468x60 Ads

This is featured post 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Kamis, 26 Mei 2011

KETRAMPILAN MEMBUAT BUNGA DARI LONTAR

TUGAS
BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN
KETRAMPILAN
MEMBUAT BUNGA DARI LONTAR
O
L
E
H

NAMA : CHRISTHOVORUSIA I. NABUASA
NIM : 0804022550
PRODI : SOSIAL EKONOMI
DOSEN PA : Ir. NIKOLAUS SERMAN MS.c

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2011



Daun lontar yang mirip dengan janur kelapa ternyata bisa dikreasikan menjadi bunga-bunga yang cantik, ini caranya :

Alat-alat yang dibutuhkan:

1.Gunting

2soldir

3.Benang jahit

4.Lem putih

5.Lem lilin


6. Tangkai bisa menggunakan bambu yang dihaluskan,atau kawat,batang fitrit(rotan).


7. Hidrogen peroksida

Hidrogen peroksida (H2O2) adalah cairan bening , agak lebih kental daripada air, yang merupakan oksidator kuat. Sifat terakhir ini dimanfaatkan manusia sebagai bahan pemutih (bleach), disinfektan, oksidator, dan sebagai bahan bakar roket.
Hidrogen peroksida dijual bebas, dengan berbagai merek dagang dalam konsentrasi rendah (3-5%) sebagai pembersih luka atau sebagai pemutih gigi (pada konsentrasi terukur). Dalam konsentrasi agak tinggi (misalnya merek dagang Glyroxyl®) dijual sebagai pemutih pakaian dan disinfektan. Penggunaan hidrogen peroksida dalam kosmetika dan makanan tidak dibenarkan karena zat ini mudah bereaksi (oksidan kuat) dan korosif.
CARA MEMBUAT
1.siapkan daun lontar yang muda kemudian dikeringkan


2.setelah kering dipotong sesuai pola yang diinginkan(menjadi pola kelopak-kelopak bunga)

3.kelopak2 kemudian diputihkan menggunakan campuran air dengan peroksida.



4.setelah kelopak putih kemudian proses pewarnaan sesuai selera dengan cara dimasak dengan pewarna, lalu dikeringkan.

5.setelah kering kelopak2 tersebut siap untuk dirangkai menjadi bunga.

6.kreasikan rangkaian kelopak sesuai dengan selera anda.


selamat mencoba..

BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN ”Tikar Sebagai Salah Satu Hasil Kerajinan Dari Tanaman Lontar”

TUGAS
BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN
”Tikar Sebagai Salah Satu Hasil Kerajinan Dari Tanaman Lontar”


OLEH :
NAMA : RENALDI ALU
NIM
JURUSAN :
: 0804022590
SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
SEMESTER : VI (ENAM)
DOSEN PENGASUH : Ir. IDA NURWIANA, M.Si



FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2011
Pohon Siwalan (Lontar)
Pohon Siwalan atau disebut juga Pohon Lontar (Borassus flabellifer) adalah sejenis palma (pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar (Borassus flabellifer) menjadi salah satu flora identitas provinsi Nusa Tenggara Timur. Pohon ini banyak dimanfaatkan daunnya, batangnya, buah hingga bunganya yang dapat disadap untuk diminum langsung sebagai legen (nira), difermentasi menjadi tuak dan cuka ataupun diolah menjadi gula siwalan (sejenis gula merah).
Pohon Siwalan (Lontar) merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm. Buah Lontar (Siwalan) bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.


Pohon Siwalan atau Pohon Lontar dibeberapa daerah disebut juga sebagai ental atau siwalan (Sunda, Jawa, dan Bali), lonta (Minangkabau), taal (Madura), duntal (Saksak), juntal (Sumbawa), tala (Sulawesi Selatan), lontara (Toraja), lontoir (Ambon), manggitu (Sumba) dan tuak (Timor). Dalam bahasa inggris disebut sebagai Lontar Palm.
Pohon Siwalan atau Lontar (Borassus flabellifer) tumbuh di daerah kering. Pohon ini dapat dijumpai di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di Indonesia, Pohon Siwalan tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Pohon Siwalan atau Lontar mulai berbuah setelah berusia sekitar 20 tahun dan mampu hidup 80 sampai 100 tahun lebih.
Klasifikasi Ilmiah :
Kerajaan : Plantae;
Divisi : Angiospermae;
Kelas : Monocotyledoneae;
Ordo : Arecales;
Famili : Arecaceae (sinonim: Palmae);
Genus : Borassus;
Spesies : Borassus flabellifer.

Kandungan Kimia Lontar :
Nira mengandung 17-2011/o bahan kering, pH 6,7-6,9. Setiap liter mengandung protein dan asam amino (360 mg N), sukrosa 13-18%, P. 110 mg, K 1900 mg, Ca 60 mg, Mg 3 0 mg, vitamin B 3,9 TU vitamin C 132 mg, dan abu 4-5 g. Buah segar beratnya sekitar 2790 g (100%) terdiri atas kelopak bunga 175 g (6,3%), sabut 120 g (4,3%), tempurung 66 g (2,4%), daging buah 1425 g (51,0%) dan 3 buah biji beratnya 1004 g (36,0%).

Hama dan Penyakit :
Hama yang banyak menyerang lontar adalah kumbang Orycctes dan Rhynchophorus. Penyakit yang paling berbahaya adalah busuk upih dari jamur Phytophthora palmifora. Gejalanya bercak-bercak pada belaian daun yang menjalar sampai ke tunas. Kemudian tunas akar membusuk. Pohon yang terserang harus segera dimusnahkan dan dibakar untuk menghindari penularan pada pohon yang lainnya.

Ekologi Tanaman Lontar :
Beradaptasi di daerah kering, curah hujan 500-900 mm per tahun, juga tumbuh di daerah dengan curah hujan per tahun sampai 5000 mm. Tumbuh liar di tanah berpasir, juga tanah yang kaya bahan organic.



Pemanfaatan Pohon Siwalan

Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan. Air Sedapan (Nira) bisa dibuat menjadi alkohol medick, bio etanol, kecap asin & manis, gula batu, gula merah, cuka, dlll. Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira lontar (legen). Nira ini dapat diminum langsung sebagai legen (nira) juga dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol dan juga sebagai bumbu masak yaitu cuka.

Buahnya, terutama yang muda, banyak dikonsumsi. Biji Lontar yang lunak ini kerap diperdagangkan di tepi jalan sebagai “buah saboa” (Timor). Biji siwalan ini dipotong kotak-kotak kecil untuk bahan campuran minuman es dawet siwalan atau es campur. Daging buah yang tua, yang kekuningan dan berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak terlebih dahulu. Cairan kekuningan darinya diambil pula untuk dijadikan campuran penganan atau kue-kue; atau untuk dibuat menjadi selai.
Daun Lontar (Borassus flabellifer) di Nusa Tenggara Timur digunakan sebagai media penulisan naskah lontar dan bahan kerajinan atau souvenir seperti tikar, topi (ti’ilangga dari daerah rote), aneka keranjang, tenunan untuk pakaian, lintingan rokok, sarung pisau atau parang, haik (alat timba atau wadah tuak manis), tempat sirih, sandal tradisional, kipas api tungku, sasando yaitu alat musik tradisional dari Rote dan atap rumah Tangkai dan pelepah pohon Siwalan (Lontar atau Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari pelepah Lontar cukup banyak digunakan di Sumba, Sabu dan Rote ptovinsi Nusa Tenggara Timur untuk menganyam tali atau membuat songkok, semacam tutup kepala setempat.

KERAJINAN TIKAR DARI DAUN LONTAR
Di tempat ‘Kerajinan Sasando Dalek Esa’ (Jalan Timor Raya Kilometer 8 No.5 Oesapa, Kupang- NTT), daun lontar yag sudah kering selama sebulan, dianyam menjadi tikar, dianyam dua lapis dan bagian ujungnya dilipat membentuk segitiga dan membentuk sisi tikar. Kemudian setelah dianyam, dirapikan ujung-ujung daun lontar yang masih tersisa dengan menggunakan pisau lalu dijemur. Tikar digunakan untuk alas tidur sedangkan tikar besar digunakan untuk menjemur padi, jagung, dll. Selain untuk tempat tidur dan alas jemuran, juga digunakan untuk alas duduk bagi tamu-tamu yang sangat dihormati ketika acara-acara adat. Karena bahan baku daun lontar untuk tikar makin mahal, harga jual tikar terus naik yang saat ini Rp 20.000 – Rp. 25.000 per pcs ukuran 1,5 m sampai 2 meter. Bahan utama tikar yaitu daun lontar dibeli oleh pengrajin dari Lasiana dengan harga Rp. 5000/ polok. Hal ini mengingat daun lontar di sekitar tempat kerajinan ini sudah makin langka karena ditebang karena rusak ataupun untuk dijadikan lahan proyek pembangunan.


Gambar – gambar proses pembuatan Tikar bentuk mini (ukuran kecil)di Rumah Kerajinan Dalek Esa Kota Kupang :

MAKALAH BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN - ATAP LONTAR

OLEH :

NAMA : PRISCHA J. LULAN
NIM : 0804022587
JUR./ PRODI : SOSEKTAN/ AGRIBISNIS

SEMESTER : VI (ENAM)
DOSEN WALI : DRA. S. PUDJIASTUTI, MM


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2011

POHON LONTAR DAN MANFAATNYA
“Daun Lontar sebagai Atap Rumah”

Pohon Lontar (Borassus flabellifer) adalah sejenis palma (pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm dan Batangnya seperti batang pohon kelapa atau bahkan lebih besar lagi. Perawakan batangnya lebih halus dan berwarna agak kehitam-hitaman. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm selain daunnya berbentuk seperti kipas yang bundar. Tepinya banyak mempunyai lekukan yang lancip. Daun-daun tuanya tidak segera luruh tetapi tetap melekat diujung batang, sehingga tajuk pohonnya menjadi bundar. Perbungaannya berbentuk tandan. Perbungaan jantan dan betinanya masing-masing terletak pada pohon yang berlainan.. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm.
Buah Lontar besar, bulat, banyak bersabut, berair dan berbiji tiga bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.
Pohon Lontar dibeberapa daerah disebut juga sebagai ental atau siwalan (Sunda, Jawa, dan Bali), lonta (Minangkabau), taal (Madura), dun tal (Saksak), jun tal (Sumbawa), tala (Sulawesi Selatan), lontara (Toraja), lontoir (Ambon), manggitu (Sumba) dan tua (Timor). Dalam bahasa inggris disebut sebagai Lontar Palm
Pohon Lontar (Borassus flabellifer) tumbuh di daerah kering. Pohon ini dapat dijumpai di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di Indonesia, Pohon Siwalan tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Pohon Lontar mulai berbuah setelah berusia sekitar 20 tahun dan mampu hidup hingga 100 tahun lebih.
Banyak manfaat yang kita dapat dari pohon lontar selain menghasilkan gula nira, dan sirup lontar, batangnya dapat dijadikan bahan bangunan dan daunya dapat dijadikan bahan untuk produk kerajinan anyaman seperti bakul, tikar, rumbia atap dan rumbia dinding. Jenis produk yang dihasilkan masih sangat sederhana dan terbatas. Produk yang selama ini dihasilkan dengan bahan baku daun lontar adalah aneka bakul sayur, bakul padi, tikar, nampan, dan rumbia atap.
Berikut ini salah satu manfaat dari daun lontar yaitu sebagai atap rumah. Dapat dilihata pada Gambar 1.


Gambar 1.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan atap rumah adalah daun lontar, lidi (yang merupakan helaian dari tulang daun lontar), kayu (sebagai rangka dalam dan penyanggah daun lontar). Peralatan yang digunakan untuk membuat produk ini adalah tali rafia, gunting, pisau, dan kapak.

Metode
Metode Tindakan diterapkan dalam pembuatan atap rumah dari bahan baku daun lontar ini adalah Pembuatan rumah dari atap daun lontar diawali dengan membentuk rangka rumah dari kayu dengan model melingkar dan kerucut keatas, memetik daun lontar yang sudah tua biasanya daun lontar tersebut berwarna hijau kekuning-kuningan sehingga lebih tahan lama dan efisiensi dalam penggunaan daun, kemudian daun tersebut disusun melingkar dari bawah sampai keatas sesuai dengan pola bentuk rumah yang telah dibentuk.

Prinsip kerja dan pembuatan atap rumah berbahan baku daun lontar ini dapat dijelaskan sebegai berikut:
1. Pembuatan (desain) model
Pelaksanaan pembuatan atap rumah dengan bahan baku daun lontar diawali dengan mendesain model bentuk rumah dengan kayu sebagai penyanggah daun lontar. Pada tahap ini, diawali dengan kayu tengah sebagai penyanggah utama. Kayu tengah tersebut memilki ukuran lebih besar dari kayu penyanggah lainnya. Kemudian kayu-kayu yang lainnya disusun melingkar dan bertingkat-tingkat. Untuk menghubungkan kayu yang satu dengan kayu yang lainnya digunakan tali raffia. Berikut ini dapat dilihat pada Gambar 2. Rangka dalam pembuatan rumah beratapkan daun lontar. (Sumber gambar diambil Dikecamatan Maulafa)




Gambar 2. Rangka kayu pembuatan rumah beratapkan daun lontar.

2. Teknik Pembuatan lidi dari helaian daun lontar
Berasal dari helai-helai daun yang dengan lebar helai yang seragam ukurannya. Setiap pasang helai daun lontar mempunyai tulang daun (satu tulang daun mempunyai dua lembar helai daun). Setelah dipisahkan dari tangkai daun (pelepah) dengan cara dipotong maka terlebih dahulu tulang-tulang daun dipisahkan dari daunnya. Helai helai daun ini kemudian dijemur kurang lebih 2 jam. dalam cuaca panas matahari normal dengan suhu sekitar 36 °C - sampai 40 °C .
Langkah selanjutnya adalah pembentukan helai-helai daun menggunakan pisau menjadi helai-helai yang mempunyai lebar yang sama. Pembentukan helai ini membutuhkan keterampilan khusus agar lebar helai daun dari ujung ke ujung yang lain tetap sama dan seragam.




3. Teknik Pengambilan dan Penyusunan Daun Lontar
Teknik Pengambilan daun lontar (Gambar 3), diawali dengan daun lontar diambil dengan dipisahkan pelepahnya. Kemudian daun diturunkan dari pohon dengan cara daun dengan diikat pada leher atau ikat pinggang. Setelah sejumlah daun diambil dari pohon lontar kemudian sampai pada tahap daun lontar diikatkan pada rangka kayu yang telah ada. Daun lontar tersebut diikatkan dengan menggunakan lidi dari helaian daun lontar (Gambar 4) yang berasal dari helaian daun tersebut.




Daun Lontar (Gambar 3) Lidi Dari Helaian Daun Lontar (Gambar 4)

Setelah daun secara keseluruhan diikat dengan lidi dari helaian daun lontar pada rangka kayu tersebut maka rumah dari daun lontar (Gambar 5) tersebut telah jadi dan siap untuk digunakan.




Rumah dari Daun Lontar (Gambar 5)


BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN KERAJINAN DARI DAUN LONTAR “TEMPAT SIRIH”

NAMA : FRINCE M LAURENS
NIM/SEMESTER : 0804022562/VI
PRODI : AGRIBISNIS
DOSEN PA : Ir. S P N Nainiti, MSc. Agr


Pohon lontar (Borassus sundaicus ) adalah sejenis palma (pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar (Borassus flabellifer) menjadi salah satu flora identitas provinsi Nusa Tenggara Timur. Pohon ini banyak dimanfaatkan daunnya, batangnya, buah hingga bunganya yang dapat disadap untuk diminum langsung sebagai legen (nira), difermentasi menjadi tuak dan cuka ataupun diolah menjadi gula siwalan (sejenis gula merah) dan daunnya dijadikan berbagai macam kerajinan.
Siwalan atau Pohon Siwalan atau Lontar (Borassus flabellifer) tumbuh di daerah kering. Pohon ini dapat dijumpai di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di Indonesia, Pohon Siwalan tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Pohon Lontar mulai berbuah setelah berusia sekitar 20 tahun dan mampu hidup 80 sampai 100 tahun lebih.
Beradaptasi di daerah kering, curah hujan 500-900 mm per tahun, juga tumbuh di daerah dengan curah hujan per tahun sampai 5000 mm. Tumbuh liar di tanah berpasir, juga tanah yang kaya bahan organic.
Daun Lontar (Borassus flabellifer) di Nusa Tenggara Timur digunakan sebagai media penulisan naskah lontar dan bahan kerajinan atau souvenir seperti tikar, topi (ti’ilangga dari daerah rote), aneka keranjang, tenunan untuk pakaian, lintingan rokok, sarung pisau atau parang, haik (alat timba atau wadah tuak manis), tempat sirih, sandal tradisional, kipas api tungku, sasando yaitu alat musik tradisional dari Rote dan atap rumah Tangkai dan pelepah pohon Siwalan (Lontar atau Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari pelepah Lontar cukup banyak digunakan di Sumba, Sabu dan Rote ptovinsi Nusa Tenggara Timur untuk menganyam tali atau membuat songkok, semacam tutup kepala setempat.
Tempat sirih selalu digunakan oleh daerah-daerah di provinsi NTT, selain kegunaannya sekedar sebagai tempat menyimpan sirih, kapur dan pinang biasa juga dipakai oleh masyarakat daerah sebagai alat untuk menjamu tamu, peminangan, bahkan digunakan dalam kegiatan kesenian seperti menari. Pada tarian CERANA yang berasal dari daerah Rote, NTT menggunakan tempat sirih sebagai objek/, dimana trian tersebut untuk menyambut para tamu yang datang. Tempat sirih juga dapat menjadi identitas suatu daerah walau bentuknya sama pada semua daerah.
Kerajinan tempat siri di Kupang, NTT biasa dipamerkan pada suatu pameran atau workshop dan dapat sebagai cindera mata dan umumnya di Kupang dijual dengan harga Rp.25.000-Rp.35.000 dan dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Cara Membuat Kerajinan “Tempat Sirih”
Umunya untuk membuat anyaman yang akan dibentuk menjadi tempat sirih akan menggunakan daun lontar yang masih muda agar kuat dan tahan lama dan daun yang dipilihpun yaitu daun yang tidak berlubang dan berwarna hijau merata agar terlihat indah saat dibentuk tempat sirih.
Alat dan Bahan:
1. Pisau
2. Parang
3. Daun lontar yang muda
4. Kesumba (warna sesuai selera)
Cara Membuat:
1. Daun muda yang diambil dibersihkan/ dihaluskan permukaannya
2. Daun dipotong dengan lebar 2cm
3. Daun dipisah dari yang akan di beri warna
4. Yang tidak diberi warna dicuci kemudian dijemur selama 3 jam dan jangan terlalu kering ( warnanya kuning pucat)
5. Daun yang akan diberi warna, dicelup pada kesumba semalam (warna sesuai selera) min. 3 warna kemudian dijemur selama 3jam.
6. Daun dianyam biasa umumnya dan menganyam selip untuk daun yang berwarna pada bagian tampak luar anyaman ( berbentuk segitiga, salib, kotak, dsb)
7. Tempat sirih dibentuk dua bagian ( satunya sebagai penyekat)

Budidaya tanaman tahunan - Produk Olahan Lontar Proses Produksi piring Lontar

TUGAS
BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN
“Pemanfaatan Lidi Daun Lontar Menjadi Piring Rotan”
NAMA : ETMAR KUNE
NIM : 0804022559
PROGDI : SOSEK
DPA : HANS TELNONI, SE,MSi

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2011
PENDAHULUAN

Latar belakang
Pohon lontar selain menghasilkan nira n sirup lontar batangnya dapat digunakan untuk bahan bangunan dan daunnya dapat digunakan untuk kerajinan anyaman seperti tikar, bakul dan lain-lain adapun yang mengunakan bagian daun dari lontar yaitu lidi daun lontar untuk dibuat kerajinan tangan seperti salah satunya adalah piring rotan.
Pengembangan kerajinan anyaman di kalangan masyarakat sangat berpengaruh kepada tingkat perekonomian masyarakat yang mengusahakan kerajianan anyaman dari daun lontar sebagi pengrajin anyaman daun lontar maka itu penganekaragaman produk kerajinan anyaman dari daun llontar sangat dibutuhkan sehingga meningkatkan kreatifitas pengrajin anyaman daun lontar . Sebagian sumber daya manusia yang mengusahakan kerajinan ini adalah orang-orang yang memiliki pendidikan dasar sehingga pengembangan pasar yang ada masih dalam ruang lintgkup masyarakat tempat pangrajin mengusahakan kerajinan anyaman tersebut.
Pemasaran yang dimiliki cukup baik dikarenakan kebutuhan pasar yang besar sehingga produk kerajinan anyaman diminati baik kalangan bawah, menengah, maupun kalangan atas. Dikarenakan cukup sederhana tapi memiliki nilai yang khas dan memiliki keunikan tersendiri bagi pembeli. Pengunaan nya cukup sederhana dan tidak menulitkan bagi pembeli untuk mengunakan produk anyaman tersebut. Salah satu dari produk kerajinan anyaman adalah piting lidi atau yang sering kita sebut dengan piring rotan yang memiliki nilai jual yang cukup di pasar dikarenakan cukup sederhana dan praktis digunakan serta tidak memakan biaya yang besar dan dapat digunakan berulang-ulang kali.

Tujuan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini agar pembaca lebih mengetahui kegunaan dari pohon lontar sebagi penghasil kerajinan tangan agar kedepannya pemeliharaan pohon lontar lebih intensif sehingga kita sebagai penerus bangsa lebih menjaga kelestarian dari tanaman lontar agar anak cucu kita bukan hanya tahu tentang apa itu tanaman lontar tetapi juga lebih mengerti dan biasa melihat seperti apa itu tanaman lontar.

Manfaat
Manfaat yang dapat kita ambil dari penulisan tentang kerajianan anyaman dari bagian lidi daun lontar yaitu agar bisa bermanfaat bagi pembaca sehingga pembaca sendiri lebih tahu tentang apa saja yang dihasilkan dari lidi daun lontar salah satunya adalah piring rotan dan pengunaan piring rotan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan pohon lontar sekarang ini merupakan salah satu bagian dari masyarakat. bagian-bagian dari pohon lontar seperti pada bagian batang yaitu menjadi bahan banguanan, daun lontar menjadi berbagai anyaman yang menjadi pendapatan bagi pengrajin pohon lontar.
Banyak pengrajin pohon lontar yang ada di daerah NTT salah satunya adalah Rote kebanyanya orang Rote yang menghasilkan produk piring rotan sebagai produk sampingan sebagai tambahan uang bagi keluarga, disamping mengusahakan nira yang dijadikan sebagai gula air dan gula lempeng
Salah satu kerajinan anyaman dari lidi daun lontar adalah piring rotan atau dalam masyarakat Rote menyebutnya dengan nama “Pingga Loak” . Pingga loak ( piring rotan ) adalah piring yang terbuat dari lidi daun lontar/ daun kelapa, yang dianyam menyerupai piring makan dan diproses hingga halus. Penggunaan piring rotan sangat praktis karena hanya membutuhkan kertas minyak / daun pisang yang dipotong melingkar di atasnya. Dan apabila sudah selesai digunakan, hanya tinggal membuang kertas / daunnya saja. piring rotan bisa di simpan kembali, tidak pecah, awet, hemat, praktis penggunaannya, dan hemat tenaga karena tidak perlu dicuci setelah digunakan (cukup dilap saja). Pingga loak (piring rotan) sangat diminati oleh usaha restaurant, depot, Pesta Rakyat, dll. Dibawah ini adalah proses pembuatan piring rotan secara sederhana yang biasa dilakukan oleh masyarakat Rote.
Alat dan bahan :
1. Pisau
2. Tali
3. Lidi daun lontar yang masih mentah
Cara pembuatan :
1. Pertama-tama lidi daun lontar dipisahkan dari daun lontar dengan jumlah sesuai dengan ukuran dan desainnya, semakin besar dan panjang maka semakin besar piring yang dihasilkan. Pada desain dibawah ini di perlukan 72 lidi daun lontar.


2. Dipisahkan menjadi 6 bagian.

3. Diikat dengan tali untuk dapat dipisahkan saat proses pengayaman.





4. Disilangkan lalu digabungkan 2 bagian yang berbeda mengunakan tali.

5. Dibuka ikatan satu-persatu untuk proses awal pengayaman

6. Dianyam dan diselipkan tali agar bisa memperkuat proses penganyaman selanjutnya.



7. Putaran anyaman sesuai dengan arah jarum jam, tapi itu tergantung dari desain anyaman yang diinginkan oleh pengrajin sendiri.

8. Hasil dari anyaman lidi daun lontar yaitu pingga loak (piring rotan)


Dalam proses pengayaman piring rotan ditekankan bahwa pembuatan piring rotan harus lidi daun lontar yang masih mentah agar saat proses pengayaman dapat berjalan dengan baik karna kalau mengunakan lidi daun luntar yang kering maka mudah patah dan hasilnyta tidak sesuai dengan yang diinginkan. Bayak sekali desain dari piring rotan tetapi semua itu tergantung dari pengrajin piring rotan yang mengkreasikan agar terlihat menarik dan dapat diminati oleh konsumen sendiri.




KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan diatas maka di simpulkan bahwa:
1. Piring rotan sangat diminati oleh konsumen sekarang ini karena praktis dan harganya mudah di jangkau.
2. Proses pembuatan dari piring rotan cukup sederhana tergantung dari pengrajin untuk mengkreasikan piring rotan agar tampak menarik di mata konsumen.
DAFTAR PUSTAKA

M.Gani kristanto, 1986, Pedoman Pembuatan Aneka Kerajinan Mengunakan Alat Alat Tangan, PIKA Semarang

Feny, Pengembangan Dan Jenis Produk Anyaman Daun Lontar Berpotensi Ekonomis, Politeknik Negeri Kupang

BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN OLAHAN DARI DAUN LONTAR “ROKOK POLOK”

BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN
OLAHAN DARI DAUN LONTAR
“ROKOK POLOK”



OLEH
DEDY N. OTTA
0804022554

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2011

PROSES PEMBUATAN ROKOK POLOK
Daun lontar yang digunakan dalam pengolahan barang kerajinan maupun lain-lain adalah daun lontar yang masih muda atau yang sering disebut polok. Sebelum diolah polok ini dijemur terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengurangi kadar air dalam daun. Penjemuran ini mebutuhkan waktu kurang lebih satu hari.
Proses pembuatan rokok polok ini tidaklah sulit karena alat dan bahan yang digunakan cukup sederhana serta prosesnya tidak begitu rumit. Berikut adalah alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan rokok polok yaitu :
1. Daun lontar muda / polok yang sudah dikeringkan
2. Tembakau
3. Air : bahan untuk melunakan kembali daun lontar yang sudah dikeringkan
4. Pisau : selain sebagai alat potong digunakan juga sebagai alat pengikis daun

Setelah alat dan bahan disiapkan, maka ada beberapa tahap / langkah-langkah dalam proses pembuatan rokok polok yaitu :
1. Pisahkan tulang daun dari daun lontar
2. Pengikisan daun :
Ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam pengikisan daun yaitu permukaan daun yang akan dikikis adalah permukaan yang teksturnya kasar. Tujuannya agar daun lontar menjadi lebih tipis.
3. Pemotongan daun :
Setelah tahap pengikisan dilakukan maka tahap yang berikut adalah memotong daun menjadi beberapa bagian dengan ukuran kira-kira 7 cm. dan sisahkan masing-masing potongan 1 cm daun sebagai alat pengikat rokok. Biasanya satu helai daun menghasilkan 5 potong.
4. Penggulungan dan Pengikatan rokok :
Daun yang sudah dipotong diisi dengan tembakau dan diatur sedemikian rupa kemudian digulung dan diikat menggunakan tali dari potongan daun yang tersisa berukuran 1 cm tadi. Kkemudian rokok siap untuk digunakan.






LAMPIRAN








Budidaya tanaman tahunan - Produk Olahan Lontar Proses Produksi gula Lempeng

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Clifford Geertz (1983:12-37) menyatakan bahwa sistem-sistem ekologi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua tipologi yang berbeda satu sama lain. Pertama,tipologi pertanian sawah yang terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian dalam yang padat penduduknya. Kedua, tipologi pertanian ladang yang terdapat di Indonesia bagian luar, yang kurang padat penduduknya. Dari kedua sistemmenyatakan bahwa sistem-sistem ekologi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua tipologi yang berbeda satu sama lain. Pertama, tipologi pertanian sawah yang terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian dalam yang padat penduduknya. Kedua, tipologi pertanian ladang yang terdapat di Indonesia bagian luar, yang kurang padat penduduknya. Dari kedua sistem ekologi tersebut dimungkinkan adanya berbagai tipologi, yang dibentuk berdasarkan gabungan dari keduanya. Akan tetapi menurut James Fox (1996: 33) terdapat sistem ekologi yang ketiga, yang peranannya semakin penting tetapi diabaikan dalam tipologi yang dibentuk oleh Clifford Geertz tersebut, yaitu sistem ekologi di pulau-pulau bagian luar Indonesia, terutama pada busur luar kepulauan di Nusa Tenggara Timur. Sistem ini bukan merupakan sistem pertanian yang lain, tetapi suatu kegiatan meramu, yaitu pemanfaatan pohon lontar (Borassus sundaicus Beck) yang sangat produktif.
Pohon Lontar adalah sejenis palma (pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar (Borassus sundaicus Beck) menjadi salah satu flora identitas provinsi Nusa Tenggara Timur, hal ini didukung oleh lambang Kota Kupang( Ibu kota Provinsi NTT) yaitu Sasando, yang notabene merupakan produk kerajinan tangan olahan dari daun tanaman lontar serta Kabupaten Kupang yang mencantumkan gambar Pohon Lontar berdampingan dengan ternak sapi sebagai lambang administratif. Pohon ini banyak dimanfaatkan daunnya, batangnya, buah hingga bunganya yang dapat disadap untuk diminum langsung sebagai legen (nira), difermentasi menjadi tuak ataupun diolah menjadi gula lempeng (sejenis gula merah)
Pada kepulauan di busur luar Nusa Tenggara Timur, yakni di Pulau Sumba, Sawu, Raijua, Ndao, Rote, Semau dan Timor, terdapat banyak pohon lontar. Akan tetapi budidaya lontar secara intensif hanya dilakukan oleh penduduk Sawu dan Rote. Bagi masyarakat Sawu, pohon lontar merupakan sesuatu yang sangat berarti, karena selain dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok dalam kehidupannya, dapat pula dimanfaatkan untuk bahan kerajinan, bahan-bahan bangunan maupun untuk kelengkapan dalam upacara-upacara adat. Keadaan ini sangat berbeda dengan kondisi penduduk yang tinggal di pulau-pulau sekitarnya, seperti di Pulau Sumba maupun Pulau Timor. Penduduk dari kedua pulau tersebut hidup dengan mata pencaharian pokok dari perladangan. Perladangan yang dilakukan terutama adalah menanam jenis tanaman yang menghasilkan bahan pangan, seperti jagung, ubi kayu, canthel ataupun yang lainnya. Hal ini menjadi menarik guna melihat lebih jauh produk – produk olahan dari tanaman ini yang diharapkan dapat merubah cara pandang atau paradigm berpikir masyarakat tentang tanaman yang terkadang dianggap sebagai pengganggu.

1.2. Perumusan Masalah
Mendeskripsikan proses produksi dan keunggulan darai salah satu produk olahan nira lontar yaitu gula lempeng.

1.3. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui proses produksi gula lempeng serta keunggulan komparatif yang dimilikinya ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah guna melengkapi salah satu syarat perkuliahan Teknik Budidaya Tanaman Tahunan.

1.4. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data dari buku dan beberapa sumber dari internet serta observasi ke lokasi produksi pembuatan Gula Lempeng di kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima – Kota Kupang.


II. BIOLOGI TANAMAN LONTAR

2.1. Biologi Tanaman Lontar
2.1.1 Klasifikasi ilmiah:
Kerajaan : Plantae;
Divisi : Angiospermae;
Kelas : Monocotyledoneae;
Ordo : Arecales;
Famili : Arecaceae (sinonim: Palmae);
Genus : Borassus.
Spesies : Borassus sundaicus Beck
Pohon Lontar merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm.
Buah Lontar (Lontar) bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.




2.2 Pemanfaatan Lontar
Daun Lontar (Borassus sundaicus Beck) digunakan sebagai media penulisan naskah lontar dan bahan kerajinan seperti kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk pakaian dan sasando, alat musik tradisional di Timor.
Tangkai dan pelepah pohon Lontar (Lontar atau Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari pelepah Lontar cukup banyak digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau membuat songkok, semacam tutup kepala setempat.
Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan. Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira lontar (legen). Nira ini dapat diminum langsung sebagai legen (nira) juga dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol.







III. Produk Olahan Nira Lontar , Gula Lempeng

Gula lempeng (sejenis gula merah) merupakan produk olahan dari nira lontar yang paling akrab bagi masyarakat kota Kupang, kususnya etnis Sawu dan Rote. Menurut pengalaman dan kearifan lokal yang masih dianut oleh para penyadap nira, bulan Juni-Juli adalah bulan-bulan di mana lontar paceklik dari nira. Airnya kering. Kemudian mulai Agustus hingga November adalah saatnya masyarakat Rote banyak membuat gula lempeng dan gula cair dari pohon lontar, karena airnya sedang banyak-banyaknya. Desember hingga Maret, dengan asumsi standar bahwa itu sedang musim penghujan, pohon-pohon lontar biasanya tidak menghasilkan air sama sekali.
Biasanya para pria bertugas memanjat pohon, mengambil nira, dan menurunkannya ke bawah dengan wadah dari daun lontar, sedangkan wanita yang umumnya kalangan ibu – ibu rumah tangga bertugas merebus, mencetak, mendinginkan, kemudian menjual gula-gula lempeng yang dihasilkan. Ia biasanya menjual kepada pengumpul dengan harga 100 rupiah per lempeng. Dalam sehari mereka rata – rata dapat membuat minimal 150 lempengan gula.

Proses pembuatan Gula Lempeng Para pria biasanya bertugas menjadi pemanjat, dibutuhkan keterampilan khusus dalam memanjat batang tanaman lontar. Untuk memudahkan, biasanya pada lingkaran batang dibuat beberapa irisan yang diagonal pada sisi yang saling membelakangi, irisan ini akan berfungsi sebagai injakan atau tempat pijakan. Pemanjat juga mengguanakan tali yang diikatkan pada pinggang agar membantu menopang tubuh, karena ketinggian pohon lontar bias mencapai 20 – 30 m. mereka akan terus memanjat sampai ke pucuk, sambil menenteng Haik, semacam wadah penampung hasil kerajinan tangan dari daun tanaman lontar
Penyadap harus memilih pohon lontar dengan ciri-ciri tertentu sebelum melakukan penyadapan. Untuk pohon jantan dipilih yang mayangnya sudah berkembang sepenuhnya, semua tunas-tunasnya yang bercabang sudah tumbuh dan bunga-bunga kecil mulai
3.1.

tumbuh satu per satu. Sedangkan untuk pohon betina dipilih yang mayangnya belum tumbuh buah. Diperlukan banyak tenaga untuk menghancurkan dan meremas mayang betina. Oleh karena itu mereka cenderung menyadap lontar jantan, meskipun dikatakan bahwa lontar betina menghasilkan lebih banyak nira.
Setelah itu akan disaduh guna memisahkan air sadapan dengan kotoran – kotoran, sehingga air sadapan yang bersih yang akan diolah selanjutnya. Air sadapan nira lontar awalnya berwarna putih, bias langsung dikonsumsi sebagai minuman tradisional, di Kota Kupang banyak yang menjajahkan Tuak begitu nama minuman ini.
Wanita atau ibu rumah tangga bertugas mendidihkan air nira dari pohon lontar. Awalnya berwarna putih, ketika mengental akan berwarna cokelat. Hal yang unik ketika memasak nira hasil sadapan, menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat, namun tungku ini sangatlah kokoh dapat menampun 2-3 priuk sekali memasak. Juga terbilang cukup efisien dalam pembagian panas karena terdapat rongga sehingga bahan bakar yang masih berupa kayu bakar dapat dipergunakan dengan efisien dalam jumlah batannya tapi hasil pembakaran tetaplah efektif.
Setelah dirasa cukup kental, kemudian dimasukkan kedalam cetakan, cetakkan yang digunakan terbuat dari anyaman daun lontar yang berbentuk seperti gelang, agar mudah dalam mencetak biasanya digunakan sendok sebagai penuang. Tikar hasil anyaman dari daun lontar pun yang biasa digunakan untuk menjadi alas sehingga pada bagian bawah produk gulan lempeng biasa ada cetakan motif seperti yang terdapat pada tikar.
Setelah kering dan mengeras, maka gula lempeng siap untuk dipasarkan. Berdasarkan pantauan, harga gula lempeng berkisar Rp. 500,- /buah.


IV. KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Gula lempeng merupakan salah satu produk olahan nira hasil sadapan lontar, yang menjadi unggulan kususnya untuk produk makanan. Proses pembuatannyanya pun cukup unik; dimulai dari waktu menyadap, memasak dengan tungku yang khas, hingga mencetak dalam cetakkan kusus. Hamper semua proses masih erat kaitannya dengan produk olahan lontar lainnya yang berbentuk kerajinan tangan seperti wadah hasil anyaman lontar atau Haik untuk menampung sadapan lontar, hingga cetakkan yang terbuat dari anyaman irisan daun lontar yang dibentuk menyerupai gelang. Hal ini menunjukkan bahwa, lontar mempunyai potensi yang sangat luas untuk lebih dikembangkan lagi.

4.2. Saran
Perlu lagi meningkatkan para petani atau penyadap nira lontar untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memasak dan memasarkan produk olahan seperti gula lempeng, karena produk ini sudah umum dan banyak diproduksi. Pengemasan merupakan salah satu bentuk peningkatan nilai tambah, kemasan modern yang menarik tanpa menghilangkan keaslian produk dan keunggulan komparatif seperti cara produksi akan meningkatkan nilai jual gula lempeng. Bila produk ini bisa dipasarkan di Toko – Toko kue atau Bakkery dan sentra penjualan souvenir maka produk ini akan semakin diingat sebagai salah satu penganan khas Nusa Tenggara Timur.




DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Terjemahan S. Supomo. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Jayusman. 2010. Perkembangan Budidaya Lontar Di Pulau Sawu Nusa Tenggara Timur. Semarang. Universitas Negeri Semarang
wikipedia; zipcodezoo.com. diunggah pada 16 Mei 2011, pukul 21.00 WITA

Rabu, 18 Mei 2011

APLIKASI TEKNOLOGI TEPAT GUNA BIDANG PERTANIAN TERHADAP PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

APLIKASI TEKNOLOGI TEPAT GUNA BIDANG PERTANIAN TERHADAP PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR FARMING APPROPRIATE TECHNOLOGY APPLIED FRONT INCREASSING THE USEFULL VALUE OF AGRICULTURE PRODUCT AT EAST NUSA TENGGARA PROVINCE Umbu Joka Abstrak Penggunaan teknologi sudah seharusnya guna meringankan kehidupan manusia. Salah satunya dapat diterapkan dalam usahatani, terkususnya pada sector on – farm dan pengolahan. Kelebihan produk pada saat panen yang tidak terserap oleh pasar dapat disiasati dengan beberapa pendekatan salah satunya ialah dengan aplikasi dari salah satu bentuk teknologi tepat guna seperti mesin – mesin agroindustri. Selain guna mengubah bentuk demi meningkatkan nilai tambah dari produk pertanian, penggunaan teknologi tepat guna dalam kegiatan budidaya juga akan sangat menentukan, seperti penggunaan bibit unggul dan pupuk, teristimewa pupuk organik yang ramah lingkungan. Sejalan dengan program pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam tajuk “Anggur Merah” yang bertujuan menjadikan NTT Propinsi Jagung, Koperasi, dan Lumbung Ternak, maka model penyuluhan seperti pendampingan perlu ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih sederhana dan menguntungkan seperti kemitraan. Seperti koperasi dan penyuluh dapat menjadi “agent of change” bagi masyarakat di sekitarnya dalam proses adopsi terhadap inovasi – inovasi di bidang pertanian. Hal ini akan sejalan dengan proses pendidikan kepada petani agar menjadi petani modern yang berorientasi kepada pasar. Melalui tulisan inipun ingin direkomendasikan kepada para stakeholder dalam bidang Pertanian tentang manfaat yang dapat diperoleh lewat aplikasi Teknologi Tepat Guna bagi pembangunan pertanian di Indonesia secara umum dan Propinsi Nusa Tenggara Timur kususnya. Kata – kata kunci : teknologi tepat guna, pembangunan pertanian,orientasi pasar, Anggur Merah Abstract Technology function is has helping human’s life. In which, one for applied in forming system is specially on farm sector and processing. The over stuck at harvest sector, which market can’t receive has been with strategy with some apporoach, wich one is with applied the appropriate technology. Either change the form/ shape or increasing the use value from agriculture product, appropriate technology at farming engginering is ascertain too. For example the superior beens and fertilizer, especially organic fertilizer wich nature kind. Based the East Nusa Tenggara Government policy program titled “ Anggur Merah”, in which the aim is NTT the province of corn, cooperation, and cattle ranch, so the great model of illumination like accompanion need to transform as simple benefit form called partnership. The cooperation and illumination can be agent of change for farmer’s in adopted procces cattle inovation’s on farming. That statement will support with education to farmers citizen for be modern farmer with market oriented. From this paper, want to recomendate to all stakeholder’s on farming system about the benefit of applied the appropriate technology for farming development in Indonesia, especially at East Nusa Tenggara Province. Key word’s : appropriate technology, farming development , market oriented, Anggur Merah PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang perubahan- perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi / keyakinan. Hal inipun berlaku kepada masyarakat tani, yang umumnya berdomisili di daerah pedesaan. Pembangunan nasional yang sementara kita galakkan ini terkadang hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi yang berakibat pada upaya peningkatan kapasitas usaha, hanya dalam beberapa hal kita sering kecolongan dalam upaya penyetaraan dampak dari pembagunan nasional, kesenjangan cukup nampak antara perkembangan masyarakat urban atau perkotaan dengan masyarakat pedesaan, padahal menurut kenyataan penduduk kota boleh dikatakan bergantung penuh pada usaha – usahatani penduduk pedesaan guna mencukupi kebutuhan hidup, terutama menyangkut ketersediaan pangan. Ketika saatnya panen tiba, para petani menyambutnya dengan rasa suka cita. Apalagi kalau tanaman pertanian yang mereka tanam memberikan hasil yang tinggi dengan kualitas yang memuaskan. Namun kegembiraan para petani itu seringkali dibayangi kesedihan dan kekecewaan, karena biasanya pada saat musim panen raya harga berbagai produk pertanian merosot tajam. Penyebabnya tidak lain adalah mekanisme pasar khususnya menyangkut kekuatan pasokan (supply) dan permintaan (demand). Pada saat musim panen raya pasokan produk pertanian sudah pasti mengalami kenaikan sedangkan permintaannya relatif tetap. Kondisi tersebut seringkali mengakibatkan petani tidak berdaya dan hanya pasrah terhadap mekanisme pasar yang terjadi. Petani tidak memiliki pilihan lain kecuali menjual hasil panennya walaupun dengan harga yang sangat murah. Padahal untuk menghasilkan panen yang baik itu diperlukan biaya produksi yang tidak sedikit dengan kecenderungan yang terus meningkat. Kejadian tersebut selalu berulang setiap musim panen tiba dan petani selalu tidak berdaya menghadapi mekanisme pasar yang terjadi. Hal ini, akan semakin parah karena banyak petani di Nusa Tenggara Timur seakan “terlena“ dengan sistem warisan sakit hati yang bernama “ijon”. Akibatnya, usaha tani yang digelutinya pun tidak lagi mendatangkan keuntungan, malah sebaliknya sering menimbulkan kerugian. Kondisi yang terus-menerus berlangsung setiap musim panen itu telah mendorong para petani jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang permanen. Modernisasi tidak hanya milik masyarakat yang bermukim di daerah perkotaan saja, sekarang ini sentuhan – sentuhan modernisasi telah menjalar ke berbagai pelosok daerah, hal ini dimungkinkan dengan adanya sarana dan prasarana dibidang telekomunikasi yang amat memudahkan kehidupan manusia. Begitupun dengan masyarakat pertanian, yang umumnya identik dengan daerah pedesaan tidak luput dari euphoria akan modernisasi, masyarakat pertanian yang dulunya dianggap terbelakang dalam penyerapan dan penguasaan akan teknologi dalam berbagai bentuk kini mau tidak mau sangat membuthkan sentuhan teknologi dalam aktivitas pertanian. Jika dulunya masyarakat pertanian cenderung ‘kolot’ akan hal – hal yang bersifat inovatif, lain halnya dengan sekarang ketergantungan akan hal- hal yang berhubungan dengan teknologi seakan menjadi bagian hidup mereka. Sebagai contoh, untuk membeli bibit saja mereka rela dating jauh – jauh dari tempat tinggal ke toko – toko atau pusat penjualan sarana produksi (input) pertanian seperti bibit, benih, dan input lainnya seperti pupuk dan pestisida. Hal ini mengindikasikan masyarakat pertanian telah sepenuhnya dapat menerima sentuhan teknologi dalam kehidupan mereka. Hal seperti di atas, sebenarnya telah lama dibaca oleh pemerintah. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan hadirnya Badan Litbang Pertanian sebagai lembaga yang melakukan penelitian untuk pengembangan telah banyak menghasilkan inovasi pertanian, dan beberapa di antaranya telah digunakan secara luas dan terbukti menjadi tenaga pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan agribisnis berbagai komoditas pertanian. Salah satu contoh yang tergolong fenomenal ialah Revolusi Hijau pada agribisnis padi dan jagung, hasil dari penemuan varietas unggul dengan berbagai komponen teknologi penunjangnya. Dukungan teknologi perbenihan unggul juga telah mampu mendorong perkembangan agribisnis dan beberapa komoditi unggulan lainnya antara lain mendorong agribisnis perkebunan kelapa sawit dengan sangat pesat. Namun demikian, evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Masalah (bottle neck) utamanya adalah pada segmen rantai pasok terutama pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diperlukan suatu “jembatan penghubung” antara Badan Litbang Pertanian sebagai pemasok teknologi (generating system) dengan pengguna, agar inovasi pertanian spesifik lokasi yang telah dihasilkan dapat segera diterapkan dengan cepat dan tepat. Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian) yang berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung ke pengguna, antara Badan Litbang Pertanian (generating system) dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) dan secara langsung merupakan wahana pengkajian partisipatif. Prima Tani adalah model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian Beberapa hal diatas menjadi indikasi bahwa pertanian di Indonesia meskipun secara perlahan – lahan telah berhasil melangkah ke arah sistem usahatani semi modern yang mengupayakan posisi petani sebagi seorang manjer tani yang sesungguhnya dan orientasinya adalah pasar demi kepentingan komersil tentunya. Hal ini menjadi menarik karena akan sangat berkaitan erat dengan kemampuan adopsi dari seorang petani terhadap adopsi beberapa bentuk teknologi tepat guna yang cukup efektif dan efisien guna meningkatkan keunggulan kompetitif usaha tani di NTT. Permasalahan Bagaimana dampak pengaplikasian teknologi – teknologi sederhana yang tepat guna dalam peningkatan kualitas pertanian terutama peningkatan nilai guna produk pertanian di Provinsi Nusa Tengara Timur. Tujuan Dan Kegunaan Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui Pengaruh penggunaan teknologi tepat guna terhadap peningkatan nilai guna produk pertanian ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah guna melengkapi salah satu syarat dalam mengikuti Seminar Sabtu Mahasiswa Pertanian Universitas Nusa Cendanana (SESMAWA PERTANDA). Metode Dalam penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data dari buku, jurnal peneltian dan beberapa sumber dari internet. TINJAUAN PUSTAKA Rujukan penelitian terdahulu Slamet (2005) dalam penelitian mereka yang bertujuan : 1) Mengetahui besarnya nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu, pisang dan sabut kelapa. 2) Menganalisis dampak pengolahan terhadap imbalan jasa yang diperoleh masing-masing faktor produksi yang digunakan Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa; 1) Berdasarkan angka konversi bahan baku dan tenaga kerja yang diperlukan, produksi yang diperoleh per hari orang kerja untuk keripik singkong adalah 15 kg/HOK, sekitar 2 kg/HOK untuk keripik pisang dan 34 kg/HOK untuk pengolahan cocofibre. (2). Nilai tambah terbesar adalah pada pengolahan cocofibre sebesar 77,20 persen dari nilai produknya, diikuiti oleh keripik pisang, kemudian keripik singkong. (3). Bagian yang diterima komponen-komponen faktor produksi dari marjin yang diperoleh dalam pengolahan keripik singkong relatif lebih merata dari pada pengolahan keripik singkong dan cocofibre. (4). Bagian terbesar yang diterima faktor produksi dalam pengolahan keripik singkong adalah diterima oleh input lain. Dalam pengolahan keri[pik pisang, yang terbesar diterima oleh tenaga kerja, Sedangkan untuk pengolahan cocofibre, bagian faktor terbesar diterima sebagai keuntungan pengusaha pengolah. (5). Nampaknya pada pengolahan keripik pisang, untuk setiap kilogram bahan baku menyerap tenaga yang relatif besar dari pada kedua jenis pengolahan lainnya. Disamping itu pengolahan keripik pisang menunjukan, bahwa komponenkomponen faktor produksi menerima bagian marjin yang relatif lebih merata. Angkasa dkk (2003) dalam sebuah kajian yang dimuat pada Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. V, hal. 140 - 155 /HUMAS-BPPT/ANY, mengemukakan bahwa tidak berlebihan apabila proses keputusan mendifusikan TTG bagi masyarakat mendapat ruang kajian yang khusus, sehingga dapat dihindari kemubaziran bantuan teknologi tersebut. Didalam menentukan keberhasilan mekanisme difusi yang dipakai dan untuk mengetahui kecepatan difusi atau adopsi inovasi TTG pertanian dalam masyarakat dilakukan dengan mengukur dua aspek, yaitu tingkat penerapan dan waktu yang diperlukan dalam mengadopsi TTG tersebut. Kesimpulan yang didapat dari kajian ini adalah bahwa didalam menerapkan dan mengembangkan serta menyebarluaskan teknologi tepat guna, maka wajib sebelumnya dilakukan studi kelayakan untuk menilai aspek spek kelayakan teknis, aspek kelayakan ekonomis, aspek kelayakan sosial budaya dan lingkungan dan standardisasi teknologinya. Dari hasil pengkajian mekanisme difusi teknologi tepat guna pertanian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Keberhasilan kegiatan penelitian dan pengkajian (litkaji) pertanian ditentukan oleh tingkat pemanfaatan hasilnya oleh pengguna sasaran. 2. Difusi hasil-hasil litkaji kepada petani-nelayan, pihak swasta dan pengguna lain perlu dilakukan melalui media yang tepat dan terus menerus. 3. Dalam menerapkan dan mengembangkan serta menyebarluaskan teknologi wajib dilakukan studi kelayakan untuk menilai aspek : aspek kelayakan teknis, aspek kelayakan ekonomis, aspek kelayakan sosial budaya dan lingkungan 4. Didalam penerapan TTG kepada masyarakat baik yang melalui mediator ataupun langsung dari penghasil TTG sekitar 40 % mengalami kegagalan atau mubazir dan hanya 60 persen yang berhasil. Selebihnya 10 % dari TTG yang diterapkan kepada masyarakat mengalami kegagalan/mubazir dan 90 % berhasil dan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan pengguna. Pengertian Teknologi Tepat Guna Teknologi adalah pengetahuan yang digunakan untuk membuat barang, menyediakan jasa serta meningkatkan cara dalam menangani sumber daya yang penting dan terbatas. Pengertian lain tentang teknologi adalah upaya manusia untuk membuat kehidupan lebih sejahtera, lebih baik, lebih enak dan lebih mudah. Teknologi dikembangkan untuk membuat hidup lebih baik, efisien dan mudah. Istilah teknologi tepat guna mulai muncul menyusul krisis minyak 1973 dan pergerakan lingkungan pada dasawarsa 1970-an. Istilah ini biasanya digunakan di dalam dua wilayah: memanfaatkan teknologi paling efektif untuk menjawab kebutuhan daerah pengembangan, dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan dan ramah sosial di negara maju (Wikipedia) . Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif minimalis dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan.[1] Istilah ini biasanya diterapkan untuk menjelaskan teknologi sederhana yang dianggap cocok bagi negara-negara berkembang atau kawasan perdesaan yang kurang berkembang di negara-negara industri maju.[1] Bentuk dari "teknologi tepat guna" ini biasanya lebih bercirikan solusi "padat karya" daripada "padat modal". Kendati perangkat hemat pekerja juga digunakan, ia bukan berarti berbiaya tinggi atau mahal ongkos perawatan. Pada pelaksanaannya, teknologi tepat guna seringkali dijelaskan sebagai penggunaan teknologi paling sederhana yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif di suatu tempat tertentu. Di negara maju, istilah teknologi tepat guna memiliki arti yang berlainan, seringkali merujuk pada teknik atau rekayasa yang berpandangan istimewa terhadap ranting-ranting sosial dan lingkungan.[2] TTG merupakan alih bahasa secara cukup longgar dari “appropriate technology”, suatu pengertian yang mempunyai makna tertentu, pada dasarnya, dilihat dari aspek teknis. Perujudan TTG banyak ditemukan dalam bentuk teknologi tradisional yang dipraktekkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat tersebut, kecil sekali peluang memiliki kesempatan memakai teknologi maju dan efisien, yang merupakan pola teknologi dari masyarakat maju/industri. Secara teknis TTG merupakan jembatan antara teknologi tradisional dan teknologi maju. Oleh karena itu aspek-aspek sosio-kultural dan ekonomi juga merupakan dimensi yang harus diperhitungkan dalam mengelola TTG. (Wikipedia) Teknologi yang dikembangkan dari beragam teknologi satu diantaranya adalah Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu suatu teknologi yang memenuhi, persyaratan: teknis, ekomomi dan sosial budaya. 1. Teknis, yaitu memperhatikan dan menjaga tata kelestarian lingkungan hidup, penggunaan secara maksimal bahan baku lokal, menjamin mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas) produksi, secara teknis efektif dan efisien, mudah perawatan dan operasi, serta relatif aman dan mudah menyesuaikan terhadap perubahan. 2. Ekonomis, yaitu efektif menggunakan modal, keuntungan kembali kepada produsen, jenis usaha kooperatif yang mendorong timbul industri lokal. 3. Sosial budaya, memanfaatkan keterampilan yang sudah ada, menjamin perluasan lapangan kerja, menekan pergeseran tenaga kerja, menghidari konflik sosial budaya dan meningkatkan pendapatan yang merata. Ciri – Ciri Teknologi Tepat Guna Sebagaimana telah dikemukakan pengertian dan persyaratan Teknologi Tepat Guna (TTG) dapat dikemukakan ciri-ciri yang cukup menggambarkan TTG (walaupun tidak berarti sebagai batasan) adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan teknologi tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung pertanian, industri, pengubah energi, transportasi, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan, 2. Biaya investasi cukup rendah/relatif murah, 3. Teknis cukup sederhana dan mampu untuk dipelihara dan didukung oleh keterampilan setempat, 4. Masyarakat mengenal dan mampu mengatasi lingkungannya 5. Cara pendayagunaan sumber-sumber setempat termasuk sumber alam/energi/bahan secara lebih baik/optimal 6. Alat mandiri masyarakat dan mengurangi ketergantungan kepada “pihak luar” (self-realiance motivated). Nilai tambah Nilai tambah diartikan sebagai 1) besarnya output suatu usaha setelah dikurangi pengeluaran/biaya antaranya; 2) Jumlah nilai akhir dari suatu produk yang bertambah pada setiap tahapan produksi; 3) nilai output dikurangi dengan nilai input bahan baku yang dibeli dan nilai depresiasi yang disisihkan oleh perusahaan. Sebagai contoh, nilai tambah dari produk roti adalah nilai dari produk roti tersebut (nilai output) dikurangi dengan nilai dari tepung dan input lain yang dibeli dari perusahaan lain (nilai input) (Kamus Istilah, kementrian koperasi dan usaha kecil menengah 2000-2006). Nilai tambah merupakan selisih nilai penjualan dikurangi harga bahan baku dan pengeluaranpengeluaran lain yang bersifat internal. Secara ekonomis, peningkatan nilai tambah suatu barang dapat dilakukan melalui perubahan bentuk (form utility), perubahan tempat (place utility), perubahan waktu (time utility), dan perubahan kepemilikan (potition utility). 1. Melalui perubahan bentuk (form utility) suatu produk akan mempunyai nilai tambah ketika barang tersebut mengalami perubahan bentuk. Misal biji jagung berubah menjadi bentuk makanan ringan keripik jagung. 2. Melalui perubahan tempat (place utility ) suatu barang akan memperoleh nilai tambah apabila barang tersebut mengalami perpindahan tempat. Misalnya jagung ketika berada di desa hanya dimanfaatkan sebagai makanan yang dikonsumsi sebagai jagung rebus saja, tetapi ketika jagung tersebut dibawa ke industri tepung (kota) akan dijadikan tepung. 3. Melalui perubahan waktu (time utility ) suatu barang akan memperoleh nilai tambah ketika dipergunakan pada waktu yang berbeda. 4. Melalui perubahan kepemilikan (potition utility ); barang akan memperoleh nilai tambah ketika kepemilikan akan barang tersebut perpindah dari satu pihak ke pihak yang lainnya. Misalnya ketika jagung berada pada tangan petani maka jagung tersebut hanya dijual dalam bentuk jagung pipilan, tetapi ketika jagung tersebut berada ditangan konsumen maka akan dimanfaatkan sebagai konsumsi. Menurut Coltrain, Barton and Boland (2000) terdapat dua jenis nilai tambah, yaitu inovasi dan koordinasi. Kegiatan dari inovasi merupakan aktivitas yang memperbaiki proses yang ada, prosedur, produk dan pelayanan atau menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan atau memodifikasi konfigurasi organisasi yang telah ada. Sedangkan pengertian dari koordinasi merupakan harmonisasi fungsi dalam keseluruhan bagian sistem. Hal tersebut merupakan peluang dalam meningkatkan koordinasi produk, pelayanan informasi dalam proses produksi pertanian untuk menciptakan imbalan yang nyata dan meningkatkan nilai produk dalam setiap tahap proses produksi pertanian. Sebab jika dalam koordinasi produk terjadi kesenjangan koordinasi maka Chopra and Meindl (2003) menyatakan bahwa hal tersebut akan menimbulkan ”bullwhip effect” atau fluktuasi dalam pesanan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan biaya. Tipe nilai tambah koordinasi difokuskan pada hubungan vertikal dan horisontal diantara produsen, pengolahan, perantara, distributor dan pengecer. Tabel 1. Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Variabel Nilai I. output, Input dan Harga 1. Output (kg) (1) 2. Input (kg) (2) Tenaga Kerja (kg) (3) 4. Faktor Konversi (4) = (1) / (2) 5. Koefesien tenaga kerja (Hok/kg) (5) = (3) / (2) 6. Harga output (6) 7. Upah tenaga kerja (rp/Hok) (7) II. Penerimaan dan Keuntungan 8. Harga bahan baku (Rp/Kg) (8) 9. Sumbangan input lain (Rp/Kg) (9) 10. Nilai Output ((Rp/Kg) (10) = (4)x(6) 11. a. nilai tambah (Rp/Kg) (11a) = (10)-(9)-(8) b. Rasio nilai tambah (%) (11b) = (11a/10) x 100 12. a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) (12a) = (5) x (7) b. pangsa tenaga kerja (%) (12b) = (12a/11a) x 100 13. a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = 11a – 12a b. Tingkat keuntungan (%) (13b) = (13a/11a) x 100 III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 14. Marjin (Rp/Kg) a. Pendapatan tenaga kerja b. Sumbangan input lain c. Keuntungan pengusaha (14) = (10) – (8) (14a) = (12a/14) x 100 (14b) = (9/14) x 100 (14c) = (13a/14) x 100 Sumber : Hayami et al, 1987dalam Slamet (2005) PEMBAHASAN Pembangunan yang telah dilakukan di setiap desa-desa yang ada di wilayah Indonesia, utamanya pada masyarakat petani saat ini. Bentuk penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani merupakan implementasi dari pembangunan yang dilakukan di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani telah menciptakan cara dan sikap masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian. Secara tegas dikatakan bahwa teknologi tepat guna dalam pertanian yang diperkenalkan di pedesaan lebih banyak mengandalkan masukan modern dan membatasi tenaga kerja. Hanya saja pada masa selanjutnya, hal ini berbanding berbalik, yakni penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian semakin menambah kesempatan kerja, utamanya bagi kaum buruh tani. Bentuk lain dari hasil analisa mengenai cara dan sikap masyarakat petani ini adalah bahwa teknologi meningkatkan alternatif kita, penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai ke dalam alam kemungkinan dan dapat mengubah kekuasaan relatif atau memudahkan menyadari nilai-nilai berbeda. Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian saat ini telah mampu membentuk alternatif-alternatif baru bagi masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian, serta menjadikan masyarakat petani untuk dapat selalu mengkondisikan alam, contoh terkadang terjadi pemborosan dalam pemberian pupuk NPK guna mendapat unsure hara P atau Fosfor, terkadang petani mengira cukup sekali saja, padahal untuk golongan tanah kapur di pulau Timor yang cenderung bersifat Alkalis (tidak begitu asam tapi tidak sampai basa) begitu P diberikan akan diikat oleh K (kalium) sehingga memang terkadang petani hanya memberi tapi itu merupakan unsur hara potensial yang tidak tersedia bagi tanaman. Belum lagi bila kita menilik kepada usaha dibidang pertanian yang perlahan – lahan mulai berubah paradigmanya, bila dulu pertanian organik (pertanian tanpa sentuhan rekayasa kimiawi seperti pupuk dan pestisida) belum menjadi idola karena tergolong mahal dan tidak efisien, maka beberapa waktu belakangan ini seiring dengan perkembangan pengetahuan jika petani tidak cepat merespon keinginan pasar yang tidak hanya mementingkan sisi kuantitas dan harga saja melainkan faktor kesehatan. Penggunaan pestisida akan meninggalkan emisi dan juga residu – residu kimiawi yang dapat mengganggu kesehatan manusia bila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, bila petani bisa menangkap peluang ini maka isu – isu sentral mengenai kesehatan dapat mempunyai nilai jual tersendiri yang membantu meningkatkan daya tawar petani terhadap pasar, sehingga petani dapat meningkatkan pendapatannya, hal – hal seperti ini hanya contoh - contoh yang merupakan satu bagian kecil saja dari banyak kesalahan – kesalahan dalam bertani yang kurang mendapat perhatian tapi menjadi faktor penentu rendahnya produktifitas usahatani petani kita. Berikut ini beberapa contoh kasus di beberpa daerah yang mengaplikasikan penggunaan teknologi tepat guna dalam peningkatan nilai guna produk pertanian Kasus Kopi di Bali Kopi arabika merupakan satu dari tujuh komoditas unggulan Provinsi Bali. Daerah sentra kopi arabika berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Untuk membangun subsektor perkebunan, termasuk kopi arabika, pemerintah memperkenalkan konsep “Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan” (Kimbun). Kini telah ada empat Kimbun di Bali, salah satunya Kimbun kopi arabika. Kimbun ini dirintis melalui agroindustri skala kelompok. Sebagian besar kopi arabika di Bali diusahakan oleh perkebunan rakyat. Kualitas kopi tergolong rendah karena umumnya petani memetik buah secara asalan dan mengolahnya secara kering. Dinas Perkebunan setempat bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (PPKK) terus membina dan menyosialisasikan petik merah dan pengolahan secara basah. Melalui upaya ini, mutu kopi arabika makin baik. Mutu kopi harus terus ditingkatkan mengingat makin ketatnya persaingan pasar. Agroindustri kopi arabika bertujuan meningkatkan nilai tambah produk sehingga petani memperoleh harga jual kopi lebih tinggi. Kegiatan yang tercakup meliputi penyediaan bahan baku, pengolahan, penyediaan produk akhir, dan pemasaran. Setiap mata rantai tersebut saling terkait dan mempengaruhi. Agroindustri melibatkan petani, pedagang, subak pengolah, koperasi, eksportir, mediator (Dinas Perkebunan dan PPKK), dan lembaga permodalan. Dengan menerapkan inovasi petik merah, harga kopi meningkat 30% dibanding kopi petik asalan. Pengolahan basah memberikan nilai tambah Rp10.000/kg, dan pengolahan kopi bubuk dari kopi ose memberikan nilai tambah Rp15.000/ kg. Nilai tambah yang tidak dapat dihitung adalah meningkatnya kesempatan kerja, pengetahuan dan keterampilan SDM, akses informasi harga, dan aset subak, terutama peralatan untuk mengolah kopi. Kasus Pisang di Jawa Timur Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi pisang di Indonesia. Kabupaten Lumajang populer sebagai sentra produksi pisang agung. Untuk meningkatkan nilai tambah, pemerintah mengembangkan agroindustri keripik pisang. Pengembangan industri dilakukan secara terpadu dan berorientasi pada upaya peningkatan nilai tambah dan pemerataan pendapatan. Meskipun industri pengolahan keripik pisang telah berkembang, petani masih menanam pisang sebagai tanaman sampingan di pekarangan atau ditanam campur dengan kopi, palawija atau hortikultura. Teknologi yang diterapkan masih sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Petani belum mengatur jadwal tanam atau panen sehingga pasokan dan harga belum stabil. Agroindustri keripik pisang umumnya berskala kecil atau rumah tangga, dengan pengelolaan usaha dari mengolah bahan baku hingga pemasaran. Belum ada usaha yang berspesialisasi pada salah satu kegiatan, misalnya bahan baku saja, bahan setengah jadi saja, pengolahan lanjutan dan pengemasan atau pemasaran. Hal ini menyulitkan dalam mengembangkan industry dengan sistem kluster dan menghambat pemerataan perolehan nilai tambah. Agroindustri keripik pisang di Lumajang memberikan nilai tambah relatif kecil, hanya Rp6.684/kg keripik. Ini pun terpusat pada industry besar. Spesialisasi industri rumah tangga sebagai pengolah keripik setengah jadi dan finalisasi oleh industry besar akan membagi keuntungan lebih proporsional dan usaha skala besar menjadi lebih optimal. Nilai tambah yang tidak dapat dihitung adalah meningkatnya pengetahuan, keterampilan, pasar, serta aspek sosial ekonomi. Pada jejaring usaha belum terbentuk kemitraan yang formal, tetapi lebih berdasarkan kepercayaan. Kasus Ubi Kayu di Lampung Lampung merupakan salah satu sentra produksi ubi kayu di Indonesia. Industri tapioka skala besar telah berkembang dan cenderung bersifat oligopsoni. Produktivitas ubi kayu belum optimal, karena peningkatan produksi lebih disebabkan oleh perluasan areal tanam. Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah memberikan bantuan modal kepada petani. Pemerintah juga mengembangkan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) pada akhir 1990-an untuk mengurangi dominasi perusahaan besar dalam menentukan harga beli ke petani. Dalam program ITTARA, pengelolaan diserahkan ke kelompok tani. Produk ITTARA mempunyai pangsa pasar tersendiri dan kualitasnya lebih baik. Namun, program ITTARA dengan memberikan unit pengolahan ke kelompok tani kurang berhasil. Yang masih banyak bertahan adalah ITTARA swadaya. ITTARA memberikan nilai tambah kuantitatif Rp733-Rp928/kg tapioka. Nilai tambah lainnya berupa meningkatnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah tepung tapioka, terbukanya peluang usaha industri makanan olahan berbahan baku tepung tapioka, meningkatnya akses terhadap informasi di luar desa, dan tumbuhnya ekonomi wilayah. Kasus Jagung di NTT, Gorontalo, dan Nasional Jagung mempunyai peran strategis perekonomian nasional, mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Dari seluruh kebutuhan jagung, 50% di antaranya digunakan untuk pakan. Dalam lima tahun terakhir, kebutuhan jagung untuk bahan baku industry pakan, makanan, dan minuman meningkat 10-15% per tahun. Dengan demikian, produksi jagung mempengaruhi kinerja industri peternakan. Dalam perekonomian nasional, jagung penyumbang terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Sumbangan jagung terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat setiap tahun, sekalipun pada saat krisis ekonomi. Pada tahun 2000, kontribusi jagung dalam perekonomian nasional mencapai Rp 9,4 trilyun dan pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp 18,2 trilyun. Kondisi demikian mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsector tanaman pangan dan perekonomian nasional secara umum. Perluasan areal tanam dan penggunaan benih hibrida dan komposit unggul telah meningkatkan produksi jagung dari 6,255 juta ton pada tahun 1991 menjadi 12,523 juta ton pada tahun 2005 (Departemen Pertanian 2005, 2007), namun belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga impor masih diperlukan. Produksi jagung nasional diproyeksikan tumbuh 4,63% per tahun, pada tahun 2009 mencapai 13,98 juta ton. Pada tahun 2015 produksi jagung diharapkan telah mencapai 17,93 juta ton (Departemen Pertanian 2005). Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih sangat terbuka baik melalui peningkatan produktivitas yang sekarang masih rendah (3,43 t/ha) maupun pemanfaatan potensi lahan yang masih luas utamanya di luar Jawa. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), iklimnya cenderung panas, curah hujan sedikit. Secara fisik daerah ini memiliki 566 pulau, tetapi hanya 43 pulau yang berpenghuni, dengan tiga pulau besar (pulau Timor, Sumba dan Flores). Sebagian besar penduduknya mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian. Secara administratif NTT terbagi menjadi 19 kabupaten dan 1 kota madya. Komoditi unggulan bidang perkebunan adalah: kopi, kelapa, kemiri, kakao, jambu mete, yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota. Komoditi unggulan bidang pertanian tanaman pangan adalah: padi (sawah, ladang), jagung, kacang kedelai, kacang hijau, ubi kayu/singkong, ubi jalar, memiliki tingkat produksi naik turun karena musim tanam yang tidak menentu, tergantung curah hujan, dan komoditi sektor ini terdapat pada semua kabupaten/kota di NTT. Hasil peternakan adalah sapi, kerbau dan kuda, hasil perikanan dan kelautan juga merupakan produk unggulan, bahkan industri pariwisata yang sangat menjanjikan belum dikelola secara profesional. Untuk upaya jagungnisasi yang sedang gencar digalakan pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur saat ini masih sedikit terlambat bila dibandingkan dengan provinsi Gorontalo. Saat ini, produksi jagung di Gorontalo mencapai 700 ribu ton. Pada 2012 ditargetkan menjadi satu juta ton. Produktivitas jagung juga mengalami peningkatan hingga mencapai 4 sampai 7 ton per hektare lahan yang diolah. Meski pertanian telah menjadi program unggulan daerah itu selama 10 tahun terakhir, namun pemprov masih konsisten untuk memilih sektor tersebut sebagai penopang utama perekonomian daerah. Pada tahun 2011, pertumbuhan produksi jagung Gorontalo mencapai 44,15 persen, sedangkan pertumbuhan produksi tingkat regional Sulawesi 3,49 persen dan nasional sebesar 1,40 persen. Di sisi lain, pertumbuhan produksi padi di Gorontalo mencapai 17,29 persen, sementara untuk tingkat regional 4,10 persen dan pertumbuhan nasional sebesar 1,40 persen. Untuk mendongkrak minat petani menanam jagung, pemerintah menerapkan konsep pertanian yang dibangun dari hilir, dimana pasar telah disiapkan terlebih dahulu. Jagung dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Hasil studi Mink et al. (1987) menunjukkan bahwa sekitar 79% areal pertanaman jagung terdapat di lahan kering, 11% terdapat di lahan sawah irigasi, dan 10% di Tabel 2. Perkembangan areal, produktivitas, dan produksi jagung di Indonesia, 1990-2005. Sumber : Departemen Pertanian (2007) Khusus untuk provinsi NTT, lahan sawah ketersediaan lahan Potensial : 262.407 Ha. Fungsional : 127.208 Ha (48,48 %) dengan rincian sekali tanam : 29.288 Ha, 2 kali tanam : 59.832 Ha, Tidak di tanami padi : 5.273 Ha, dan yang sementara Belum diusahakan : 32.815 Ha. Dan untuk lahan kering Potensi : 1.528,258 Ha dan Fungsional : 689,112 Ha (45,09 %). Berikut terdapat . Upaya pengembangan dan peningkatan produksi jagung di NTT tahun 2009-2013 bertujuan : Kecukupan Pangan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan sasaran : Peningkatan Produksi dari 699.193 ton pipilan kering (pk) Thn 2009 menjadi 846.693 ton (meningkat 21 %) pada tahun 2010, Penigkatan Pertahun >6% akhir tahun 2013 mencapai > 1 juta ton. Tabel 3. Sasaran Luas Tanam, Panen, Produksi 2009 - 2013 Tahun Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton PK) Tambahan Tiap Tahun Produksi (Ton PK) Presentase 2008 *) 285.780 271.561 24,89 676.044 - - 2009 301.029 272.904 25,62 699.193 23.135 3% 1010 318.450 297.994 28,41 846.693 147.500 21% 1011 323.710 299.848 29,83 894.511 47.818 6% 1012 332.200 300.982 31,73 955.149 60.638 7% 1013 338.700 305.486 33,53 1.024.314 69.165 7% Sumber : website pemprov NTT Gambar 1. Flow chart potensi pengembangan jagung di NTT Sumber : website pemprov NTT Penggunaan Teknologi Tepat Guna seperti mempersempit jarak tanam dalam satu satuan lahan tanam bias menjadi salah satu jalan keluar menaikan produktivitas selain dengan teknik – teknik klasik tumpang sari. Penggunaan Teknologi – Tekonologi Tepat Guna dirasa sangat memberi manfaat dan masih berpotensi untuk membantu masyarakat tani dalam meningkatkan produksi. Pernyataan ini memberi gambaran bahwa masyarakat tani sudah mulai menerima sentuhan modernisasi, ini merupakan salah satu bentuk dari perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial dalam hal ini pihak yang dimaksudkan ialah para petugas penyuluh pertanian lapang, yang bertugas memberikan rekomendasi bagi peningkatan produktivitas kerja masyarakat tani, salah satunya dengan penggunaan Teknologi Tepat Guna. Kita masih perlu menyorot kinerja dari para penyuluh kita, dari total pegawai yang bekerja di Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan, dan Peternakan; ada berapa yang berada bersama – sama dengan masyarakat selain bila ada proyek atau tugas kedinasan. Pendampingan yang selama ini perlu diubah paradigamanya dari sebuah bentuk pendampingan menjadi bentuk kemitraan, ini akan lebih selaras dengan program “ANGGUR MERAH” yang bercita – cita mewujudkan Nusa Tenggara Timur sebagai Propinsi Jagung, Lumbung Ternak, dan Koperasi, melalui Koperasi kemitraan ini seharusnya berjalan dengan baik karena Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang dekat dengan rakyat. Selain itu perlu disadari bahwa koordinasi yang tepat dari tingkat Provinsi ke tingkat Kabupaten dalam implementasi program merupakan jalan terbaik agar tujuan dapat disampaikan ke masyarakat dan diterima dengan baik, agar pada berjalannya program tidak ada ketimpangan. Koperasi bisa menjalankan fungsi sebagai salah satu “agent of change” terhadap teknologi – teknologi tepat guna yang relevan dengan kebutuhan petani dan peternak di daerah sekitar. Bila aspek penggunaan Teknologi Tepat Guna mendapat perhatian serius dari stakeholder atau para pemangku kepentingan dapat membantu menjadi jembatan meskipun secara evolutif (perubahan secara perlahan – lahan) menjadi salah saru jawaban peningkatan pendapatan masyarakat yang di Propinsi ini pada kuartal pertama Maret 2009, jumlah penduduk miskin NTT justru mengalami peningkatan dari sebesar 1013,2 ribu menjadi 1014,1 ribu penduduk pada Maret 2010. Masih terdapat banyak kasus – kasus kecil yang cukup bernilai penting, seperti kelebihan produksi, sebenarnya hal ini terjadi setiap tahun; karena salah satu karakteristik produk pertanian adalah diproduksi secara musiman selain volumenous dan bulky. Hal ini yang akan menyebabkan pada satu periode/musim tertentu akan terjadi panen masal yang mengakibatkan pasar tidak dapat menyerap sekaligus semuanya produk tersebut, dengan karakteristik produk pertanian yang cepat rusak maka hal ini menjadi beban tersendiri bagi petani. Dalam kondisi seperti ini maka sentuhan teknologi tepat guna menjadi sangat berarti karena produk – produk musiman yang cepat rusak seperti tomat, cabai, pisang, dan produk hortikultura lainnya dapat diubah bentuknya menggunakan mesin – mesin pengolah seperti juice extractor (mesin yang akan mengekstrak sari buah – buahan dan memisahkannya dengan ampas sehingga dapat menjadi juice), mesin perajang untuk merajang pisang dan ubi, mesin perontok padi, dan banyak sekali mesin – mesin agroindustri yang akan meningkatkan nilai guna produk pertanian sekaligus merubah bentuk dan memperpanjang waktu konsumsi, sehingga layak diterima pasar dan selalu tersedia. Bila memperhatikan ciri-ciri masyarakat Indonesia, yaitu tingkat pendidikan formal yang kurang merata, kepercayaan yang kurang kuat pada teknologi sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat, banyaknya golongan profesi di masyarakat, serta kesiapan menerima perubahan-perubahan, khusus pemanfaatan teknologi baru, dalam meningkatkan kesejahteraannya, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat lamban untuk disebut sebagai masyarakat modern, khususnya masyarakat di daerah tertinggal dan daerah terbatas. Pengertian masyarakat di daerah tertinggal dan terbatas adalah masyarakat di wilayah/provinsi yang kurang memanfaatkan teknologi tepat guna untuk memajukan daerahnya, sehingga selalu mengalami krisis pangan dan sulit serta mahalnya layanan transportasi darat, laut maupun udara, sehingga kurang terjangkau informasi teknologi. Daerah tertinggal dan terbatas tersebar di seluruh wilayah Indonesia antara lain; wilayah Indonesia Timur, misalnya provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang di bagian sebelumnya maka dapat disimpulkan: Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Teknologi yang dikembangkan dari beragam teknologi satu diantaranya adalah Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu suatu teknologi yang memenuhi, persyaratan: teknis, ekomomi dan sosial budaya. Nilai tambah diartikan sebagai 1) besarnya output suatu usaha setelah dikurangi pengeluaran/biaya antaranya; 2) Jumlah nilai akhir dari suatu produk yang bertambah pada setiap tahapan produksi; 3) nilai output dikurangi dengan nilai input bahan baku yang dibeli dan nilai depresiasi yang disisihkan oleh perusahaan. Nilai tambah merupakan selisih nilai penjualan dikurangi harga bahan baku dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat internal.Secara ekonomis, peningkatan nilai tambah suatu barang dapat dilakukan melalui perubahan bentuk (form utility), perubahan tempat (place utility), perubahan waktu (time utility), dan perubahan kepemilikan (potition utility). Aplikasi teknologi tepat guna dapat sangat berperan besar pada peningkatan nilai guna produk pertanian bila diterapkan dengan baik terutama bila disertai dengan kemitraan yang baik antara para penyuluh (agent of change) dengan pihak petani dan rumpun yang terkait dalam system pemasaran dan permodalan seperti koperasi. Saran Perlu adanya keseriusan dari semua stakeholder di dalam upaya mensukseskan program jagungnisasi yang menjadi salah satu tujuan dari jargon “ANGGUR MERAH” yang tengah digalakkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. DAFTAR PUSTAKA http:// id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_tepat_guna diakses pada 11 juni 2010 http://www.scribd.com/doc/11479563/Modul-Perubahan-Sosial-Budaya diakses pada 11 juni 2010 Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. parawalekh.com diakses pada 11 juni 2010 pustaka@litbang.deptan.go.id diakses pada 15 Mei 2011 Sinu, Igantius. 1999.Bahan Ajar Cetak Perubahan Sosial . Kupang: UNDANA PRESS. Supriyati dan Herlina Tarigan, 2008. Meningkatkan Nilai Tambah melalui Agroindustri, Warta penelitian dan pengembangan pertanian vol 30, no 40 2008. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian WordPress.com weblog diakses pada 11 juni 2010 Zubachtirodin, M.S. Pabbage, dan Subandi, 2007. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros