OLEH
Nama : Umbu Joka
Nim : 0804022598
Jurusan : Sosial Ekonomi Pertanian
DOSEN WALI : Ir. Simon Seran M.S
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2009
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang seindah Puji dan syukur yang dapat penyusun sampaikan kehadirat Tuhan, oleh karena berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Pengaruh Pertumbuhan Penduduk Terhadap Ketahanan Pangan.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini untuk memenuhi persyaratan perkuliahan mata kuliah Kependudukan pada Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangatlah penyusun harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Kupang, Desember 2009
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
SERING muncul pertanyaan, apakah hubungan antara aspek kependudukan yang cenderung tumbuh pesat dan sisi tuntutan ketahanan pangan global? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa akumulasi laju pertumbuhan penduduk menuntut adanya kesediaan pangan secara mudah-murah.( Media Indonesia: 16 Oktober 2003 )
Urgensi dalam memahami aspek kependudukan dan juga ketahanan pangan bukan hanya mengacu pada sisi bagaimana melakukan pembenahan sektor manajemen kependudukan. Tetapi juga bagaimana perannya dalam meningkatkan taraf kesejahteraan hidup yang tak lain arahnya adalah menjamin ketersediaan pangan secara mudah-murah.
Oleh karena itu, sangat beralasan kalau di hampir semua negara saat ini berkembang isu tentang konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan dan pengembangan manajemen pertanian-pangan secara lebih komprehensif. Secara eksplisit, konsep ini terkait dengan program kebijakan kependudukan bagi peningkatan kualitas, proses pengendalian pertumbuhan, acuan untuk menyeimbangkan antara aspek kualitas-kuantitas kependudukan, mobilisasi penduduk secara global, dan jaminan ketersediaan alam bagi peningkatan kesejahteraan. Termasuk juga akumulasi pembangunan pertanian-pangan untuk memacu hasil produksi pangan secara berkelanjutan.
Aktualisasi dalam pencanangan HPS, dikaitkan dengan manajemen kependudukan, pada dasarnya mengacu pada Resolusi PBB No 179 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa peringatan HPS diselenggarakan oleh semua negara anggota FAO di seluruh dunia, dengan tujuan lebih meningkatkan kesadaran perhatian masyarakat internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan (tingkat global, regional, dan tingkat nasional). Meskipun publik mengakui bahwa langkah sosialisasi ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, tetapi political will atas pencanangannya diyakini akan bisa memberikan arah ke depan yang lebih baik.( Media Indonesia: 16 Oktober 2003)
1.2. Masalah
Masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah : PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN KETAHANAN PANGAN
1.3. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui Pengaruh pertumbuhan pertumbuhan penduduk terhadap ketahanan pangan ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah guna melengkapi salah satu tugas penunjang perkuliahan kususnya mata kuliah Kependudukan.
1.4. Metode penulisan
Dalam penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data dari buku dan beberapa sumber dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Ketahanan Pangan
Mengacu keterkaitan antara manajemen kependudukan dunia dan juga komitmen terhadap aspek ketahanan pangan, HPS kali ini tampaknya hanya ingin menyuarakan satu peringatan kepada penduduk dunia bahwa jangan abaikan aspek kependudukan dan manajemen ketersediaan pangan bagi masyarakat! Realita ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa aspek kependudukan dan ketahanan pangan selama ini masih dipandang miring. Padahal, kekeliruan mengantisipasi aspek kependudukan dan manajemen ketahanan pangan akan berdampak simultan, yaitu tidak saja bagi aspek politik, tetapi juga sosial-ekonomi dalam jangka panjang; gap dan kemiskinan, serta ancaman rawan pangan.
Sebenarnya, ancaman dan sekaligus kekhawatiran atas kesejahteraan global bagi aspek kependudukan dan manajemen ketahanan pangan bukanlah isu yang beredar saat ini saja, tetapi sudah berkembang sekian periode lalu. Paling tidak kita bisa mengaitkannya dalam teori Robert Malthus (pesatnya pertumbuhan penduduk dunia dibanding dengan potensi ketersediaan alam untuk menghasilkan pangan). Kemudian lebih dipertegas oleh Darwin tentang tuntutan untuk melakukan penyesuaian diri agar tetap survive dalam persaingan hidup yang makin kejam.
Terkait dengan fakta tuntutan persaingan hidup tersebut, maka Indonesia tidak bisa tinggal diam dalam menyikapi ancaman ledakan kependudukan. Terutama dikaitkan dengan makin tipisnya ketersediaan pangan. Mengapa? Fakta, Indonesia dengan 203 juta jiwa penduduk pada 2000 (pertumbuhan 1,4% per tahun, maka diprediksi pada 2050 mencapai sekitar 400 juta jiwa) adalah negara dengan tingkat kepadatan penduduk keempat setelah China (1.265 juta jiwa), India (1.002 juta jiwa), dan AS (276 juta jiwa). Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman serius jika tidak ada program manajemen kependudukan yang sistematis-berkelanjutan dan supply pangannya tak tercukupi. Memang, impor beras menjamin, namun kebijakan impor beras hanyalah temporer dan menuntut ketersediaan devisa yang besar.
Yang ironis, ternyata konsekuensi kepadatan penduduk tak diimbangi dengan kemampuan daya beli rakyat karena terjadi proses ketimpangan. Tidak saja ketimpangan antara negara miskin-berkembang dengan negara industri-maju, tetapi juga akumulasi ketimpangan di internal negara kita sendiri. Inilah yang kemudian memicu terjadinya proses kemiskinan.
Jadi, ada keterkaitan yang erat antara kesalahan dan atau pengabaian dalam manajemen kependudukan dengan terjadinya ketimpangan-akumulasi kemiskinan di sejumlah negara, termasuk rawan pangan. Selain itu, fakta ini masih ditambah dengan kasus mobilisasi penduduk, tidak saja mobilisasi regional-nasional, tetapi juga mobilisasi internasional (maraknya ekspatriat).
Menurut FAO, ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Aspek pertama yaitu ketersediaan (availability) menekankan pada produksi pangan. Indikator aspek ini dilihat dari jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kepentingan semua rakyat, baik bersumber dari produksi domestik ataupun impor. Aspek kedua adalah keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan bahan pangan mudah dicapai individu atau rumah tangga. Sedangkan keterjangkauan ekonomi berarti kemampuan memperoleh atau membeli pangan atau berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap pangan. Ketiga, aspek stabilitas (stability), merujuk kemampuan meminimalkan kemungkinan terjadinya konsumsi pangan berada di bawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam). Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai implementasi dua aspek ketahanan pangan menurut FAO (ketersediaan dan keterjangkauan) dan kaitannya dengan RAPBN 2010.
2.1.1. Ketersediaan
Saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,3 sampai 1,5 persen, sementara luas lahan pertanian tidak mengalami penambahan. Badan Ketahanan Pangan Deptan memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286 juta orang. Penduduk sebanyak itu mengonsumsi beras 39,8 juta ton. Dengan kata lain, dalam waktu 21 tahun lagi, Indonesia memerlukan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton atau perlu tambahan lahan padi 3,63 juta ha. Kurangnya luas lahan yang dibutuhkan menjadi faktor penentu ketersediaan beras. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi maka di kemudian hari Indonesia akan melaksanakan impor beras. Padahal, kisaran harga beras di pasar internasional saat ini 14% lebih murah dibandingkan harga dalam negeri, dan keikutsertaan Indonesia dalam WTO memaksa pengurangan pajak bea cukai, termasuk untuk produk pertanian. Harga beras impor yang murah karena tidak diimbangi dengan pajak impor akan memaksa produsen beras lokal untuk mengadakan persaingan taruf dan akibatnya akan menjadikan harga beras lokal menjadi murah. Dalam kondisi ini pihak yang dirugikan adalah petani sebagai produsen beras.
Sementara Indonesia menghadapai permasalahan lahan dalam meningkatkan produksi pangan yang dihadapkan pada meningkatnya jumlah penduduk, lahan-lahan pertanian di Indonesia justru banyak yang beralih fungsi. Berkembangnya pembangunan ekonomi di Indonesia telah mengakibatkan tingginya permintaan akan lahan dari tahun ke tahun. Karena lahan merupakan sumberdaya yang terbatas, alih fungsi lahan--terutama dari pertanian ke non pertanian (pemukiman, industri, sarana umum, dan sebagainya)-- tidak dapat dihindari. Selama periode 1999 – 2001, lahan sawah beririgasi teknis mengalami penurunan sebesar 63.686 ha, tegal/kebun/ladang sebesar 231.973 ha, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 ha (BPS Propinsi Jawa Barat, 2001). Lebih jauh lagi, pemanfaatan sempadan sungai dan sumber air lain oleh masyarakat tidak sebagaimana fungsinya menunjukkan betapa lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka (scarce resource). Hasil penelitian JICA (1993) menunjukkan pula bahwa sampai tahun 2020 diperkirakan akan terjadi konversi lahan irigasi seluas 807.500 Ha. dengan perincian 680.000 Ha. di Jawa, 30.000 Ha. di Bali, 62.500 Ha. di Sumatera dan 35.000 Ha. di Sulawesi.
Pertanian yang bersifat land base agricultural memerlukan ketersediaan lahan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan kebijakan pangan nasional, menyangkut terjaminnya ketersediaan pangan (food availability), ketahanan pangan (food security), akses pangan (food accessibility), kualitas pangan (food quality) dan keamanan pangan (food safety). Permasalahannya, dari tahun ke tahun, konversi atau alih fungsi lahan pertanian di Indonesia terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Selain itu, tekanan terhadap lahan juga berwujud bagi keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang, apalagi pembukaan areal baru sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus melaju. Selama ini telah terjadi ketidakseimbangan antara sumberdaya yang tersedia dengan peranan ekonomi dan sosial yang sebenarnya dari sektor pertanian sebagai tumpuan dari sebagian besar penduduk Indonesia. Total luas daratan Indonesia adalah 190,9 Juta ha atau 24% dari seluruh wilayah RI. Pertanian rakyat (sawah dan pertanian lahan kering ) hanya mencakup 12,3% dari daratan. Bila ditambahkan sektor perkebunan yang sebagian mewakili perkebunan skala besar yang tidak banyak menyumbang pada perekonomian rakyat, maka total sumberdaya lahan yang tersedia bagi pertanian adalah 21% dari daratan Indonesia. Pada rentang waktu 30 tahun, dari 1997-2003 terdapat peningkatan ketimpangan pemilikan lahan yang besar. Kenyataan ini dapat dibaca dari presentase petani gurem serta peningkatan proporsi petani gurem disbanding dengan total petan pemilik lahan. Sensus pertanian pada tahun 1993-2003 memperlihatkan peningkatan jumlah petani gurem dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta Rumah Tangga Petani (RTP). Sedangkan pada kurun waktu 1983-2003 luasan kepemilikan lahan rata-rata turun dari 0,27 hektar menjadi 0.09 hektar. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan konsentrasi lahan di tangan elite desa. Bila pada tahun 1995 petani kaya mencakup 6% dari penduduk desa menguasai 38% lahan desa, maka pada tahun 1999 petani kaya mencakup 4% penduduk desa mengusai 33% tanah pertanian. Berdasarkan analisanya terhadap data dari FAO (FAOSTAT), Dawe (2008) menunjukkan bahwa memang Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras paling tidak dalam 100 tahun terakhir, dengan pangsa impor beras dalam konsumsi domestik rata-rata 5% dalam seabad yang lalu dan 4% dalam 15 tahun terakhir. Hanya pada tahun-tahun tertentu, Indonesia tidak mengimpor beras (Gambar 3).
Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor beras bervariasi menurut daerah, tergantung pada sejumlah faktor, diantaranya kemampuan daerah dalam produksi beras, jumlah penduduk, tingkat pendapatan per kapita masyarakat daerah, dan kelancaran distribusi. Variasi ketergantungan terhadap impor beras antar wilayah di Indonesia dapat dilihat dari data Bulog seperti di Tabel 2. Untuk periode 2006-2007, beberapa propinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Riau sepenuhnya tergantung pada impor beras. Memang propinsi-propinsi tersebut adalah wilayah di Indonesia yang bukan merupakan pusat produksi beras. Sedangkan Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara untuk periode tersebut sama sekali tidak mengimpor beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung bahwa laju pertumbuhan penduduk tahun 2005-2010 diperkirakan akan mencapai 1,3%, 2011-2015 sebesar 1,18%, dan 2025-2030 sebesar 0,82%. Atau, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton. Tahun 2006, konsumsi beras per tahun sekitar 30,03 juta ton Pada tahun 2030, 2030 kebutuhan beras untuk pangan akan mencapai 59 juta ton (Prabowo, 2007a,b).
Berdasarkan analisanya terhadap data dari FAO (FAOSTAT), Dawe (2008) menunjukkan bahwa memang Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras paling tidak dalam 100 tahun terakhir, dengan pangsa impor beras dalam konsumsi domestik rata-rata 5% dalam seabad yang lalu dan 4% dalam 15 tahun terakhir. Hanya pada tahun-tahun tertentu, Indonesia tidak mengimpor beras (Gambar 3).
Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor beras bervariasi menurut daerah, tergantung pada sejumlah faktor, diantaranya kemampuan daerah dalam produksi beras, jumlah penduduk, tingkat pendapatan per kapita masyarakat daerah, dan kelancaran distribusi. Variasi ketergantungan terhadap impor beras antar wilayah di Indonesia dapat dilihat dari data Bulog seperti di Tabel 2. Untuk periode 2006-2007, beberapa propinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Riau sepenuhnya tergantung pada impor beras. Memang propinsi-propinsi tersebut adalah wilayah di Indonesia yang bukan merupakan pusat produksi beras. Sedangkan Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara untuk periode tersebut sama sekali tidak mengimpor beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung bahwa laju pertumbuhan penduduk tahun 2005-2010 diperkirakan akan mencapai 1,3%, 2011-2015 sebesar 1,18%, dan 2025-2030 sebesar 0,82%. Atau, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton. Tahun 2006, konsumsi beras per tahun sekitar 30,03 juta ton Pada tahun 2030, 2030 kebutuhan beras untuk pangan akan mencapai 59 juta ton (Prabowo, 2007a,b).
Sumber: Figure 3a di Dawe (2008).
Tabel 2: Persedian Beras Bulog dan Impor Beras Menurut Propinsi, 2006-2007
Propinsi Tanggal posisi (Desember) Persediaan di gudang Bulog Luar negeri Jumlah
Dalam negeri & hasil (GKG)* GKG ekuivalen Beras
2006 2007 2006 2007
NAD
Sumut
Riau
Sumbar
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jakarta
Jabar
Jateng
Yogya
Jatim
Kalbar
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Sulut
Sulteng
Sultra
Sulsel
Bali
NTB
NTT 19
27
28
26
19
18
27
28
27
18
27
27
28
27
27
18
18
18
27
18
27
27
27
27 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
385
32
82
-
-
- -
-
-
1.019
2.181
35.571
-
24.662
-
96.475
161.274
14.671
256.013
3.277
3.011
1.095
2.560
5.179
12.655
19.438
155.677
-
37.567
14.281 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- -
-
-
-
-
1.891
-
-
330
5.357
3.648
1.787
27.532
-
-
1.492
-
-
-
-
17.705
-
1.438
- 41.147
52.520
21.237
26.487
9.279
14.447
6.664
41.809
147.619
19.467
15.855
-
97.782
9.530
12.892
16.424
5.116
16.777
2.609
-
22.588
9.700
6.010
14.708 41.147
52.520
21.237
27.506
11.460
51.909
6.664
66.471
147.949
121.299
180.777
16.458
381.327
12.807
15.903
19.011
7.676
21.956
15.649
19.469
196.052
9.700
45.015
28.989
Maluku
Papua
Jumlah 19
27 -
-
498
2.227
7.181
856.014
-
-
-
-
-
61.181
17.428
18.589
646.684
19.655
25.770
1.564.377
Keterangan: GKG = gabah kering giling.
Sumber: Perum Bulog
Untuk komoditas penting lainnya, misalnya, jagung untuk pakan ternak tahun 2010 menjadi 5,2 juta ton dari tahun 2006 yang hanya 3,5 juta ton. Menurut Prabowo (2007c), jagung boleh jadi salah satu komoditas pertanian yang paling ”rentan” saat ini. Dua puluh tahun lalu, jagung belum menjadi komoditas menarik. Konsumsi jagung di Indonesia maupun di dunia masih didominasi oleh kebutuhan pangan. Jagung juga termasuk komoditas pertanian yang mana Indonesia juga harus impor (Tabel 3), dan harga impornya terus meningkat (Tabel 4).
Tabel 3: Impor Jagung, 2003-2007 (ton/tahun)
Tahun Konsumsi pangan Kebutuhan Impor*
2003
2004
2005
2006
2007 7.200.000
6.800.000
7.100.000
7.200.000
7.600.000* 3.600.000
3.400.000
3.550.000
3.600.000
3.800.000** 1.345.446
1.088.928
181.069
1.769.254
510.378***
Keterangan: *) data BPS (lainnya dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak/GPMT); **) estimasi;
***) data Jan.-Maret 2007
Sumber: Prabowo (2007c)
Tabel 4: Perkembangan Harga Jagung Impor: 2006 & 2007 (dollar AS/ton, C&F Jakarta)
Negara Bulan
Janiari Februai Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2006
-AS
-Argentina
-China
2007
-AS
-Argentina
-China 140 145 147 146 146 145 147 162 162 190 210 217
135 137 137 140 140 147 155 158 158 185 205 215
139 148 148 150 150 150 160 160 160 195 200 205
220 227 235 217 226 235 230 240 260 270 - -
215 0 230 212 220 228 225 245 - - - -
0 224 210 0 0 0 0 0 - - - -
Sumber: Prabowo (2007c) (data dari GPMT)
Tabel 2: Persedian Beras Bulog dan Impor Beras Menurut Propinsi, 2006-2007
Propinsi Tanggal posisi (Desember) Persediaan di gudang Bulog Luar negeri Jumlah
Dalam negeri & hasil (GKG)* GKG ekuivalen Beras
2006 2007 2006 2007
NAD
Sumut
Riau
Sumbar
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jakarta
Jabar
Jateng
Yogya
Jatim
Kalbar
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Sulut
Sulteng
Sultra
Sulsel
Bali
NTB
NTT 19
27
28
26
19
18
27
28
27
18
27
27
28
27
27
18
18
18
27
18
27
27
27
27 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
385
32
82
-
-
- -
-
-
1.019
2.181
35.571
-
24.662
-
96.475
161.274
14.671
256.013
3.277
3.011
1.095
2.560
5.179
12.655
19.438
155.677
-
37.567
14.281 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- -
-
-
-
-
1.891
-
-
330
5.357
3.648
1.787
27.532
-
-
1.492
-
-
-
-
17.705
-
1.438
- 41.147
52.520
21.237
26.487
9.279
14.447
6.664
41.809
147.619
19.467
15.855
-
97.782
9.530
12.892
16.424
5.116
16.777
2.609
-
22.588
9.700
6.010
14.708 41.147
52.520
21.237
27.506
11.460
51.909
6.664
66.471
147.949
121.299
180.777
16.458
381.327
12.807
15.903
19.011
7.676
21.956
15.649
19.469
196.052
9.700
45.015
28.989
Maluku
Papua
Jumlah 19
27 -
-
498
2.227
7.181
856.014
-
-
-
-
-
61.181
17.428
18.589
646.684
19.655
25.770
1.564.377
Keterangan: GKG = gabah kering giling.
Sumber: Perum Bulog
Untuk komoditas penting lainnya, misalnya, jagung untuk pakan ternak tahun 2010 menjadi 5,2 juta ton dari tahun 2006 yang hanya 3,5 juta ton. Menurut Prabowo (2007c), jagung boleh jadi salah satu komoditas pertanian yang paling ”rentan” saat ini. Dua puluh tahun lalu, jagung belum menjadi komoditas menarik. Konsumsi jagung di Indonesia maupun di dunia masih didominasi oleh kebutuhan pangan. Jagung juga termasuk komoditas pertanian yang mana Indonesia juga harus impor (Tabel 3), dan harga impornya terus meningkat (Tabel 4).
Tabel 3: Impor Jagung, 2003-2007 (ton/tahun)
Tahun Konsumsi pangan Kebutuhan Impor*
2003
2004
2005
2006
2007 7.200.000
6.800.000
7.100.000
7.200.000
7.600.000* 3.600.000
3.400.000
3.550.000
3.600.000
3.800.000** 1.345.446
1.088.928
181.069
1.769.254
510.378***
Keterangan: *) data BPS (lainnya dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak/GPMT); **) estimasi;
***) data Jan.-Maret 2007
Sumber: Prabowo (2007c)
Tabel 4: Perkembangan Harga Jagung Impor: 2006 & 2007 (dollar AS/ton, C&F Jakarta)
Negara Bulan
Janiari Februai Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2006
-AS
-Argentina
-China
2007
-AS
-Argentina
-China 140 145 147 146 146 145 147 162 162 190 210 217
135 137 137 140 140 147 155 158 158 185 205 215
139 148 148 150 150 150 160 160 160 195 200 205
220 227 235 217 226 235 230 240 260 270 - -
215 0 230 212 220 228 225 245 - - - -
0 224 210 0 0 0 0 0 - - - -
Sumber: Prabowo (2007c) (data dari GPMT)
Secara faktual, alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) tidak hanya berdampak pada penurunan kapasitas produksi pangan, tetapi juga merupakan wujud pemubadziran investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi atau budaya pertanian, dan merupakan salah satu sebab semakin sempitnya luas garapan usaha tani serta turun atau tidak beranjaknya kesejahteraan petani. Kesejahteraan rumah tangga petani tanaman pangan yang relatif rendah dan cenderung menurun sangat menentukan posisi ketahanan pangan ke depan. Selama ini sumber daya lahan belum dimanfaatkan secara optimal, bahan pangan diproduksi pada lahan seluas sembilan juta hektar dan itu pun ditanami dengan komoditas hortikultura, perkebunan,dll. Perlu segera dicarikan jalan pemecahannya yang dikaitkan dengan masalah kepemilikan lahan sempit. Ketahahanan pangan harus didukung oleh perluasan areal tanam melalui Pemanfaatan lahan tidur, Pembukaan lahan baru dengan delineasi yang akurat, Peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawah irigasi.
2.1.2. Kesejahteraan Petani
Secara statistik jumlah petani Indonesia lebih kurang sebesar 51% dari seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kesejahteraan petani merupakan kesejahteraan Indonesia. Pada saat ini dari 51% petani tersebut sebagian besar dari mereka belumlah sejahtera. Banyak diantara mereka yang berada dibawah garis kemiskinan dan kehidupan yang sangat memperihatinkan.
Penanggulangan hal ini hendaknya menjadi prioritas pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan bagi para petani. Ada beberapa program yang seharusnya dicanangkan oleh pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan, khususnya kemiskinan yang melanda para petani.
2.1.3. Subsidi Pangan
Subsidi pangan merupakan cara yang paling tepat bagi pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan bagi para petani. Dengan adanya subsidi pangan petani akan mendapatkan aksesibilitas berhubung murahnya harga faktor produksi yang mereka dapatkan. Subsidi pangan lebih efektif dari lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM. Hal ini mengingat subsidi BBM lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berada pada golongan menengah keatas. Sedangkan pemberian subsidi pangan tepat sasaran bila pemerintah ingin menanggulangi masalah kemiskinan. Namun ada ironi dalam pelaksanaan subsidi tersebut. Subsidi BBM yang hanya diperoleh masyarakat golongan menengah keatas mencapai Rp870 ribu per bulan, sedangkan subsidi pangan yang lebih difokuskan kepada masyarakat miskin hanya mencapai Rp 495.360 – Rp 568.320 per tahun. Sebuah anomali ketika pemerintah ingin mengurangi angka kemiskinan.
Kebijakan pangan sendiri dilakukan untuk menstabilkan harga pangan di pasar, baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan subsidi pangan sehingga dapat membantu masyarakat miskin, khususnya petani yang mengalami dampak perubahan harga pangan.
2.1.4. Subsidi Benih
Subsidi benih merupakan sebuah elemen penting bagi para petani agar bisa memperoleh kualitas benih yang bagus dan dengan harga yang terjangkau. Petani selalu menginginkan harga benih yang terjangkau karena bisa mengurangi biaya produksi mereka dan bisa membuat harga barang yang diproduksi menjadi lebih murah. Kenapa subsidi benih belumlah begitu tinggi? Pemerintah sepertinya belum menganggarkan jumlah yang begitu besar bagi subsidi benih, hal ini terlihat dari proporsi subsidi benih yang masih sedikit. Hal ini bisa dilihat pada tabel berikut. Subsidi benih telah mengalami peningkatan dari tahun 2005-2008, walaupun jumlah subsidi benih itu sendiri masih sangat kecil. Terakhir jumlah subsidi benih hanya sebesar Rp1 triliun. Angka tersebut mungkin sudah cukup bagi kondisi sekarang, namun ada baiknya agar angka tersebut ditambahkan lagi agar jumlah benih yang berkualitas akan semakin banyak dan terjangkau oleh para petani.
2.1.5. Subsidi Pupuk
Subsidi pupuk juga menjadi elemen yang begitu penting bagi produksi petani. Semakin bagus pupuk yang digunakan, maka hasil pertanian yang diperoleh akan semakin bagus. Masalahnya pupuk yang bagus tidak dapat diperoleh dengan harga yang murah. Itulah sebabnya pemerintah harus memberikan subsidi kepada pupuk. Anggaran pupuk yang dianggarkan pemerintah untuk standar yang sekarang sudah berada pada tahap yang memuaskan. Sama halnya dengan anggaran subsidi benih yang meningkat 100 persen, anggaran pada subsidi pupuk juga meningkat lebih dari 100 persen. Tahun 2008 telah dianggarkan subsidi pupuk mencapai Rp15,2 triliun atau 0,3 persen dari PDB.
2.1.6. Teknologi Pangan
Kenapa para petani kita masih miskin? Selain karena masalah kesulitan memperoleh benih dan pupuk yang murah dan berkualitas, para petani kita juga mempunyai masalah dalam hal pendidikan dan teknologi pangan serta pengetahuan akan teknik mengelola lahan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan para petani yang masih rendah, sehingga menyebabkan mereka tidak mengetahui trik atau cara bertani yang benar. Para petani lebih banyak bercocok tanam dengan menggunakan insting dan pengalaman mereka selama ini. Kurang memasukkan unsur pengetahuan alam dan teknologi didalam setiap kegiatan produksi yang mereka lakukan.
2.2. SEKTOR KETENAGAKERJAAN
Sebagai sebuah Negara berkembang ( developing country ) Indonesia dituntut untuk selalu menggalakkan pembangunan di segala lini, dengan tujuan utnuk mengejar ketertinggalan dari Negara- negara lain yang telah terlebih dahulu “tinggal landas” meninggalkan Indonesia ( sebut saja Negara maju seperti Jepang, Jerman dan Prancis ). Untuk memenuhi tuntutan pembangunan itu, selain Sumber Daya Alam sebagai faktor modal untuk membangun, dibutuhkan juga faktor Sumber Daya Manusia yang berkualitas sebagai motor penggerak pembangunan. Manusia yang berkualitas menjadi penting untuk mengisi pos- pos penting dalam suatu Negara, baik itu di sektor pemerintahan maupun sektor swasta, semuanya akan berjalan bersama menuju pembangunan bangsa yang sejahtera.
Untuk mendukung hal di atas, maka pemerintah menggalakkan dunia pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia bangsa yang berkualitas dan berkpribadian nasionalistik (nation character building). Setelah melalui tahapan ini, kemudian mereka akan di tempatkan di lapangan- lapangan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan jenjang pendidikan yang mereka tekuni. Di sisi Negara sebagai penyedia lapangan pekerjaan, ia membutuhkan sumber daya pekerja untuk melaksanakan program serta cita- cita pembangunan Di sisi lain para pencari kerja membutuhkan lapangan pekerjaan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, artinya ada sebuah proses yang saling terkait di sini. Artinya selama Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mampu/dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi para pencari kerja tersebut maka semuanya tidak akan menjadi masalah. Baru akan timbul masalah saat keduanya tidak seimbang, yang paling lazim terjadi adalah julmlah lapangan kerja yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja, yang mengakibatkan pada akhirnya timbul pengangguran.
Masalah pengangguran ini bukanlah masalah yang sederhana, ini adalah masalah yang kompleks dari sebuah Negara. Melibatkan tidak hanya masalah jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita juga melibatkan arah penentuan kebijakan Negara. Karena seorang pengangguran berarti ia tidak dapat menghidupi dirinya sendiri akibat tidak mempunyai pekerjaan untuk memperoleh uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari, artinya ia menjadi “beban Negara”. Tidak jarang pengangguran yang kemudian menjadi gelandangan, pengemis, kriminil atau penyakit- penyakit masyarakat lainnya, mereka semua berangkat dari satu hal yang sama, masalah himpitan ekonomi akibat tiada pekerjaan yang layak. Lalu apakah kemudian yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini ? semuanya akan tergambar jelas dalam APBN yang setiap tahunnya di rancang, strategi apa yang akan digunakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengangguran ini. Di sini kita akan coba membahas, mengkritisi dan kemudian menganalisa hal tersebut. Tentunya berdasarkan fakta- fakta yang didapat, dicoba untuk membuat sebuah kajian yang seobyektif mungkin. Sehingga dapat menjadi sumber bacaan maupun referensi bagi kita semua dalam rangka mempelajari kebijakan pemerintah dalam hal ini.
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA TAHUN 2004 – 2008
JENIS KEGIATAN 2004 2005 (November) 2006 (Agustus) 2007
(Agustus) 2008 (Agustus)
PENDUDUK USIA KERJA
(org/jt) 153.92 158.49 160.81 164.12 166.64
ANGKATAN KERJA
(org/jt) 103.97 105.86 106.39 109.94 111.95
PENDUDUK YANG BEKERJA
(org/jt) 93.72 93.96 95.46 99.93 102.55
PENGANGGUR TERBUKA
(org/jt) 10.25 11.90 10.93 10.01 9.39
TINGKAT KESEMPATAN KERJA
(%) 90.14% 88.76% 89.72% 90.89% 91.60%
Sumber : Sakernas 2004 - 2008, BPS
2.3. SISTEMATIS ANTARA KETAHANAN PANGAN DAN PERTUMBUHAN PENDUDUK
Artinya, kita memang harus lebih berkonsentrasi pada upaya untuk melaksanakan suatu program manajemen kependudukan secara tepat dan juga tak boleh mengabaikan sistem manajemen ketahanan pangan secara berkelanjutan. Selain itu, hal ini pada dasarnya merupakan suatu tuntutan bagi kita sebagai salah satu negara yang telah menandatangani kesepakatan di International Conference on Population and Development di Kairo pada 1994 lalu (dari 179 negara peserta).
Kesepakatan ini mengacu pada nilai pemahaman bahwa mutualisme interaksi antara kependudukan, proses kontinuitas pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi, serta jaminan lingkungan harus bersandar pada filosofis bahwa manusia merupakan faktor utama dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Aktualisasi terhadap tuntutan program ini, maka pemerintah dalam Propenas 2001-2005 sepakat merumuskan Kerangka Program Aksi Nasional Pembangunan Kependudukan Indonesia sampai 2005. Artinya, ini adalah tindak lanjut dari realisasi program keluarga berencana (KB) yang memang telah berhasil menekan angka pertumbuhan penduduk. Meski sudah ada kemajuan, tapi secara umum belum menggembirakan (Tjaja, 2000).
Secara kontekstual, sebenarnya diharapkan bisa terwujud proses pertumbuhan penduduk mencapai angka nol, tetapi dalam praktiknya hal ini tidak mudah. Apalagi ada asumsi yang berkembang di negara miskin-berkembang bahwa jumlah penduduk yang besar adalah modal dasar pembangunan, sekalipun mereka juga sadar bahwa itu akan menjadi ancaman jika tidak di-manage secara tepat. Selain itu bagi negara indutri maju, penduduk yang besar adalah suatu potensi market share dan sekaligus menjadi lahan relokasi industri karena murahnya harga tenaga kerja (tuntutan proyek industrialisasi bagi proses pertumbuhan ekonomi).
Terkait idealisme pertumbuhan kependudukan nol persen, mayoritas negara industri maju telah mampu mencapai TFR lebih kecil dari 2,1 (below-replacement yaitu suatu besaran angka TFR yang diperlukan untuk penggantian suatu generasi). Dan untuk negara miskin-berkembang angka TFR-nya melampaui 2,1 (kecuali China dan Thailand). Angka TFR Indonesia mencapai 2,5 di atas TFR-nya India, Pakistan, Filipina, dan Nigeria (2,1).
Jadi, tampaknya ini menjadi tantangan kita semua, dan bukan tidak mungkin kalau juga harus menjadi perhatian bagi para politikus-elite politik kita sebab aspek kependudukan juga bisa dipolitisasi. Dengan kata lain, kita harus sepakat untuk tidak (lagi) mengabaikan aspek kependudukan dan ketahanan pangan. Sebab keberhasilan dalam melakukan manajemen kependudukan dan ketahanan pangan akan meningkatkan kesejahteraan serta meredam ketimpangan dan dampak kemiskinan untuk menuju pada tahap kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Akumulasi laju pertumbuhan penduduk menuntut adanya kesediaan pangan secara mudah-murah.Urgensi dalam memahami aspek kependudukan dan juga ketahanan pangan bukan hanya mengacu pada sisi bagaimana melakukan pembenahan sektor manajemen kependudukan. Tetapi juga bagaimana perannya dalam meningkatkan taraf kesejahteraan hidup yang tak lain arahnya adalah menjamin ketersediaan pangan secara mudah-murah.
Mengacu keterkaitan antara manajemen kependudukan dunia dan juga komitmen terhadap aspek ketahanan pangan, HPS kali ini tampaknya hanya ingin menyuarakan satu peringatan kepada penduduk dunia bahwa jangan abaikan aspek kependudukan dan manajemen ketersediaan pangan bagi masyarakat! Realita ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa aspek kependudukan dan ketahanan pangan selama ini masih dipandang miring. Padahal, kekeliruan mengantisipasi aspek kependudukan dan manajemen ketahanan pangan akan berdampak simultan, yaitu tidak saja bagi aspek politik, tetapi juga sosial-ekonomi dalam jangka panjang; gap dan kemiskinan, serta ancaman rawan pangan.
Menurut FAO, ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Aspek pertama yaitu:
1. ketersediaan (availability) menekankan pada produksi pangan. Indikator aspek ini dilihat dari jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kepentingan semua rakyat, baik bersumber dari produksi domestik ataupun impor.
2. Keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan bahan pangan mudah dicapai individu atau rumah tangga. Sedangkan keterjangkauan ekonomi berarti kemampuan memperoleh atau membeli pangan atau berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap pangan.
3. Stabilitas (stability), merujuk kemampuan meminimalkan kemungkinan terjadinya konsumsi pangan berada di bawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam).
DAFTAR PUSTAKA
Media Indonesia: 16 Oktober 2003
http://www.suarapembaruan.com
1 komentar:
apakah tidak ada versi jurnalnya?
Posting Komentar