaten dan 1 kota madya. Komoditi unggulan bidang perkebunan adalah: kopi, kelapa, kemiri, kakao, jambu mete, yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota. Komoditi unggulan bidang pertanian tanaman pangan adalah: padi (sawah, ladang), jagung, kacang kedelai, kacang hijau, ubi kayu/singkong, ubi jalar, memiliki tingkat produksi naik turun karena musim tanam yang tidak menentu, tergantung curah hujan, dan komoditi sektor ini terdapat pada semua kabupaten/kota di NTT. Hasil peternakan adalah sapi, kerbau dan kuda, hasil perikanan dan kelautan juga merupakan produk unggulan, bahkan industri pariwisata yang sangat menjanjikan belum dikelola secara profesional.
Untuk upaya jagungnisasi yang sedang gencar digalakan pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur saat ini masih sedikit terlambat bila dibandingkan dengan provinsi Gorontalo. Saat ini, produksi jagung di Gorontalo mencapai 700 ribu ton. Pada 2012 ditargetkan menjadi satu juta ton. Produktivitas jagung juga mengalami peningkatan hingga mencapai 4 sampai 7 ton per hektare lahan yang diolah. Meski pertanian telah menjadi program unggulan daerah itu selama 10 tahun terakhir, namun pemprov masih konsisten untuk memilih sektor tersebut sebagai penopang utama perekonomian daerah.
Pada tahun 2011, pertumbuhan produksi jagung Gorontalo mencapai 44,15 persen, sedangkan pertumbuhan produksi tingkat regional Sulawesi 3,49 persen dan nasional sebesar 1,40 persen. Di sisi lain, pertumbuhan produksi padi di Gorontalo mencapai 17,29 persen, sementara untuk tingkat regional 4,10 persen dan pertumbuhan nasional sebesar 1,40 persen. Untuk mendongkrak minat petani menanam jagung, pemerintah menerapkan konsep pertanian yang dibangun dari hilir, dimana pasar telah disiapkan terlebih dahulu.
Jagung dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Hasil studi Mink et al. (1987) menunjukkan bahwa sekitar 79% areal pertanaman jagung terdapat di lahan kering, 11% terdapat di lahan sawah irigasi, dan 10% di
Tabel 2. Perkembangan areal, produktivitas, dan produksi jagung di Indonesia, 1990-2005.
Sumber : Departemen Pertanian (2007)
Khusus untuk provinsi NTT, lahan sawah ketersediaan lahan Potensial : 262.407 Ha. Fungsional : 127.208 Ha (48,48 %) dengan rincian sekali tanam : 29.288 Ha, 2 kali tanam : 59.832 Ha, Tidak di tanami padi : 5.273 Ha, dan yang sementara Belum diusahakan : 32.815 Ha. Dan untuk lahan kering Potensi : 1.528,258 Ha dan Fungsional : 689,112 Ha (45,09 %). Berikut terdapat . Upaya pengembangan dan peningkatan produksi jagung di NTT tahun 2009-2013 bertujuan : Kecukupan Pangan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan sasaran : Peningkatan Produksi dari 699.193 ton pipilan kering (pk) Thn 2009 menjadi 846.693 ton (meningkat 21 %) pada tahun 2010, Penigkatan Pertahun >6% akhir tahun 2013 mencapai > 1 juta ton.
Tabel 3. Sasaran Luas Tanam, Panen, Produksi 2009 - 2013
Tahun Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton PK) Tambahan Tiap Tahun
Produksi (Ton PK) Presentase
2008 *) 285.780 271.561 24,89 676.044 - -
2009 301.029 272.904 25,62 699.193 23.135 3%
1010 318.450 297.994 28,41 846.693 147.500 21%
1011 323.710 299.848 29,83 894.511 47.818 6%
1012 332.200 300.982 31,73 955.149 60.638 7%
1013 338.700 305.486 33,53 1.024.314 69.165 7%
Sumber : website pemprov NTT
Gambar 1. Flow chart potensi pengembangan jagung di NTT
Sumber : website pemprov NTT
Penggunaan Teknologi Tepat Guna seperti mempersempit jarak tanam dalam satu satuan lahan tanam bias menjadi salah satu jalan keluar menaikan produktivitas selain dengan teknik – teknik klasik tumpang sari. Penggunaan Teknologi – Tekonologi Tepat Guna dirasa sangat memberi manfaat dan masih berpotensi untuk membantu masyarakat tani dalam meningkatkan produksi. Pernyataan ini memberi gambaran bahwa masyarakat tani sudah mulai menerima sentuhan modernisasi, ini merupakan salah satu bentuk dari perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat.
Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial dalam hal ini pihak yang dimaksudkan ialah para petugas penyuluh pertanian lapang, yang bertugas memberikan rekomendasi bagi peningkatan produktivitas kerja masyarakat tani, salah satunya dengan penggunaan Teknologi Tepat Guna. Kita masih perlu menyorot kinerja dari para penyuluh kita, dari total pegawai yang bekerja di Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan, dan Peternakan; ada berapa yang berada bersama – sama dengan masyarakat selain bila ada proyek atau tugas kedinasan. Pendampingan yang selama ini perlu diubah paradigamanya dari sebuah bentuk pendampingan menjadi bentuk kemitraan, ini akan lebih selaras dengan program “ANGGUR MERAH” yang bercita – cita mewujudkan Nusa Tenggara Timur sebagai Propinsi Jagung, Lumbung Ternak, dan Koperasi, melalui Koperasi kemitraan ini seharusnya berjalan dengan baik karena Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang dekat dengan rakyat. Selain itu perlu disadari bahwa koordinasi yang tepat dari tingkat Provinsi ke tingkat Kabupaten dalam implementasi program merupakan jalan terbaik agar tujuan dapat disampaikan ke masyarakat dan diterima dengan baik, agar pada berjalannya program tidak ada ketimpangan.
Koperasi bisa menjalankan fungsi sebagai salah satu “agent of change” terhadap teknologi – teknologi tepat guna yang relevan dengan kebutuhan petani dan peternak di daerah sekitar. Bila aspek penggunaan Teknologi Tepat Guna mendapat perhatian serius dari stakeholder atau para pemangku kepentingan dapat membantu menjadi jembatan meskipun secara evolutif (perubahan secara perlahan – lahan) menjadi salah saru jawaban peningkatan pendapatan masyarakat yang di Propinsi ini pada kuartal pertama Maret 2009, jumlah penduduk miskin NTT justru mengalami peningkatan dari sebesar 1013,2 ribu menjadi 1014,1 ribu penduduk pada Maret 2010.
Masih terdapat banyak kasus – kasus kecil yang cukup bernilai penting, seperti kelebihan produksi, sebenarnya hal ini terjadi setiap tahun; karena salah satu karakteristik produk pertanian adalah diproduksi secara musiman selain volumenous dan bulky. Hal ini yang akan menyebabkan pada satu periode/musim tertentu akan terjadi panen masal yang mengakibatkan pasar tidak dapat menyerap sekaligus semuanya produk tersebut, dengan karakteristik produk pertanian yang cepat rusak maka hal ini menjadi beban tersendiri bagi petani. Dalam kondisi seperti ini maka sentuhan teknologi tepat guna menjadi sangat berarti karena produk – produk musiman yang cepat rusak seperti tomat, cabai, pisang, dan produk hortikultura lainnya dapat diubah bentuknya menggunakan mesin – mesin pengolah seperti juice extractor (mesin yang akan mengekstrak sari buah – buahan dan memisahkannya dengan ampas sehingga dapat menjadi juice), mesin perajang untuk merajang pisang dan ubi, mesin perontok padi, dan banyak sekali mesin – mesin agroindustri yang akan meningkatkan nilai guna produk pertanian sekaligus merubah bentuk dan memperpanjang waktu konsumsi, sehingga layak diterima pasar dan selalu tersedia.
Bila memperhatikan ciri-ciri masyarakat Indonesia, yaitu tingkat pendidikan formal yang kurang merata, kepercayaan yang kurang kuat pada teknologi sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat, banyaknya golongan profesi di masyarakat, serta kesiapan menerima perubahan-perubahan, khusus pemanfaatan teknologi baru, dalam meningkatkan kesejahteraannya, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat lamban untuk disebut sebagai masyarakat modern, khususnya masyarakat di daerah tertinggal dan daerah terbatas. Pengertian masyarakat di daerah tertinggal dan terbatas adalah masyarakat di wilayah/provinsi yang kurang memanfaatkan teknologi tepat guna untuk memajukan daerahnya, sehingga selalu mengalami krisis pangan dan sulit serta mahalnya layanan transportasi darat, laut maupun udara, sehingga kurang terjangkau informasi teknologi. Daerah tertinggal dan terbatas tersebar di seluruh wilayah Indonesia antara lain; wilayah Indonesia Timur, misalnya provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang di bagian sebelumnya maka dapat disimpulkan:
Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Teknologi yang dikembangkan dari beragam teknologi satu diantaranya adalah Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu suatu teknologi yang memenuhi, persyaratan: teknis, ekomomi dan sosial budaya.
Nilai tambah diartikan sebagai 1) besarnya output suatu usaha setelah dikurangi pengeluaran/biaya antaranya; 2) Jumlah nilai akhir dari suatu produk yang bertambah pada setiap tahapan produksi; 3) nilai output dikurangi dengan nilai input bahan baku yang dibeli dan nilai depresiasi yang disisihkan oleh perusahaan. Nilai tambah merupakan selisih nilai penjualan dikurangi harga bahan baku dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat internal.Secara ekonomis, peningkatan nilai tambah suatu barang dapat dilakukan melalui perubahan bentuk (form utility), perubahan tempat (place utility), perubahan waktu (time utility), dan perubahan kepemilikan (potition utility).
Aplikasi teknologi tepat guna dapat sangat berperan besar pada peningkatan nilai guna produk pertanian bila diterapkan dengan baik terutama bila disertai dengan kemitraan yang baik antara para penyuluh (agent of change) dengan pihak petani dan rumpun yang terkait dalam system pemasaran dan permodalan seperti koperasi.
Saran
Perlu adanya keseriusan dari semua stakeholder di dalam upaya mensukseskan program jagungnisasi yang menjadi salah satu tujuan dari jargon “ANGGUR MERAH” yang tengah digalakkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
DAFTAR PUSTAKA
http:// id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_tepat_guna diakses pada 11 juni 2010
http://www.scribd.com/doc/11479563/Modul-Perubahan-Sosial-Budaya diakses pada 11 juni 2010
Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
parawalekh.com diakses pada 11 juni 2010
pustaka@litbang.deptan.go.id diakses pada 15 Mei 2011
Sinu, Igantius. 1999.Bahan Ajar Cetak Perubahan Sosial . Kupang: UNDANA PRESS.
Supriyati dan Herlina Tarigan, 2008. Meningkatkan Nilai Tambah melalui Agroindustri, Warta penelitian dan pengembangan pertanian vol 30, no 40 2008. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
WordPress.com weblog diakses pada 11 juni 2010
Zubachtirodin, M.S. Pabbage, dan Subandi, 2007. Wilayah Produksi dan Potensi
Pengembangan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros