OLEH : UMBU JOKA
Kota Kupang merupakan NTT mini, atau lebih tepatnya menjadi Barometer
pembangunan dari propinsi NTT, kota pinggiran pantai dengan cuaca panas khas kawasan
tropik khatulistiwa yang mendapat penyinaran matahari hampir sepanjang tahun, dengan
iklim yang semi arit. Banyak orang mendeskripsikan Kupang sebagai “Kota Karang” tapi
beberapa waktu lalu saya justru merasa sangatlah akrab dengan istilah Kupang “ KOTA
KASIH” sebuah akronim dari Kupang Aman Sehat Indah Harmonis, jadi jangan heran
terdapat sebuah pasar tradisional yang terletak di kelurahan Naikoten dua yang bernama
Pasar KASIH.
Pluralisme bukan menjadi hal yang baru bagi kota ini, bauran suku – suku dari
seantero Negeri ini berlomba mencari kesejahteraan yang ditawarkan oleh jargon besar
“KOTA KASIH’ . sebagai ibu kota administratif Kupang didukung banyak fasilitas menarik
seperti pusat pemerintahan, bahkan di Kota ini perkantoran Propinsi, Kota Madya, dan
Kabupaten Kupang ( yang sebenarnya adalah tuan rumah, harus terpaksa menyingkir ke ibu
kota baru di Oelnasi ) bersanding dengan gagah seakan menguatkan eksistensi Kupang
sebagai pusat pemerintahan di Propinsi ini. Keberagaman di kota ini dapat ditinjau dari sisi
Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan. Bila diteliti dengan lebih cermat dapat dipastikan
Kupang merupakan sebuah ibu kota dan sampel yang dapat mewakili Populasi Indonesia
atau saya lebih menyukai dengan istilah “ Indonesia Mini”.
Perguruan – perguruan Tinggi dan Universitas – Universitas menjadikan Kupang
juga identik sebagai “kota pelajar”-nya NTT. Di kota ini berdiri sebuah Universitas Negeri
yang bernaman Universitas Nusa Cendana, dan puluhan Universitas dan Perguruan Tinggi
swasta lainnya. Ini juga merupakan salah satu daya tarik Kupang bagi para pelajar yang
haus untuk menuntut ilmu. Di tengah keberagaman dengan tingkat keragaman yang cukup
tinggi, menimbulkan berbagai pandangan bahwa Kupang juga merupakan salah satu kota
yang rawan konflik, hal ini terbukti benar bila kita sering mengikuti perkembangan dari media
massa baik cetak maupun elektronik, pasti masih segar diingatan kita tentang sebuah
peristiwa kelam yang mencoreng gelar “ KOTA KASIH” di penghujung tahun 2009 dan awal
tahun 2010 yang lalu.
Penghujung 2009 memasuki tahun yang baru 2010, merupakan penghujung tahun
yang menggoreskan kesan mendalam bagi kaum intelektual muda di Kota Kupang. Di ujung
tahun tersebut, sebuah memory kelam terpaksa membalut senyuman dan mengumbar
ancaman, konflik antar suku yang terjadi di wilayah kost – kost-an hunian mahasiswa di
Oesapa, tidak ternilai berapa tangisan yang terpaksa harus tumpah bila membayangkan hal
tersebut.
Inilah yang terjadi bila karena sebuah masalah kecil dibesar – besarkan, percikan
kemarahan yang menjadi residu – residu konflik tertumpah bagai lahar gunung berapi.
Puluhan puing – punig sisa kebakaran kamar kost hunian mahasiswa menjadi saksi bisu,
malam yang terasa cukup panjang mencekam bagi warga Oesapa dan sekitarnya. Ini hanya
sekelumit gambaran dari suasana konflik yang rentan terjadi di Kota Kupang, sebuah Ibu
Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, yang populasi penduduknya ± 1 juta jiwa, dengan
tingkat pendapatan perkapita sekitar Rp. 1.250.000,- /org/ tahunnya.
Kejadian yang terjadi di akhir tahun lalu, banyak menyajikan aksi mencekam, yang
dilakukan oleh massa – massa yang sehari berprofesi sebagai “ mahasiswa”. Ya,
mahasiswa, orang yang terdaftar dan belajar, sungguh sangat disayangkan calon – calon
intelektual muda, mereka yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini
umumnya dan terkhusus Propinsi ini, menjadi aktor – aktor penyebar keresahan bagi
masyarakat sekitar. Seakan tidaklah berguna semua materi yang dituntut dari jenjang
sekolah paling dasar sehingga bias mendapat gelar “Mahasiswa” melampaui siswa yang
meminjam sedikit keMaha-an dari Tuhan.
Memang tidak ada yang dapat dipastikan dalam menjalani kehidupan, seorang
teman saya pernah berkata bahwa dia ditanyai temannya “ Kalau hidup ini pertanyaan,
maka apa yang akan kamu lakukan untuk menjawabnya?” teman saya lalu spontan
menjawab “ kalau hidup ini pertanyaan, maka jalanilah untuk menjawab kehidupan anda !”.
Saya rasa hal ini juga yang menjadi dasar kenapa konflik – konflik masih menjadi konsumsi
sehari – hari bagi sebagian masayarakat di Kota ini, dikalangan mahasiswa yang umumnya
berusia muda, pencarian jati diri menjadi salah satu alasan kenapa harus “otot” yang
dipergunakan untuk menyelesaikan masalah dengan sebuah aksi sporadis dibandingkan
harus duduk dan menjadi pembicara atau pendengar yang baik dengan menggunakan
sebuah organ sederhana dengan milyaran jaringan impuls yang biasa kita sebut “ otak”.
Banyak masalah bisa diselesaikan dengan berembuk bersama untuk bicara, hal ini
diakui banyak orang sebagai bentuk dari manajemen konflik yang baik. Tapi beberapa pandanganpun tidak ketinggalan menyatakan bahwa “movement” merupakan sebuah jalan
keluar demi mendatangkan perubahan. Inilah fungsi dari lembaga keagamaan harus
memainkan peran demi pembentukan “fisik rohani” dari para umat – umat beragama yang
masih muda ini, tidaklah cukup dengan khotbah – khotbah ringan pada hari – hari tertentu
atau teguran – teguran dan nasehat – nasehat religius dari ayat – ayat Kitab Suci,
perubahan juga memerlukan langkah kongkrit, bukankah ini semua merupakan tanggung
jawab kita bersama, mari berhenti dengan usaha – usaha mencari tempat “ aman” dan
hanya menyerukan perdamaian dari kejauhan, bukankah setiap agama mengajarkan
kebaikan yang akan menjadi lirik pemuka bagi sebuah instrument Kedamaian. Para pemuka
agama perlu melakukan pendekatan persuasif dan relevan bagi pembentukan tingkat
“keimanan” yang lebih baik bagi umatnya.
Perdamaian merupakan impian semua manusia, meskipun manusia juga yang
menjadi bidan yang membantu lahirnya sebuah konflik, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa
mencegah lebih baik dari pada mengobati. Tindakan prefentif yang nyata menjadi solusi
yang patut dicoba, seperti sebuah istilah dalam bahasa inggris “ If you want to change whole
world, start to changes from Man hearts.” (jika anda ingin mengubah seluruh dunia, mulailah
dengan mengubah hati manusia). Mari kita mulai melihat hati kita, sudahkah ada sebuah
sudut yang menjadikan kedamaian sebagai kebutuhan primer bagi manusia, sehingga pada
suatu saat nanti di Kota Kasih yang berkarang ini, bertepi sebuah kedamaian meskipun itu
hanya berupa sebuah “blind side” (sisi buta) yang tidak tampak tapi turut mengawal
keragaman di Kota Karang ini. Jika bukan kita yang memulai siapa lagi, jika bukan sekarang
kapan lagi ? salam damai saudaraku